HARI ke-3 Pernas KKI IX dibuka dengan misa pagi. Sesi pertama diisi dengan paparan inspiratif dan menantang dari Dr. Harla Octarra M.Sc.
Perempuan yang masih cukup muda ini adalah pakar bidang hak dan perlindungan anak.
Sesi yang dibawakannya bertema “Perlindungan dan Pemenuhan Hak Anak melalui Gereja Katolik Ramah Anak”.
Di awal sesi, Dr. Harla mengajak para peserta Pernas IX berdiri, ikut bermain sekaligus sebagai momen untuk mengetahui pemahaman para peserta Pernas KKI IX seputar anak, hak dan tanggungjawab anak.
“Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 tahun; termasuk anak yang masih dalam kandungan.” (UU PA 35/2014)
Setiap anak punya hak sama
Dr. Harla Octarra M.Sc menekankan, terlepas apakah anak memiliki kebutuhan khusus atau menderita sakit penyakit tertentu, atau berada di tempat tertentu: anak jalanan, tinggal panti, dll, setiap anak memiliki hak yang sama.
Kebutuhan setiap anak mungkin berbeda; tergantung pada gender, masa perkembangannya, kekhususan yang dimilikinya, dll. “Namun yang pasti, setiap anak memiliki hak yang sama,” ujar Dr. Harla Oetarra M.Sc.
Perwujudan Hak-hak Anak: Rumah ibadah ramah anak
Mengenai rumah ibadah ramah anak, Dr. Harla mengingatkan bahwa tidak harus membangun fasilitas baru. Tapi lebih penting adalah mulai saja berfokus pada peningkatan fungsi dan kualitas fasilitas publik agar kian menjadi ramah anak.
Hal-hal tersebut antara lain: tempat yang aman, fasilitas sesuai kebutuhan anak, program dan kegiatan inklusif anak dari perencanaan hingga evaluasi, kebijakan yang berpihak dan melindungi anak.
Praktik di lapangan
Sesi berikutnya dibawakan oleh Romo Servulus Juanda, Dirdios KKI Keuskupan Ruteng, Flores. Ia datang membawa topik “Best Practice Gereja dan Paroki Ramah Anak.”
Romo Servulus mempresentasikan penggembalaan terhadap isu anak, menuju paroki ramah anak Keuskupan Ruteng.
Banyak kegiatan, sosialisasi, edukasi perlindungan anak, dialog dan juga pendampingan anak korban kekerasan yang telah dilakukan Keuskupan Ruteng ke paroki-paroki maupun ke kecamatan-kecamatan dan pemerintah daerah.
Pedoman buat Gereja ramah anak
Sesi ke-3 diisi oleh Romo Marks Nur Widipranoto dengan sosialisasi pedoman RIRA GKRA.
Romo Nur mengatakan, Gereja Katolik Ramah Anak merupakan urusan penting dan mendesak. Tidak berangkat dari problem atau kasus.
Melainkan antara lain karena merupakan panggilan dan pengutusan dari Tuhan. Juga mau menunjukkan komitmen serta keseriusan Gereja terhadap pemenuhan hak dan perlindungan anak.
Bicara mengenai Gereja Katolik Ramah Anak (GKRA), Romo mengatakan salah satu perwujudan GKRA adalah pemenuhan hak anak di rumah ibadah atau gereja paroki dan stasi.
Demi akuntabilitas institusional, pelayanan, dan dengan tetap mengindahkan asas-asas dan kaidah-kaidah tentang rumah ibadah gereja, Gereja Katolik selalu berupaya menghadirkan gereja parokial sebagai rumah ibadah yang aman dan nyaman bagi tumbuh kembang anak.
Yakni, dengan menjamin terpenuhinya hak-hak anak melalui berbagai kegiatan positif, inovatif, dan kreatif yang terintegrasi dengan kegiatan-kegiatan Gereja
Pencegahan dan penanganan
Dr. Harla menekankan pentingnya upaya pencegahan dan usaha penanganan. Terjadi dalam sesi tanya jawab, ketika dimintai pendapatnya untuk merespon isu penting ini.
Pencegahan
Perlu adanya perubahan paradigma dan perilaku, melihat anak sebagai sosok yang perlu dilindungi namun juga memiliki kompetensi. Bagaimana bisa memastikan kegiatan-kegiatan di gereja mampu memaksimalkan kompetensi anak.
Sehingga anak datang ke gereja lalu bisa:
- Anak-anak bisa merasa aman dari ancaman bahaya perundungan, pelecehan, pelantaran.
- Juga merasa nyaman, karena perlakuan baik dan tersedianya sarana dan prasarana.
Anak jangan dianggap sebagai penerima pasif. Tapi perlu diadakan sosialisasi pada anak sehingga anak diajak berpikir.
Anak dapat bertanya apa implikasi dari haknya ketika ia berada di fereja, di rumah, di sekolah.
Penanganan
Ini terkait dengan kasus-kasus pada anak sebagai korban. Maka, langkah penangan harus sampai kepada program rehabilitasi dan integrasi.
Rehabilitasi mensyaratkan korban menjadi kembali pulih secara fisik atau secara psikologis. Dan integrasi artinya, anak-anak bisa kembali ke masyarakat atau gereja.
Dengarkan suara Anak
Bukan sekali saja pembicara Dr. Harla mengingatkan, kita harus selalu bersedia dan mau mendengarkan suara anak. Sering sekali, kata dia, banyak orang dewasa tidak mau bertanya pada anak; apa yang sebenarnya diinginkan anak.
Suara anak tidak (pernah) didengarkan.
Modelling
Ia juga menekankan pentingnya modelling pada anak.
Menurut dr. Harla, menghadapi anak-anak yang memiliki perilaku yang menyimpang, misalnya anak suka sekali dan kerap memaki.
Maka, yang harus dilakukan pertama-tama adalah bagaimana memulai dialog dengan mereka. Jika dialog sudah terjadi, maka “pintu masuk” telah terbuka.
Harla mengatakan, perilaku menyimpang tersebut terjadi karena anak tak memiliki contoh lain yang berbeda, sehingga imam yang hadir bisa memberikan contoh perilaku baru.
Atau sosok lain juga bisa menjadi tokoh teladan bagi anak tersebut.
Itu karena anak-anak pada dasarnya adalah pengamat.