Di Pojok Taman Ruma Sakit Jiwa Menur

0
298 views
Ilustrasi -- Gila tak waras by ist

“Revaaaaaaaaa!…Revaaaaaaaaaaa!”

Reva tercekat dan memucat. Ia berjalan mendekat. Tampak seorang perempuan yang sudah tampak nenek-nenek dengan rambut memerak tergerai tak beraturan meraung memanggil-manggil nama Reva.

Langkahnya sempoyongan, daster batik dengan motif telah memudar membalut tubuhnya yang tampak langsing, daripada dikatakan kurus tak terurus. Dengan langkah takut-takut, Reva semakin mendekat.

Seorang perawat memperingatkan Reva dan memintanya menyingkir agar tidak celaka kalau pasien itu mengamuk.

“Maaf Ibu, pasien kami sedang mengamuk, sudah sejak kemarin tidak lagi mau minum obat. Tiga bulan lalu sudah membaik, bahkan bisa diajak berkomunikasi dan membantu mencuci semua parabot dapur, dia paling suka isah-isah.

Tetapi sekitar dua bulan lalu, ada seorang perempuan yang mengaku adiknya mengunjunginya membuat dia kambuh. Apalagi dua hari lalu datang dua lelaki yang mengaku anaknya, namun tidak dikenalinya. Justru membuat ia seperti ini dan selalu berteriak-teriak memanggil Reva,” curhat perawat yang mungkin butuh sambat mengurusi penghuni RSJ

“Saya, Reva, yang dipanggil-panggilnya itu,” jelas Reva pelan.

“Kebetulan, mari kita bertemu dengan dokter yang merawat Ibu Suriantini,” ajak perawat itu menelusuri lorong sunyi rumah sakit jiwa.

“Bagaimana dengan ibu saya?,” tanya Reva sambil berkali-kali menengok ibunya yang terduduk di pojok taman.

“Biasanya ia akan tenang berjam-jam di pojok taman itu sambil memunguti bunga kamboja dan dijemurnya sampai kering lalu disimpan di dalam kamarnya”.

***

Sesampai di depan ruang yang tertulis dr. Purnama Riawati, Sp.KJ, perawat itu mengetuk pintu, “Selamat siang Dokter!” sambil membuka pintu ruangan itu.

“Selamat siang, ada apa Mbak?,” jawab dokter itu mengangkat mukanya dari layar laptopnya.

“Saya mengantar Ibu Reva, puteri Bu Suriantini, dok,” jelas perawat itu.

“Baiklah, tinggalkan kami berdua,” kata dokter kepada perawat dan menatap Reva serta mempersilakan Reva duduk di kursi tamu yang ada di samping meja dokter itu.

“Mohon ditunggu sebentar, saya menyelesaikan tulisan saya sekitar lima menit ya?,” kata dokter Ria penuh keriaan.

Reva tersenyum, mengangguk, dan mulai duduk di kursi tamu. Reva mengamati ruang kerja dokter Ria yang sangat feminin. Cat ruang ungu muda dengan hiasan lukisan bunga anggrek, serta tanaman anggrek yang bergelayut di dua sudut ruangan.

Wangi aroma melati menguar dalam ruangan, penyejuk ruangan berdengung lembut menambah kesejukan ruangan itu. Suasana itu membuat kenangan Reva melayang-layang dan berakhir pada suara yang menggema, “Revaaaaaaaaa!…..Revaaaaaaaaaaa!”

Teriakan itu selalu membuat Reva mengerut, karena pasti ada kesalahan yang ditimpakan kepadanya dan akan berlanjut dengan lecut kemoceng atau gagang sapu. Kenangan masa kanak dalam benak memenuhi kepala Reva dan membuatnya menggigil.

Dalam gigil dan mata tertutup, Reva tidak sadar bahwa telah diamati dokter Ria yang sudah selesai dari kerja di laptopnya.

“Maaf, Ibu. Saya dokter Ria yang menangani kasus Ibu Suriantini. Sudah lima tahun beliau dirawat di RS ini atas biaya seorang bapak dari Pontianak. Beliau meninggalkan deposit yang cukup sampai tahun depan. Beberapa bulan lalu kami sudah memutuskan, Ibu Anda sudah sembuh dan kami pantau untuk mengembalikannya kepada keluarga.”

“Tetapi kedatangan adiknya dua bulan lalu justru membuat kambuh dan lebih parah. Kunjungan puteranya tidak mengubah keadaan bahkan keduanya tidak dikenali. Sejak itu ia selalu  menangis bahkan meraung kalau sudah menyebut nama Reva. Ada beban berat terkait dengan Anda. Bisakah menceritakan kisah ibu Anda yang terkait dengan Anda?”

***

Ada beban berat dan kisah kelam Reva yang harus dikorek dan akan menimbulkan luka berdarah kembali. Tetapi Reva ingin juga ibunya sembuh.

