Dilarang Tebang Pohon, Cabut Tanaman: Protokol Jalan Salib Eco-Fam di Sapak Bayo-bayo Tana Toraja (10)

0
254 views
Ilustras: Jalan Salib di Pusat Ziarah Keluarga Kudus Nazaret Sapak Bayo-bayo. (Romo Ferry SW)

Pembukaan

Pengantar umum

  • Tempat: di pos depan
  • Penyampaian profil singkat Sapak Bayo-bayo Tana Toraja: destinasi wisata religi berciri alam dan budaya Toraja; secara khusus merupakan tempat ziarah atau tempat berdevosi kepada Keluarga Kudus Nazaret, dengan mengusung dua tema besar: Keluarga dan ekologi
  • Pengantar: rambu-rambu, aturan: jalan di tangga, setiap pengunjung mengelol, menjaga sampahnya, baru buang sampah ketika menemukan tempat sampah atau membawa sampahnya ke rumah; antar stasi cukup 1x doa Salam Maria dan ditutup Kemuliaan.
  • Doa pembuka (bisa dipilih salah sorang peserta)
  • Peziarah/pengunjung diminta balik badan untuk melihat sawah.
  • Setiap hari, tiga kali sehari, kita menikmati makanan (sarapan, makan siang, dan makan malam). Sebelum kita makan, kita berdoa, mohon berkat Tuhan atas makanan yang kita santap, dan berterimakasih atas kelancaran rezeki di rumah kita.

Mari kita menyelipkan juga dalam doa-doa kita agar orang-orang yang bekerja di bagian hulu dari datangnya rezeki kita, salah satunya di sawah atau ladang pertanian, selalu diberkati oleh Tuhan.

Tuhan memberkati segala usaha mereka, memberkati orang-orang yang mungkin kita lupakan, atau sering kita tidak sadari keberadaannya, yang sebenarnya terlibat dalam hadirnya rezeki itu sampai di rumah kita masing-masing.

Kita mendoakan mereka agar usaha dan rezeki mereka senantiasa dilancarkan.

Doa Salam Maria dan Kemuliaan (jika semua peserta Katolik), lalu menuju Stasi 1.

STASI 1: Yesus Dihukum Mati

Untuk menebus dosa-dosa kita, Yesus dihukum mati.

Yesus dijatuhi hukuman mati dalam sebuah pengadilan (pertemuan pejabat/pihak-pihak yang berwenang untuk memutuskan hukuman atas Yesus).

Peziarah/pengunjung diminta balik badan untuk melihat kompleks rumah adat Toraja: Tongkonan. (Ketika peserta balik badan) tampak rumah adat Toraja: Tongkonan (rumah besar, simbol wanita) dan deretan alang (lumbung) tempat menyimpan padi.

Ini adalah rumah tongkonan keluarga Mgr. John Liku Ada’, Uskup Keuskupan Agung Makassar. Di sini Mgr. John Liku Ada’ lahir. Rumah ini baru selesai direnovasi.

Kompleks rumah adat ini terdiri atas dua bangunan utama: tongkonan dan (deretan) alang. Keseluruhan disebut Tongkonan. Walau umumnya rumah tongkonan dan alang sekarang ini lebih banyak kosong atau tidak ditempati, tetapi orang Toraja terus-menerus membangun atau merenovasi rumah tongkonan. Ini dilakukan karena bagi orang Toraja, tongkonan adalah identitas, tongkonan adalah jati diri. Tongkonan adalah pusat kehidupan sosial orang Toraja.

Yang relevan dengan tema via dolorosa kita, di tempat ziarah Sapak Bayobayo, tempat ziarah berciri khas alam dan budaya Toraja, dan mengusung dua tema besar -yaitu ekologi dan keluarga- adalah kata Tongkonan.

Tongkonan berasal dari kata dasar “tongkon”, yang artinya “duduk”. Di dalamnya terkadung makna kepedulian yang mendalam kepada orang yang sedang berada dalam situasi sulit, situasi sedih. Ikut berempati dan merasakan, serta mau berkorban untuk meringankan beban orang lain.

Setiap kita bersama duduk, kita tidak akan berdiam diri, tapi akan bercakap-cakap, akan berdiskusi, berkomunikasi.

Salah satu kiat atau rahasia sukses hidup berkomunitas, termasuk komunitas basis, komunitas pertama kita, yaitu hidup berkeluarga adalah selalu berkomunikasi. Di dalam berkomunikasi, kita peduli dan mau mendengar, sehingga ikut bersama-sama menanggung beban. Berkomunikasi untuk ikut “membebaskan” orang dari kesulitan.

