REVA berjalan perlahan sambil merenungkan kotbah misa pagi di kapel yang cukup mengena tentang bagaimana mewujudnyatakan “hormatilah ibu bapakmu”. Ia kembali ke kamarnya.
Begitu masuk kamar, Reva mendengar HP-nya berbunyi, ia mengambilnya, dan membaca pesan yang tertera di layar.
“Ibumu dirawat di RSJ Menur, jenguklah. Siapa tahu bisa meringankan bebannya,” tulisan itu masuk dalam pesan WA-nya.
Reva tidak mengenal nomer itu.
“Aku bulik-mu yang kamu beri nomer dua hari lalu,” menyusul pesan kedua. Reva masih termangu membaca dua tulisan berurutan yang hanya berselang 22 detik.
“Mengapa kamu tidak menyapa dan membangunkan Bulik?,” kembali pesan masuk setelah 23 detik.
“Mengapa kamu menghilang dan menimbulkan kekacauan dan membuat ibumu gila?,” pesan kelima menyusul 23 detik berikutnya.
”Kau selalu merepotkanku, tidak seperti adik-adikmu,” pesan yang semakin menghentakkan keberadaan Reva di mata bulik-nya dan menjadikan keraguan untuk menjawab semakin kental.
”Keponakan tidak punya etika, tidak mengenal budi baik,” semakin gencar bulik-nya menyudutkannya.
“Mengapa hanya kaubaca, tidak kau jawab?,” pesan ketujuh menyusul 21 detik berikutnya.
Pertanyaan itu justru semakin membuat Reva membisu dan memutuskan tidak akan menjawab, namun memikirkan untuk mengunjungi ibunya.
***
Dengan berbareng rombongan suster yang akan menghadiri pertemuan di Surabaya, akhirnya Reva sampai di depan Rumah Sakit Jiwa Menur. Dengan ragu-ragu ia menuju resepsionis.
Sebelum sempat membuka mulut untuk bertanya, dari lorong Reva diteriaki, ”Suster… Suster.”
Seorang perempuan muda dengan seragam perawat menyongsong Reva.
Reva tertegun. ”Bukankah ini Kenanga Senja? Bukankah ia menjalani hukuman di Medaeng? Mengapa ia ada di sini dan mengenaliku?,” berkecamuk banyak tanya di benak Reva dan membuatnya tertegun dan terdiam.
”Suster, jangan takut. Saya sudah bertobat,” jelas Kenanga sambil menangkup kedua tangan Reva dan menciumnya.
Reva tidak bisa berkata apa-apa. Ia terbungkam, tetapi ia merasakan aliran kasih dalam rangkuman tangannya. Ia percaya, Kenanga telah menjadi orang baik. Mungkin dulu tersesat atau khilaf.
***
Terbayang peristiwa setahunan lalu yang terjadi saat Reva berjaga malam di IGD.
Madona Putri, terkapar bersimbah darah, korban kekerasan yang dilakukan oleh Kenanga Senja. Pelaku yang begitu kejam menyayat-nyayat kedua payudara dan vagina Madona karena cemburu dan takut kekasihnya berpaling kepada perempuan atau lelaki lain ini sekarang bermata bening.
Mata pencilaan penuh kemarahan dan dendam saat menggedor kamar Madona itu sudah tak terlihat sama sekali. Termasuk sorot mata yang tajam dan memerah memelototi Reva saat ia bersaksi di pengadilan atas kasus yang mendudukkan Kenanga Senja sebagai pesakitan telah sirna.
Berulang ke Polres dan akhirnya menghadapi persidangan memang melelahkan. Namun demi melindungi anak belia korban kekerasan dan melihat sorot ketakutan Madona, Reva bersedia menjadi saksi.
Banyak kasus yang menimpa perempuan tak bisa lolos dan disidangkan di pengadilan, karena tidak ada orang yang berani menjadi saksi. Proses pembuatan berita acara pemeriksaan (BAP) memakan waktu yang tidak sebentar.
Belum lagi bila berkas kasus yang sudah disusun pihak kepolisian ditolak oleh kejaksaan dan diminta melengkapi berkas dengan istilah P-19. Saksi kadang dipanggil ulang dan dimintai keterangan yang kadang sulit, berbelit, dan menakutkan.