“Dokter, sudah lama saya tidak bertemu dengan ibu saya. ketika saya umur 13 tahun, ibu meninggalkan kami sekeluarga untuk minggat dengan lelaki lain, empat tahun kemudian membawa pulang lelaki yang kemudian memperkosa dan menganiaya saya sampai saya hampir mati, sebelumnya ayah kandung saya memperkosa saya dalam mabuknya, karena frustrasi ditinggal ibu.”

“Ibu menyalahkan saya, karena saya dianggap menggoda lelakinya. Ibu juga meninggalkan puterinya untuk saya asuh. Adik saya itu saat remaja menjadi liar seperti ibunya dan menikah dengan lelaki punk pengguna narkoba.”

“Adik ipar saya itu  memperkosa saya bahkan melukai hampir sekujur tubuh saya. Saya hampir bunuh diri, namun ditolong oleh seorang suster, dan akhirnya saya melarikan diri ke sebuah biara dan menjadi perawat sampai saat ini.”

“Berbelas tahun saya bersembunyi tak berani keluar kota tempat saya tinggal. Baru dua bulan lalu saya memberanikan diri berusaha mengampuni dengan mengunjungi makam bapak saya. Dalam perjalanan pulang saya bertemu bulik saya di kereta, tanpa berani menyapa.”

”Kelihatannya bulik menengok ibu di sini. Itu kisah kelam saya dokter. Saya tidak tahu kondisi ibu saya dan keluarga yang lain.”

Meluncur kisah gelap dari mulut Reva tanpa ekspresi, agar tak ada darah yang kembali mengalir dari luka batin yang dapat membuatnya kembali terpuruk, walaupun bekas luka yang menghiasi tubuhnya berkedut dan menyisakan nyeri.

“Baiklah,” terdengar suara dokter Ria bergelombang menandakan adanya empati atas nasib yang menimpa Reva.

“Kisah Anda boleh saya catat untuk pertimbangan penyembuhan Ibu Anda ya?.” tanya dokter Ria.

“Silakan dokter. Saya percaya kepada Dokter. Dokter adalah orang kedua yang mendengar kisah kelam hidup saya. Tetapi saya sudah bisa menerima nasib saya dan belajar mengampuni orang-orang yang membuat saya menjadi seperti ini.”

“Mari kita temui ibumu,” ajak dokter Ria.

Reva mengikuti dokter Ria keluar ruangannya menuju pojok taman rumah sakit. Ternyata ibunya sudah tidak ada di sana. Di manakah dia?

Ada kepanikan dalam riak mata dokter Ria. Dia mengangkat telepon dan bertanya kepada satpam di depan. Ternyata tidak ada jawaban. Dokter Ria pun mengajak Reva ke depan. Di depan rumah sakit ternyata terdapat kerumunan banyak orang.

”Ada apa di depan?,” tanya dokter  Reva kepada perawat yang berada di dekat pintu masuk.

”Ada kecelakaan, Dok,” jawabnya.

”Kecelakaan apa?,” tanya dokter Ria.

“Pasien kita tertabrak taksi yang mau masuk ke RS ini, Dok,” jelas perawat itu.

“Pasien siapa?,” tanya dokter Ria penuh penasaran.

“Bu Suriantini.”

Di mana sekarang?,” tanya dokter Ria.

”Sedang ditangani di IGD.”

”Baiklah, saya mau ke sana,” dokter Ria bergegas dengan melupakan Reva yang sejak tadi mengekornya. Reva pun tetap mengikuti dokter Ria yang tergesa-gesa menuju IRD.

Tanpa mengetuk pintu, dokter Ria memasuki ruang IRD dan Reva mengikutinya. Seorang perawat meminta Reva untuk tinggal di luar, namun dokter Ria menggandeng tangannya untuk mengikutinya.

Tampak perawat membersihkan luka-luka pada tubuh itu. Reva tidak bisa melihat wajah ibunya yang penuh darah, sehingga tidak bisa menampilkan ekspresi. Tampak kaki kanannya terkulai. Kemungkinan patah. Melihat kondisi seperti itu dokter Ria mengajak Reva keluar.

Begitu keluar ruang IGD, di depan pintu telah menghadang seorang bapak tua. Tampak noda darah pada ujung baju dan sepatunya.

”Pak Amran?,” tanya dokter Ria agak ragu.

”Bagaimana kondisinya?,” tanyanya penuh kekhawatiran.

”Masih ditangani. Mari ke ruang saya Bapak,” ajak dokter Ria yang masih tetap menggenggam tangan Reva.

”Silakan duduk Bapak. Perkenalkan ini Reva, puteri ibu Suriantini,” kata dokter memperkenalkan Reva kepada lelaki yang dipanggil Amran itu.

”Reva?,” tanya Pak Amran dengan sangat terkejut.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here