Dengan selalu membangun komunikasi, tentunya komunikasi yang baik, hidup bersama kita akan dimudahkan. Banyak masalah timbul dalam hidup berkeluarga, hidup bermasyarakat, juga di ragam komunitas kita (di kantor, di gereja, dll) karena ketiadaan atau minimnya komunikasi; atau karena yang ada hanya komunikasi yang tidak baik (negative thinking, bahasa yang kasar, dll).

Mari kita selalu membangun komunikasi antarkita; dan terus menerus belajar dan berlatih melakukan komunikasi yang baik (mau mendengarkan, positif thingking, menghargai pendapat orang lain, mau meminta maaf, juga mampu memaafkan, dll).

Doa Salam Maria dan Kemuliaan, lalu lanjut ke stasi berikut.

Tongkonan adalah rumah adat masyarakat Toraja dan model rumah adat ini ada di Pusat Ziarah Keluaga Kudus Nazaret Tana Toraja (Romo Ferry SW)

STASI 2: Yesus Memanggul Salib

Jalan mendaki dari spot pembukaan sampai stasi 2 membuat banyak peserta langsung kelelahan.

Namun, ini spot yang baik bagi peserta untuk menghilangkan kelelahan, menikmati keasrian pepohonan dan aneka suara satwa.

Tempat yang cocok untuk “istirahat” menikmati suara aneka satwa, bunyi dedaunan, ranting, daun, dll yang ditiup angin. Peserta diajak “hening dan beristirahat” untuk mendapatkan “nafas baru” karena sebenarnya, baru mulai di stasi kedua inilah peserta diminta “mengeluarkan tenaga” untuk menemani Yesus memanggul salib menuju Bukit Tengkorak. Baru di stasi ini, Yesus diberi salib untuk dipanggul.

Peserta dapat diminta untuk menutup mata, dan kesempatan terbaik untuk berlatih memakai “telinga” indera pendengaran untuk mendengar sebanyak-banyaknya jenis, aneka bunyi (satwa dan tumbuhan, angin, dll).

Sehari-hari, kita tidak sadar dan hanya memaksa diri selalu menjadi superior dengan aktif melihat, dan mendengar. Kita hanya lebih banyak melihat hal-hal yang ingin kita lihat, yang menarik perhatian kita, mendengarkan yang lebih menonjol, lebih keras, atau mendengar hanya bunyi atau suara yang ingin kita dengar.

Saatnya kini kita berhenti melihat, saatnya kita berlatih mendengarkan suara-suara alam, biarkan semua suara alam sebanyak-banyaknya kita dengar agar kita juga bisa mendengar suara-suara yang selama ini kita tidak hiraukan.

Di sini, kita melatih kepekaan kita, agar kita juga bisa mendengarkan suara-suara kecil, suara yang tidak begitu menarik perhatian kita dalam kehidupan rutin sehari-hari. Karena sebenarnya, banyak suara kecil, yang mungkin tidak begitu menarik, sebenar-benarnya juga sangat penting dalam kehidupan kita. Justru dari hal-hal kecil itulah, kita belajar untuk nantinya dapat mengerjakan hal-hal dan tanggung jawab yang lebih besar dengan sebaik-baiknya.

Di sini, kita juga melatih diri kita untuk berlaku adil dalam kehidupan sehari-hari. Besar kecil, menarik atau kurang menarik perhatian, semuanya adalah ciptaan Tuhan yang patut mendapatkan penghargaan yang sama, perhatian yang sama, kepedulian yang sama.

Bahkan, jika tadi kita perlu konsentrasi berlebih agar dapat mendengarkan suara atau bunyi yang sayup-sayup, bunyi yang kecil, itu mau mengatakan bahwa perlu upaya lebih dari kita untuk membantu, menolong. makhluk (orang-orang) yang termarjinalkan.

Doa Salam Maria dan Kemuliaan, lalu lanjut ke stasi berikut.

STASI 3: Yesus Jatuh Pertama Kali

Dalam berbagai bentuk, seperti Yesus, kita pasti pernah jatuh. Ragam bentuk jatuh: berbuat salah, atau mengalami pengalaman sulit, down, dll. Iman kita jatuh, mental kita jatuh, usaha kita jatuh, dll.

Tapi mengikuti sang guru kita, Yesus, kita harus bangkit untuk melanjutkan perjalanan.

Di sekitar stasi ini, khususnya di sebelah selatan spot patung, dapat kita lihat pohon kepayang, pohon pangi. Dari situlah asal kluwek, rawon, pamarrasan (bahasa Toraja), bumbu makanan lokal di beberapa daerah.

Semua bagian dari buah pohon ini berguna dalam masakan. Juga daunnya, juga orang Manado makan sebagai sayur.

Mari kita belajar atau mencontoh pohon pangi, pohon kepayang ini.