Agak lega bila berkas kasus diterima dengan P-21, tinggal menunggu persidangan. Berkat menjadi saksi kasus Kenanga-lah, Reva jadi mengenal istilah-istilah yang ada di kepolisian dan penginjakkan kaki di pengadilan.
Demi kebenaran dan keadilan, Reva memberanikan diri bersaksi, seperti yang tertuang dalam BAP, Reva menjawab semua pertanyaan dengan jelas dan tegas.
***
Reva dituntun dan diajak duduk di kursi sudur rumah sakit. Ia hanya menurut dan manut.
“Maaf Suster, tolong bantu saya membasuh dosa saya terhadap sesama perempuan yang telah menjadi korban kejahatan saya.. Saya khilaf dan ternyata merusak diri saya sendiri.”
“Saya dendam kepada ayah saya yang tidak pernah saya kenal, yang meninggalkan ibu saya, saat saya masih dalam kandungan. Ibu saya seorang perempuan lemah yang hanya bisa menangis dan akhirnya tangisnya berlabuh di RSJ ini sampai akhir hayatnya.”
“Saya diasuh oleh tante saya yang melajang sampai akhir hidupnya. Saya mengenal kehidupan lesbong, lesbian, mencintai sesama perempuan dari tante saya. Jadilah saya tersesat sampai berbuat nekat mencelakai Madona. Dendam yang mengakar dan membakar telah mengantarkan saya di balik jeruji.”
Untung selama pembinaan di LP, saya berkenalan dengan seorang suster dan mengantarkan saya berkarya di RSJ ini sebagai silih atas dosa-dosa saya.“
“Pelayanan saya kepada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) merupakan wujud bakti saya kepada ibu saya. Saya mohon Suster berkenan menyampaikan permohonan maaf saya kepada Madona dan ibunya. Saya titip sesuatu untuk Madona bisa, Suster?,” cerita panjang lebar Kenanga dan diakhiri dengan pertanyaan.
Agak lama Reva terdiam, ditatapnya mata jernih Kenanga, baru dijawabnya dengan pertanyaan, “Apa yang akan Kamu titipkan?”
“Sebuah boneka yang pernah saya janjikan untuk Madona saat itu, ia sangat menginginkan boneka itu, sudah saya belikan lama dan saya simpan, semoga suatu saat ada kesempatan menyampaikannya, dan sekarang saat itu tiba.”
“Apakah itu tidak membuat luka lama Madona terkuak?,” tanya Reva pelan.
“Bagaimana dengan boneka yang memenuhi kamar saya dan menghantui saya. Boneka itu sangat bagus. Boneka itu tidak mungkin saya buang. Sebulan gaji pertama saya, saya gunakan membelinya, sebagai persembahan dan silih kesalahan saya,” jelas Kenanga.
“Bagaimana jika boneka itu saya terima, tetapi tidak akan saya berikan kepada Madona, melainkan saya berikan kepada anak panti asuhan, agar bisa dipakai bermain oleh banyak anak yang kurang kasih sayang, sehingga lebih berguna dan bermakna?” jelas Reva.
“Baik Suster, saya setuju. Tunggu biar saya ambil lebih dahulu,” kata Kenanga penuh suka cita berlari menuju bagian belakang rumah sakit, menuju asrama tempat tinggalnya selama ini.
Begitu Kenanga berlari, Reva tersadar pada tujuan utamanya mengunjungi RSJ ini, yaitu untuk menemui ibunya. Walaupun masih ada rasa gamang dan memikirkan apa yang harus dikatakan bila ia bertemu ibunya.
Hampir dua jam perhatiannya terpusat kepada Kenanga dan kisah hidupnya yang tragis tetapi bisa berakhir dengan manis.
Semoga hidup Kenanga bisa mewangi dan bermartabat. Pendampingan yang menyadarkan kesesatannya ternyata berhasil memanggil jiwa suci Kenanga untuk menjadi perempuan normal.
Begitu tersadar ia melihat sekelebat seorang perempuan berlari ke pojok taman RSJ sampai berteriak.
“Revaaaaaaaaa… Revaaaaaaaaaaa.”
Reva tercekat dan memucat.