SEBAGAI warga pendatang di Melbourne, saya bisa merasakan betapa ibadat jalan salib ekumenis itu mampu membangun atmosfir suasana khusuk dan khitmad dalam berdoa. Suasana hati ini terasa kental, sejak perhentian pertama di Gereja St. Francis pada Jumat Agung hingga perhentian ke-13: The Death of Jesus dan kemudian bersambung lagi di perhentian ke-14: The Resurrection, tepat pada Minggu Paska.
Meski diikuti banyak orang, keheningan batin itu tetap terasa. Apalagi, para pembaca acara doa selalu mengawali setiap doa di perhentian-perhentian dengan bacaan Injil, refleksi, doa dan himne bersama. Belum lagi ketika mulai berlangsung prosesi jalan kali, bergemalah doa nyanyian Taizé Jesus, remember me, when you come into Your Kingdom yang dibawakan secara repetitif. Inilah litani Taizé chant yang mampu membangkitkan suasana hati dalam doa.
Berdoa dalam suasana hening dengan berjalan kaki selama kurang lebih dua jam di pusat kota Melbourne. Ini menakjubkan: kok bisa ya? Selain merupakan hari libur nasional, suasana kota pun ikut mendukung: toko-toko, department store dan supermarket memilih tidak beroperasi pada “hari suci” itu. Ini jelas merupakan “rahmat” tersendiri, manakala setiap hari harus menyaksikan riun-rendahnya Melbourne sebagai kota besar.
Yang lebih mengesankan saya sebagai orang Indonesia, tentu saja, adalah pengalaman rohani berdoa jalan salib dalam suasana ekumenis. Orang tidak perlu lagi bertanya: Anda dari gereja mana? Yang ada: Marilah kita bersama-sama berdoa merenungkan Kisah Sengsara Tuhan dalam suasana saling percaya dan bersahabat. Tak ayal lagi, yang kemudian muncul adalah pengalaman rohani: bersatu dalam doa dan beriman pada Tuhan yang sama.
Itulah Melbourne dalam sekilas peristiwa bertajuk The Way of the Cross: Ecumedinal Devotions on the Good Friday. (Bersambung)
Royani Lim, alumnus Program Pascasarjana Ekonomi di University of Melbourne (2007).