Usai kita melakukan kegiatan di Sapak Bayo-bayo, juga usai menyusuri Jalan Salib ini, usai ke gereja setiap Minggu, dan usai mengikuti beragam kegiatan pelatihan diri, pembinaan iman, pembentukan karakter, dll. kitab bisa mencontoh pohon pangi: semua atau sebagian besar “dirinya” dapat berguna, bermanfaat, menjadi berkat bagi orang lain. Semua indera kita memberi kontribusi positif dalam aktivitas kita. Semua anggota keluarga, semua anggota CU Sauan Sibarrung, pengurus dan anggota, memiliki manfaat bagi organisasi, bagi keluarga, bagi kebersamaan.

Jalan salib di Sapak Bayo-bayo biasa secara populer disebut Jalan Salib Pohon Pangi agar kita ingat bahwa kita, manusia, sebagai salah satu pucuk kehidupan, juga dapat berlajar dari saudaranya “pucuk tanaman pangi” yang semua bagian dirinya bermanfaat bagi komunitas.

Sepanjang perjalanan kita menyusuri via dolorosa Sapak Bayo-bayo, kita ditemani oleh pohon pangi yang tumbuh liar di semua area SBb.

Doa Salam Maria dan Kemuliaan, lalu lanjut ke stasi berikut.

STASI 4: Yesus Berjumpa dengan Ibu-Nya

Ketika Yesus dijatuhi hukuman mati, para murid dan orang-orang yang telah mengenal Yesus selama berkarya tiga tahun segera menjauh dari Yesus. Mereka takut atau malu kalau dikenali sebagai orang yang pernah dekat dengan Yesus.

Tapi, ada satu figur yang tidak pernah menjauh dari Yesus.

Figur itu adalah Ibu Maria, ibu Yesus, seorang perempuan.

Mari kita ingat atau bayangkan ketika kita tinggal jauh dari orangtua. Dan ada saatnya kita rindu rumah, rindu orangtua.

Mungkin ada masalah, atau kita sekadar kangen, kita akan berkunjung ke rumah orang tua. Atau di jaman sekarang, kita mengambil HP, lalu menelpon ke rumah, atau video call ke rumah. Umumnya siapakah yang akan pertama kali, atau sangat kita harapkan wajib kita kontak, wajib kita lihat?

Jawabnya: Ibu, mama.

Persis itulah yang terjadi ketika Yesus berjumpa dengan ibu-Nya. Walau tanpa kata-kata, cukup dengan kehadiran figur ibu, figur seorang perempuan, kita merasa dikuatkan.

Di jalan salib Sapak Bayo-bayo, berkali-kali kita akan bertemu dan belajar dari figur ibu, figur mama, figur perempuan.

Begitu pentingnya figur perempuan dalam keluarga, dalam komunitas, dalam ragam aktivitas, termasuk di gereja kita, di tempat usaha kita, dll.

STASI 5: Simon dari Kirene Membantu Yesus Memanggul Salib

Mungkin Simon dari Kirene adalah orang yang berada di tempat salah pada waktu yang salah.

Karena Yesus begitu lelah dan kesakitan, prajurit mencokok seseorang dari tengah-tengah massa, dan orang itu adalah Simon dari Kirene, untuk dipaksa membantu Yesus memanggul salib.

Dalam salah satu rumusan singkat doa jalan salib pada stasi ke-5 ini tertulis: Walaupun tidak senang, Simon dari Kirene mau membantu Yesus memanggul salib.

Walaupun kita tidak senang dengan orang lain, walaupun kita sibuk dengan hobi kita, walaupun kita sedang bad mood, tapi ketika ada orang butuh bantuan, mari segera kita memberi bantuan. Karena kalau kita tidak mau membantu, sebenarnya yang rugi adalah kita. Karena kita melewatkan momentum untuk berbuat baik.

STASI 6: Veronika Mengelap Wajah Yesus

Mari kita ingat ketika kita bekerja fisik dan kita berkeringat. Keringat menutup pori-pori di kulit kita dan itu membuat kita semakin kepanasan, kegerahan, kita merasakan kegiatan kita semakin sulit, makin berat.

Tapi ketika kita mengambil handuk, sapu tangan, atau tisu dan mengelap wajah dan leher kita, segera kita merasa segar, beban menjadi ringan.

Persis itulah yang terjadi ketika Veronika, seorang perempuan, mengelap wajah Yesus. Tindakan kecil, tidak luar biasa, tapi apapun itu, bertindak menolong orang lain jauh lebih berarti daripada hanya prihatin, iba, sembari berpangku tangan.

Untuk menjadi orang baik, kita tidak perlu menjadi manusia luar biasa. Cukup menjadi seperti Veronika. Figur perempuan yang membantu Yesus, yang hanya muncul dalam tradisi gereja, tidak muncul diceritakan dalam Kitab Suci.

