KEJADIAN ketiga saya alami sewaktu pulang dari mengajar agama di Desa Blondo, saat menggantikan –waktu itu—Fr. Bono yang menjadi ‘rasul’ di Blondo dan ketika itu berhalangan. Jadi, saya ditugaskan bidel kerasulan untuk menggantikan Bono mengajar agama di Blondo.
Untuk mencapai Desa Blondo dari Girisonta ke arah Selatan sebelum sampai desa Merakmati, saya harus keluar dari jalan raya ke arah Barat, melalui jalan setapak melewati area pepohonan yang luas. Waktu itu belum ada permukiman penduduk atau kampung. Harus melewati kuburan, kemudian agak menurun melalui pematang sawah barulah sampai ke desa tersebut.
Saya bersepeda sendirian dengan membawa senter, karena kalau pulangnya sekitar pukul 19.00 jalanan yang saya lalui akan gelap sekali karena tanpa lampu jalanan.
Setelah selesai memberi pelajaran agama dan mengunjungi beberapa rumah warga saya pulang dengan diantar oleh 2-3 orang pemuda sampai ujung desa. Saya pun mulai naik sepeda sepanjang pematang sawah menuju jalan raya. Sampai di ujung pematang jalan mulai agak menanjak sehingga saya harus memegang kiri-kanan stang sepeda dengan erat supaya mendapat tenaga cukup untuk mengayuh di tanjakan.
Tiba-tiba terdengar suara “tektektek..tektektek..tektektek” mengikuti saya.
Saya pun berhenti, saya sorotkan senter ke depan-belakang, ke kiri–ke kanan dengan berpikir…mungkin ini yang namanya hantu ‘thethekan’ yang berbentuk tulang kerangka yang saling beradu sehingga menimbulkan bunyi berkelotakan seperti itu. Ternyata tidak ada apa-apa, hanya ada seekor anjing warna putih yang mengikuti dari belakang. Saya senter mata anjing itu sampai akhirnya anjing itu berhenti dan balik ke desa.
Saya teruskan perjalanan..dan terdengar kembali suara tektektek..tektektek itu mengikuti. Karena sedang menanjak, saya teruskan mengayuh sepeda dengan tetap diikuti suara itu. Sesampai di kuburan saya berhenti, standar sepeda saya pasang lalu dengan waspada saya senter kiri-kanan, muka-belakang, kemudian tanah kuburan dari kiri ke kanan dan sebaliknya.
Ternyata tidak ada apa-apa, sedangkan yang seperti tangan melambai-lambai ternyata daun pisang yang tertiup angin.
Saya teruskan perjalanan saya dengan pemikiran bahwa ‘yang penting tidak mengganggu secara fisik’ dan kalau sampai mengganggu secara fisik saya yakin ada penangkalnya.
Jalan di dekat kuburan cukup landai hanya agak berbatu-batu, jadi ke dua sisi kiri-kanan stang sepeda tetap saya pegang sambil memegang senter menyala. Lah…kok suara ‘tektektek..tektektek’ itu terdengar lagi.
Saya tetap mengayuh pedal tanpa tergesa-gesa dan tidak mengubah posisi bersepeda, hanya mencoba untuk tetap waspada dan menyadari setiap gerakan yang ada.
Benedicamus Domino…setelah saya amati, ternyata suara ‘tektektek’ itu terdengar kalau sepeda melindas bebatuan dan senter yang saya pegang terantuk pada stang sepeda sehingga menimbulkan bunyi seperti tulang berbenturan…Deo gratias.
Saya ceritakan peristiwa itu kepada teman-teman frater di Novisiat Girisonta sambil tertawa-tawa dan mereka pun ikut terbahak-bahak. Mereka menertawakan saya dan heran mengapa sampai berani berhenti di kuburan memeriksa keadaan. (Bersambung)
Photo credit: Jalan menuju arah Gunung Api Purba di Gunung Kidul, DIY (Mathias Hariyadi) — ilustrasi
Artikel terkait: