Renungan Harian
Minggu, 27 Maret 2022
Hari Minggu Prapaskah IV
Bacaan I: Yos. 5: 9a. 10-12
Bacaan II: 2Kor. 5: 17-21
Injil: Luk. 15: 1-3. 11-32
SEBAGAIMANA biasa, setiap akhir semester, kami mengadakan rapat guru untuk mengevaluasi seluruh kegiatan belajar sepanjang semester yang sudah berlangsung. Salah satu pokok yang dibicarakan adalah soal perkembangan para peserta didik.
Dalam pertemuan itu dibicarakan salah satu peserta didik yang mendapatkan predikat anak yang nakal, bandel. Perilaku anak ini seringkali “kurang ajar” bukan hanya terhadap sesama peserta didik tetapi juga terhadap guru.
Bentuk “kekurangaajarannya” mengarah pada tindakan melukai atau mencelakakan. Ditambah lagi bahwa anak ini juga amat lemah di dalam bidang studi.
Dalam pembicaraan itu, semua guru bidang studi yang mengajar anak itu dan wali kelas sudah tidak tahu lagi bagaimana cara “menangani” anak tersebut. Sudah berkali-kali diberi teguran dan diberi sanksi, namun tetap tidak memberikan pengaruh yang membawa perubahan ke arah lebih baik.
Semakin hari semakin menjadi-jadi kenakalannya. Pada saat itu semua guru mengusulkan agar anak itu dikeluarkan dari sekolah supaya mencari sekolah lain dan tidak mengganggu semua peserta didik yang lain.
Setelah mengadakan pembicaraan yang cukup panjang, akhirnya harus diambil keputusan apakah anak itu tetapi dipertahankan atau dikeluarkan. Karena semua guru mengusulkan dan setuju bahwa anak itu dikeluarkan, maka saya juga menyetujui bahwa anak itu akan dikeluarkan dari sekolah.
Selanjutnya akan diurus masalah administrasi dan pemanggilan orangtua wali murid yang bersangkutan.
Selesai rapat guru, dengan salah satu hasil adalah mengeluarkan salah satu peserta didik, Romo Markus Wanandi SJ mengajak saya makan siang bersama.
Pada saat makan siang romo Markus bertanya kepada saya: “Wan, apakah menurut kamu, dengan mengeluarkan anak itu masalah menjadi selesai?.
“Ya selesai karena sumber masalah menjadi tidak ada,” jawab saya.
“Wan, mungkin benar bahwa masalah akan selesai untuk sekolah ini, minimal untuk para guru. Tetapi bagi anak itu bagaimana? Kamu berpikir tidak, anak itu akan sekolah di mana, dan apakah ada sekolah yang mau menerima dia? Kalau tidak ada lagi sekolah yang menerima dia, dia akan menjadi pengangguran dan mungkin akan menjadi lebih nakal. Dengan demikian, kamu mengeluarkan anak itu berarti kamu membiarkan dia tumbuh dengan kenakalan dan kekurangajarannya.
Wan, coba sebelum sungguh kamu memutuskan, kamu berpikir dari sisi yang berbeda. Tugas kita di sekolah adalah mendidik agar peserta didik yang dipercayakan kepada kita menjadi anak yang baik. Kalau ada anak yang kamu keluarkan karena nakal dan kenyataannya memang nakal dan kurang ajar, maka itu menunjukkan kegagalan sekolah sebagai rumah pendidikan dan juga kegagalan kamu sebagai pendidik.
Kamu dan guru-guru hanya mengevaluasi anak ini tetapi tidak mengevaluasi dirimu dan guru-guru. Cobalah kamu berusaha mencari cara entah apa pun caranya untuk merangkul dan kamu bisa diterima oleh dia.
Hal ini pasti tidak mudah dan amat berat tetapi kamu harus mencoba.
Kalau kamu mengeluarkan anak ini, kamu harus berani mengatakan pada orangtuanya bahwa sekolah dan kamu telah gagal mendidik anak ini.
Terbayang gak dalam dirimu seandainya kamu jadi bapak, anakmu nakal dan kurang ajar apakah anak itu kamu usir dari rumah dan kamu bunuh? Artinya apa yang hilang dalam dirimu, guru-guru dan sekolah ini? Itu adalah cinta,” wejangan romo Markus.
Saya diam dan mengatakan akan mencoba. Kata-kata romo Markus tentang cinta yang hilang dari diriku, guru-guru dan sekolah terus menggema.
Mencintai berarti berjuang, berarti mencari segala upaya bahkan harus keluar dari kebiasaan dan kemapanan untuk merangkul dan menerima.
Sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Injil Lukas, Allah yang mencintai dengan cara yang tidak biasa, yang diluar kebiasaan dan kemapanan.
Dan itu yang harus dilakukan oleh semua orang.