Namun, apa yang dilakukan oleh Veronika, figur seorang perempuan biasa, memberi kita contoh apa dan bagaimana kita ikut memanggul salib bersama Yesus dalam kehidupan kita sehari-hari.

Dari tindakan seorang Veronikalah, arti salib mudah dijumpai dalam figur ibu di seluruh dunia, figur ibu di rumah kita.

Untuk menjadi orang baik, orang yang beriman, kita tidak perlu menjadi orang luar biasa, tapi cukup menjadi manusia biasa, seperti seorang perempuan bernama Veronika, yang tidak melakukan perbuatan luar biasa untuk membantu meringankan penderitaan Yesus.

Veronika tidak perlu mencari atau membuat alat luar biasa untuk menolong Yesus.

Veronika cukup mengambil alat, milik sederhana yang dia miliki untuk membantu Yesus, yaitu cukup memakai selendangnya, atau kerudungnya, untuk mengelap wajah Yesus.

Dan tindakan kecil itu pasti cukup menyegarkan Yesus saat itu.

Persis itulah yang dilakukan oleh ibu di seluruh dunia, ibu di rumah kita, yang mengandung kita, merawat kita sejak bayi.

Berapa jam seorang ibu menimang bayi setiap hari. Berjam-jam.

Berapa menit seorang ayah, seorang lelaki, menimang bayi? Beberapa menit saja.

Dan ibu masih mengerjakan banyak hal lain (menyiapkan makanan, mencuci pakaian, dll; juga dapat mengerjakan hal lain di luar, dari dri luar tetap masih harus mengontrol, mengkomando kegiatan di rumah).

Ibu juga lelah, ibu juga kadang mengeluh.

Tapi mereka terus melakukan itu demi keluarga.

Dalam nadi, dalam tulang ibu, dalam diri ibu, walau ibu mungkin tidak pandai merumuskannya, mengalir cinta. Cinta dalam suka dan duka, persis arti salib, yaitu cinta yang berkorban demi orang lain/keluarganya/anaknya/suaminya.

Ibu melakukan hal-hal kecil setiap hari demi sesuatu yang luhur: demi perawatan keluarga, demi keselamatan/kebahagiaan keluarganya.

Dan di kain yang dipakai oleh Veronika mengelap wajah Yesus, terjadi mukjizat. Di kain itu, tergambar wajah Yesus.

Kita semua yang ada di sini adalah mukjizat hasil perlakukan ibu kita. Kita ada dan mencapai keadaan kita saat ini, itu adalah mukjizat dari tindakan-tindakan kecil ibu.

Ibu Theresai dari Kalkuta mengatakan: lakukan hal kecil dengan cinta yang besar.

Doa Salam Maria dan Kemuliaan.

STASI 7: Yesus Jatuh Kedua Kali

Kita memasuki/berada di spot Jalan Salib yang sangat unik.

Di sini, ada kesesuaian antara tradisi gereja, ibadat Jalan Salib, mengenang dan menghayati kisah sengsara Yesus, dengan kebiasaan atau perilaku khas orang Toraja yang memberi tempat khusus kepada kisah kedukaan.

Di sini, eskostisme alam dan budaya Toraja, yang tampak dalam gua-gua batu karst -dengan formasi stalaktit dan stalagmit yang masih berlangsung terus- yang dijadikan makam, dapat kita saksikan langsung.

Segera sesudah spot patung Yesus jatuh ketika kali, kita dapat melihat makam kuno.

Ada banyak tengkorak yang sepanjang mulut gua di tempat ini.

Popularitas Toraja sebagai destinasi wisata alam dan budaya dapat kita saksikan langsung di tempat ini, yang kini bertemu dan berpadu dengan destinasi wisata rohani, di mana di sini kita berhenti untuk merenungkan makna kejatuhan (kembali) Yesus, yang juga adalah “potret” kejatuhan kita. Yesus jatuh ketika kalinya.

Kita sudah mengaku salah, bertobat; berjanji setia untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Tapi kita tetap jatuh lagi.

Banyak kali kita jatuh karena sebenarnya kita dikuasai, di-pressure oleh “batu”, lihatlah massa batuan massif di belakang, di atas adegan stasi ini.

Kita jatuh lagi, dan lagi, karena kita memberi diri dikendalikan oleh kekuatan yang di luar diri kita.

Ketakutan berlebihan, keinginan-keinginan duniawi, arus konsumtifisme, hedonisme.

Jika kita hidup untuk memenuhi kebutuhan kita, bukan untuk memenuhi keinginan-keinginan kita, niscaya kita tidak akan jatuh terus-menerus dalam kesalahan yang sama.

