SEBANYAK 36 suster anggota Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi (SFS) memutuskan memperpanjang kurun waktu forum rapat pra-kapitel mereka dengan sebuah program yang tidak biasa. Sesuai arahan Pemimpin Umum Sr. Marietta SFS, usai merampungkan forum rapat pra- kapitel bersama para suster kepala di rumah-rumah biara dan bidang karya pastoral para suster SFS wajib mengikuti program berikutnya.
Kali ini, para suster SFS mengikuti program workshop gerakan anti korupsi guna menajamkan pengetahuan mereka akan definisi korupsi. Lebih penting lagi, upaya bersama bisa mengikis ‘tradisi’ korupsi yang mungkin terjadi di lingkaran kerja mereka.
Pengampu program kegiatan workshop gerakan anti korupsi ini adalah Yayasan Bhumiksara bekerjasama dengan KWI. Program semacam ini sudah berlangsung sejak lima tahun terakhir dan program semacam ini telah dilaksanakan bagi berbagai kelompok awam katolik, pastor dan bruder serta suster biarawati di banyak keuskupan dan wilayah kategorial di seluruh Indonesia.
Baca juga:
- KWI – Yayasan Bhumiksara – EHEM! Kembangkan Semangat Alergi terhadap Korupsi (2)
- Ehem!, Kata Tagalog untuk Berdehem Guna Menegur (3)
- KWI – Yayasan Bhumiksara – EHEM!: Berangus Korupsi Harus Mulai dari Diri Sendiri (1)
Audiens para suster biarawati
Namun baru kali ini, Yayasan Bhumiksara dan KWI yang mengemas program workshop gerakan anti korupsi menyelanggarakan programnya dengan audiens yang homogen: para suster biarawati semua. Itu pun masih dengan tambahan catatan: semua suster biarawati ini berasal dari satu tarekat religius yakni SFS.
Program ini berlangsung di Rumah Retret St. Lidwina di Sukabumi, Jawa Barat –sebuah rumah khalwat yang diampu oleh para suster SFS sejak puluhan tahun terakhir. Program ini berlangsung mulai hari Selasa malam hingga Kamis petang, tanggal 12-14 Juli 2016.
Kali ini, tim pengampu program workshop gerakan Ehem! anti korupsi Yayasan Bhumiksara-KWI terdiri dari Romo FX Adisusanto SJ (Kepala Dokpen KWI), Yustina Rostiawati (Ketua WKRI sekaligus mantan anggota komisioner Komnas Perempuan), Wisnu Rosariastoko (praktisi pendidikan), Damayani Sabini (praktisi asuransi dan manajemen), dan Royani Lim (Direktur Eksekutif Yayasan Bhumiksara).
Program ini terlaksana berkat kemauan keras Sr. Marietta. Selaku Pemimpin Umum SFS, Sr. Marietta SFS sendiri pernah mengikuti sesi lokakarya sama beberapa bulan sebelumnya. Ketika itu, workshop sama ini diselenggarakan oleh Keuskupan Bogor dan diampu oleh tim Yayasan Bhumiksara-KWI Keuskupan Bogor.
Banyak ekspektasi
Pada sesi pertama yang dilangsungkan pada malam hari Selasa tanggal 12 Juli kemarin, para suster dengan sangat antusias memaparkan ekspektasi mereka untuk bisa belajar banyak tentang seluk-beluk korupsi di forum program acara workshop gerakan anti korupsi ini. Sr. Marietta SFS, misalnya, berkeinginan agar para suster SFS benar-benar bisa paham dan akhirnya mampu cerdik memindai gejala-gejala praktik tidak benar dalam lingkungan kerja dan karya.
Suster SFS lainnya berkisah bahwa program ini diharapkan membuka ‘mata hati’nya untuk kemudian berlaku, bertindak secara benar dalam memimpin karya-karya pastoral yang dipercayakan kepadanya.
Mewakili Tim Ehem!, Yayasan Bhumiksara-KWI, Romo FX Adisusanto SJ dari Dokpen KWI menjelaskan bahwa program workshop gerakan anti korupsi seperti ini menjadi sangat penting disosialisasikan di kalangan kaum religius di Indonesia sesuai semangat perlunya muncul habitus baru di kalangan para klerus, suster, dan bruder.