Hening sejenak, lalu bisa berpindah/maju sekitar 3-5 meter, untuk melihat formasi stalaktit dan stalakmit. Jika satu atau dua hari terakhir ada hujan, kita dapat melihat tetesan-tetesan air yang membentuk “monumen alam” stalaktit dan stalakmit.

Dalam kesepian, terus menerus, ribuan tahun, entah sampai kapan, sampai jutaan tahun, air hujan yang jatuh dan mengalir di batu kapur karst, sehingga terjadi proses kimiawi, dan jatuh menetes membantuk stalaktit dan stalakmit.

Untuk pertumbuhan sekitar 1 cm stalaktit dan stalagmit, butuh waktu sekitar 25-100 tahun.

Begitu lama, sehingga sepertinya tak ada artinya waktu sekian puluh tahun kehidupan kita, sepertinya kita tidak melihat pertumbuhan apa-apa.

Tapi monumen alam ini nyatanya terbentuk.

Persis, yang dilakukan ibu kita di rumah, melakukan hal-hal kecil, sehingga kadang tak pernah kita hiraukan, tapi justru tindakan-tindakan kecil ibu, yang dilakukan terus-menerus, itulah yang membuat kita kini bisa ada seperti ini.

Kita adalah monumen, sebuah mahakarya, dalam keluarga kita, yang dilakukan oleh seseorang yang tak pernah atau jarang kita apresiasi.

Tindakan ibu memang tak butuh apresiasi, dia hanya berbuat demi kita. Seperti tetesan air, dia hanya terus menetes, tak butuh “perhatian, apresiasi”, tapi hasilnya: monumen-monumen alam yang indah.

Kesuksesan, keberhasilan, bukan ditentukan oleh kecerdasan, kepintaran, tapi terutama oleh ketekunan, melakukan hal-hal baik terus menerus, betapa pun itu hal-hal kecil, tapi dilakukan terus menerus. Itulah kedisiplinan, yang membentuk karakter.

Kepedulian kita lingkungan, cukup dan paling nyata dengan melakukan hal-hal yang sangat biasa, terus-menerus: buang sampah pada tempatnya, mengurangi, menghindari penggunaan bahan anorganik, dll. Kepedulian-kepedulian kecil seperti itulah ungkapan dan perwujudan iman kita yang akan terus menyelamatkan alam semesta.

Bisa maju lagi 15 meter untuk menyaksikan tengkorak-tengkorak dan bisa melakukan doa arwah.

Pada saatnya kita akan seperti tengkorak-tengkorak ini. Perbedaan satu dengan yang lain sangat sulit dikenali. Semua tampak sama. Mumpung kita masih hidup, mari berbuat hal-hal yang berbeda, yaitu berbuat baik, jaman sekarang terkadang harus berani melawan arus, untuk menyelamatkan bumi kita, agar generasi-generasi berikut juga masih dapat merasakan kehidupan yang baik.

Mari kita mewariskan alam semesta dengan udara yang segar, air yang bersih, tanaman-satwa sumber makanan yang tidak terkontaminasi bahan kimia berbahaya kepada anak cucu kita.

Doa Salam Maria dan Kemuliaan.

Ilustrasi: Drama peragaan prosesi penyaliban Yesus oleh Umat Katolik Paroki Hepuba di Wamena, Papua (Romo Ferry Sutrisna Widjaja Pr/Keuskupan Bandung)

STASI 8: Yesus Menghibur Perempuan-perempuan yang Menangisi Dia

Begitu pentingnya figur perempuan dalam komunitas, dalam keluarga, kini kembali muncul di stasi 8 ini. Tidak hanya satu perempuan, tapi dikatakan “perempuan-perempuan”, semua perempuan, dihibur oleh Yesus.

Yesus yang kelelahan dan kesakitan berjalan memanggul salib kini berhenti untuk menghibur wanita-wanita yang menangisi dia.

Mengapa wanita lebih cepat menangis?

Karena mereka selalu peduli, selalu lebih prihatin jika ada anggota keluarga yang sedang mengalami kesulitan: sakit, kena masalah, dll.

Mereka peduli, mereka prihatin, kerap mengeluarkan air mata, jika anggota keluarga lain sedang berkesusahan.

Seandainya bisa, seorang wanita, seorang ibu dalam keluarganya, ingin mengambil alih kesakitan atau penderitaan anak, kesulitan suami, misalnya, seandainya bisa.

Mereka rela mau menanggung beban keluarganya, karena mereka begitu mencintai keluarganya.

Dan begitulah sebenarnya arti salib: mau mengambil alih, mau berkorban demi meringankan-membebaskan orang lain dari kesusahaan yang mendera.

Mari kita semua yang ada di sini, belajar dari ibu, dari perempuan dalam keluarga kita.

Mari kita menghormati, memuliakan mereka. Karena kehadiran dan perlakuan seorang ibu dalam keluarga, maka sekarang kita, “saya”, ada seperti sekarang ini.

Mari kita mencontoh Yesus, yang walau lelah dan berbeban berat, berhenti berjalan dan mau “melupakan” penderitaannya demi menghibur wanita-wanita yang senantiasa peduli terhadap perjalanan keluarga-keluarganya.

Hening sejenak.

Animal symbolicum, manusia adalah makhluk simbol.

Tidak cukup kita mengaku diri mencintai seseorang, menghormati seseorang, tanpa memberi simbol-simbol yang bermakna.

Kita tidak perlu membeli hadiah yang mahal-mahal untuk memberi tanda mata cinta kepada orang yang kita kasihi, orang yang begitu berjasa dalam hidup kita, atau terhadap pasangan kita yang telah kita pilih untuk mendampingi kita dalam suka dan duka.

Kita bisa memberi pelukan kasih sayang, pun jika kita merasa sudah terlalu tua, simbol-simbol cinta kasih sesederhana apapun tetap perlu kita berikan.

Salah satu tata tertib Sapak Bayo-bayo yang perlu kita jaga adalah “dilarang menebang, mencabut pohon, tanaman”.

Tapi di stasi ini, demi nilai yang lebih besar, dengan tetap menjaga keberadaan vegetasi, kitab boleh memetik sehelai bunga berwarna yang ada di stasi ini untuk kita berikan kepada wanita-wanita yang ada di dalam kelompok kita saat ini.

Mereka mewakili ibu-ibu kita di rumah, yang patut kita hibur, agar mereka jangan larut dalam kesedihan karena “kenakalan/kebandelan/kesalahan kita’.

Silahkan tentukan siapa yang perlu memetik bunga untuk diserahkan kepada orang yang patut kita hibur.

Yang patut diberi bunga dalam kelompok kita saat ini: yang banyak mempersiapkan acara kita, yang tertua, atau yang termuda, romo, ketua panitia; bila ada pasutri, akan lebih bagus; yang akan memberi contoh bagaimana seorang suami memetik bunga untuk diserahkan kepada istrinya. Apabila pasutri, suami “kiss” isterinya usai memberi bunga (di telinga, dll). Momen tersebut difoto untuk diabadikan.

Doa Salam Maria dan Kemuliaan.

STASI 9: Yesus Jatuh Ketiga Kali

Sesudah semua peserta berkumpul di stasi ini, mereka bisa diminta tunduk dan hening sekitar satu menit, kemudian diajak berpindah ke cekungan di bawah (sekitar 30an meter ke depan). Di sana, dapat dilakukan refleksi/renungan stasi 9.

Peserta diminta menghadap ke barat, ke dinding bukit batu karst dan diajak melihat “rumpun” varian pohon beringin yang tumbuh di ujung massa bukit batu.

Mari kita mengenali varian pohon di atas ujung bukit batu.

Menurut informasi yang kami kumpulkan, usia pohon tersebut sudah lebih dari 100 tahun.

Untuk diketahui, jenis pohon beringin dapat tumbuh hingga 300-400-an tahun.

Mudah bagi pohon tersebut tumbuh di musim hujan.

Tapi, bila kita berlajar mengenal lebih jatuh, kita akan menemukan informasi ilmu pengetahuan bahwa justru dari situasi sulit, misalnya adanya musim kemarau panjang, yang terkadang berulang-ulang, yang jutru telah membuat pohon ini belajar beradaptasi dengan musim yang sulit, sehingga sampai sekarang pohon ini mampu terus bertahan hidup, bahkan semakin kuat.

Tiga tahun terakhir, Toraja terus diguyur hujan.

Tapi sama dengan tempat-tempat lain, daerah lain, ada saatnya Toraja dilanda musim kemarau panjang.

Tapi justru, kemarau panjang yang telah berulang, yang pohon ini semakin kuat bertahan hidup di atas batuan, full di atas batuan.

Kemampuannya beradaptasi dalam situasi sulit dalam waktu yang sudah sangat lama, lebih 100 tahun, menjadi jaminan bagi pohon ini untuk masih terus hidup dalam waktu yang begitu lama.

Dan begitulah kita juga dapat belajar dari pohon ini, yang mau dan telah belajar dari situasi sulit, musim kemarau panjang, hidup yang penuh perjuangan, termasuk juga berjuang dalam hidup berkeluarga bersama pasangan yang terkadang membosankan, makin lama hidup bersama makin ketahuan belangnya.