Gerakan anti korupsi di kalangan internal Gereja juga harus semakin dikembangkan, karena Gereja pun juga tidak imun dengan praktik-praktik tidak bermoral ini.
Karena isunya hangat dan menarik, dinginnya malam di Sukabumi dan lelahnya para suster SFS usai sehari mengikuti kapitel tidak kuasa bisa menyurutkan minat dan perhatian mereka mengikuti program acara pembinaan internal ini. Buktinya, hingga menjelang malam berakhir, sesi pertama yang sifatnya introduksi tersebut masih dengan sangat antusias tetap diikuti dengan setia oleh sedikitnya 36 suster SFS berusia medior hingga senior.
Belum lagi kalau harus menyebut Tim Ehem! yang terdiri dari KWI-Yayasan Bhumiksara, fasilitator pengampu program ini.
Usai sesi pertama berakhir, keempat narasumber fasilitator ini masih rela menyediakan waktu kurang lebih 1,5 jam untuk mengadakan evaluasi dan proyeksi acara untuk sesi-sesi berikutnya di hari-hari selanjutnya.
Virus gerakan anti korupsi
Gerakan Ehem! untuk menyebarkan ‘virus’ anti korupsi itu sendiri pertama-tama digagas oleh seorang pastor Jesuit asal Filipina yakni Albert Alejo SJ. Ehem! tak lain adalah kosa kata bahasa Tagalog untuk menyebut makna yang sama dalam bahasa Indonesia-Jawa: berdehem.
Berdehem di Indonesia dan di Jawa atau Ehem! di Filipina adalah sinyal suara mulut yang biasa kita lakukan untuk menegur seseorang. Itu dilakukan melalui gerakan ‘bahasa tubuh’ manakala kita ingin menegur atau mengingatkan orang saat berkehendak melakukan perbuatan salah atau tercela.
Gerakan Ehem! yang diinisasi oleh Ordo Serikat Jesus (Jesuit) Provinsi Filipina untuk memerangi korupsi di Filipina kemudian mulai bergulir dan menampakkan pengaruhnya yang besar di Filipina. Bahkan, Presiden Filipina sang aktor Erap Estrada pun konon terguling dari kekuasannya di Istana Malacanang Manila, karena efek gerakan anti korupsi ini. Sejak itu, Konferensi Para Uskup Filipina lalu berdiri kokoh di belakang mendukung gerakan moral ini.
Menular baik di Indonesia
Tahun 2011, salah satu fasilitator Ehem! Filipina yakni Dr. Ronnie V. Amorado datang berkunjung ke Jakarta guna meretas gerakan Ehem! di Indonesia. Gerakan Ehem! ini akhirnya berhasil diretas bersama mitra lokalnya di Indonesia yakni KWI dan Yayasan Bhumiksara.
Dalam sebuah semi-lokakarya di Jakarta yang diampu Yayasan Bhumiksara itu, Dr. Ronnie V. Amorado mengenalkan proses empat tahap pembahasan atau yang biasa mereka sebut sebagai empat modul.
Di bawah ini ada empat langkah kerja (modul) yang ditawarkan Ehem! sebagai berikut:
1. Menggali pengalaman dan pemahaman mengenai permasalahan korupsi di Indonesia.
2. Menganalisis sebab dan akibat korupsi di Indonesia, serta merekomendasikan solusi untuk mengatasinya.
3. Keterbukaan melakukan refleksi atas korupsi dari perspektif budaya (termasuk agama).
4. Merencanaan aksi.
Sebagai tambahan, di akhir pembahasa keempat modul tersebut, para peserta lokarkarya ini diberi semacam tips oleh Ronnie Amorado mengenai metode menjalankan seminar sejenis di Indonesia.
Pelatihan ini sebenarnya merupakan tindak lanjut dari kegiatan seminar bertema memerangi korupsi yang diselenggarakan Yayasan Bhumiksara pada bulan April tahun 2011 sebelumnya. Gagasan tentang memerangi korupsi sebagai masalah paling krusial ini mendapat respon positif dari para peserta seminar yang diselenggarakan di Universitas Atma Jaya Jakarta dengan nara sumber yang sama.
Tujuannya ialah untuk menyiapkan para calon pelatih program Ehem! Untuk memerangi budaya korupsi sesuai dengan konteks Indonesia.