Tapi seperti Yesus yang jatuh ketiga kalinya, itulah yang membuat otot-otot Yesus semakin kuat, kuat untuk mendaki menuju Puncak Bukit Tengkorak.

Kita memang hendaknya tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama.

Tapi mari kita bersyukur bahwa kita telah melalui situasi-situasi yang sulit dalam keluarga kita, dalam komunitas kita.

Mungkin ada pertengkaran, perselisihan, perdebatan, ujian-ujian yang sulit.

Tapi bila kita mau mengambil/belajar mengambil hikmat dari pengalaman sulit, niscaya kita akan naik kelas, kita akan hidup lebih 100 tahun seperti pohon ini.

Maksudnya, seiring waktu, dengan belajar dari pengalaman, dan tentunya saling memaafkan jika ada perselisihan, mau rendah hati melayani pasangan dengan tujuan membahagiakan pasangan, bukannya meminta pasangan untuk membahagiakan diri kita, dan masing-masing berprinsip seperti itu, “memberi diri untuk melayani pasangan, melayani organisasi, melayani Gereja, melayani masyarakat”, maka itu pertanda kita naik kelas, jatuh tapi segera bangun untuk menuntaskan perjalanan membawa keluarga, membawa komunitas, membawa organisasi mencapai tujuannya.

Di tempat ini, mari kita sejenak mengingat perjalanan kita sejak dari awal sampai spot ini (sdh sampai Stasi 9).

Mana yang lebih melelahkan, di perjalanan awal ataukah sekarang ini, di mana kita sudah melalui perjalanan cukup panjang.

Ternyata yang lebih melelahkan adalah di perjalanan awal, dari pembukaan ke Stasi 2.

Sementara dari Stasi 2 sampai Stasi 9 ini, rasanya lebih ringan. Mengapa?

Walau perjalanan lebih jauh, tapi karena otot-otot kita sudah terlatih, kita merasa lebih kuat.

Rasa lelah tidak seberat perjalanan di awal.

Begitulah, latihan-latihan terus menerus, betapa pun perjalanan makin panjang dan treknya lebih sulit, kita melaluinya dengan lebih ringan karena kita sudah beradaptasi dengan perjalanan yang jauh dan lebih sulit tersebut.

Harapannya, usia kita makin bertambah, iman kita, mental kita, karakter kita semakin kuat.

Semoga, usia keluarga kita, usia perkawinan kita, usia organisasi kita yang semakin bertambah, juga kita semakin kuat bersama-sama, makin mudah untuk sampai kepada tujuan bersama.

Doa Salam Maria dan Kemuliaan.

STASI 10: Pakaian Yesus Ditanggalkan

Pakaian Yesus ditanggalkan.

Tekanan untuk Yesus terus bertambah/ditambahkan.

Yesus dihina agar Yesus semakin menderita, membuat hati-pikiran Yesus semakin menderita.

Masa sekarang, dengan gadget, orang mudah menghina orang lain.

Cukup dengan membuat status untuk menyindir orang lain.

Dan kita, karena iman, karena mental yang lemah, baru melihat status seseorang di medsos, kita sudah merasa terhina (padahal belum tentu status itu dimaksudkan untuk menyindir kita).

Mari kita, seperti Yesus, tak bergeming, apa pun hinaan orang. Yesus tetap melanjutkan perjalanan sampai tuntas ke Bukit Tengkorak.

Jangan karena hinaan, kita mutung dari sebuah program bersama yang telah kita sepakati.

Bila kita mundur, tindakan kita tersebut mendemotivasi kebersamaan.

Mari kita tetap melanjutkan pelayanan demi membawa keluarga kita, membawa organisasi kita mencapai tujuannya.

Hening sejenak.

Di sekitar kita, tampak beberapa pohon papaya, pohon buah yang sengaja ditanam dan buahnya kita biarkan matang tanpa kita petik.

Orang Toraja menjunjung tinggi pandangan kesatuan-persaudaraan antar makhluk yang disebut tallu lolona, tiga pucuk kehidupan. Ketiga makhluk: manusia–hewan–dan tanaman adalah bersaudara karena berasal dari satu sobekan. Tak ada yang mendominasi menguasai yang lain, ketiganya saling merawat, saling menghargai, bersama membangun kehidupan yang harmonis agar tercipta kedamaian di alam ini.

Buah pepaya dibiarkan matang, tidak dipetik, agar burung-burung datang makan dengan sebebas-bebasnya di sini. Manusia adalah subjek, burung adalah subjek, tanaman papaya adalah subjek yang berbuah sampai buahnya tua/matang di pohon dan menarik kedatangan burung.

Di Sapak Bayo-bayo Tana Toraja, kita melarang pengunjung masuk lokasi membawa senapan burung.

Dan kini, di seluruh area, semakin mudah kita mendengar kicauan aneka burung.

Bila kita melihat ular, segala jenis serangga, dan aneka satwa lain, biarkan mereka hidup bebas.

Karena kita semua adalah saudara, adalah anggota sebuah keluarga yang menghuni bumi kita bersama.

Pasti ada maksud Tuhan menciptakan semua yang ada.

Doa Salam Maria dan Kemuliaan.

STASI 11: Yesus Dipaku pada Kayu Salib

Yesus sudah jatuh berkali-kali, juga dihina, dan Yesus tetap berpasrah kepada Tuhan, dan semoga penderitaan Yesus segera berakhir.

Namun, nyatanya tidak, penderitaan Yesus semakin menjadi-jadi.

Mari kita ingat kisah Ayub dalam Perjanjian Lama.

Hidup Ayub adalah selalu takut akan Allah, tidak melakukan yang salah di mata Tuhan, sehingga seharusnya hidup Ayub selalu mudah.

Ayub adalah orang saleh sehingga hidupnya selalu diberkati, dimudahkan oleh Tuhan.

Nyatanya tidak.

Ayub kehilangan harta, kehilangan anggota keluarga, dan kena penyakit kusta, penyakit yang saat itu dipandang sangat memalukan.

Maka, sahabat-sahabat Ayub segera meminta Ayub tidak perlu lagi tunduk, tidak perlu percaya kepada Tuhan yang telah membuatnya sengsara.

Namun, Ayub tidak kehilangan ketataan kepada Allah, justru Ayub makin taat, berpasrah dan tetap setia.

Ayub berserah diri, membiarkan dirinya total dituntun oleh Allah.

Dan apa yang terjadi?

Yesus juga demikian.

Bukannya penderitaanya semakin diringankan.

Justru di Stasi 11 ini, penderitaan Yesus semakin menjadi-jadi.

Tubuh Yesus mulai dipaku, dan keluarlah darah dari tubuhnya, Yesus mengalami kesakitan luar biasa.

Ingat, ketika berdoa di Taman Getzemani, sebelum ditangkap, Yesus berkeringat darah dan sangat menderita serta Yesus berucap, “…kalau bisa cawan ini berlalu daripada-Ku, …”

Iman Yesus mulai ditantang, mental Yesus digoyahkan.

Tapi, seperti Ayub, Yesus pun pada akhirnya tetap bertahan, justru di situlah iman yang kuat perlu diuji, mau dipertahankan atau tidak, sebuah pilihan harus diambil: mundur atau bertahan dengan cara berserah diri tetap taat kepada Tuhan.

Dan Yesus melanjutkan ucapannya, “… bukan kehendak-Ku yang terjadi, tetapi kehendak-Mulah.”

Dan dalam titik yang paling rendah seperti itulah sebenarnya iman kita sedang diuji untuk menentukan apakah Ayub, apakah Yesus manusia, dan kita-kita ini, mau naik kelas atau tidak.

Ayub tidak goyah imannya, dan akhirnya dia mendapatkan kembali berkat berlipat-lipat kali daripada sebelumnya.

Begitupun Yesus, ketaatannya membawanya untuk menuntaskan perjalanan sampai wafat di salib guna menerima kemuliaan: bangkit dari alam maut.

Begitulah kita juga, sudah jatuh berkali-kali, juga sudah berdoa terus menerus agar mendapatkan berkat Tuhan, mendapatkan kemudahan dalam hidup.

Tapi nyatanya, kesulitan-kesulitan semakin datang.

Mungkin dalam hidup berkeluarga, hidup bersama dengan pasangan, justru koq rasa-rasanya semakin sulit.

Mungkin membangun usaha, tapi koq tidak ada tanda-tanda berhasil.

Perjalanan sudah cukup jauh ditempu dan mulai masuk tahap hampir putus asa, sudah bosan, hopeless.

Mari ingat kisah Ayub, mari kita dikuatkan oleh penderitaan Yesus.

Di stasi ini, lewat kesakitan luar biasa yang dialami oleh Yesus, dan justru dengan cara demikianlah, tinggal satu stasi lagi Yesus akan wafat di kayu salib lalu menerima kemuliaan, justru inilah yang memantik kita untuk bertahan dalam ujian.

Karena justru pada titik inilah ujian yang sebenar-benarnya terberat sedang kita alami, demi kita naik kelas, melompat ke tingkat yang lebih tinggi dalam kehidupan kita, hidup pribadi kita, hidup bersama pasangan atau keluarga kita, dalam organisasi kita.

Justru kesulitan yang sangat berat, yang mau kita hadapi, yang akan menentukan kualitas hidup kita, kualitas iman kita.

Lihatlah, di sekeliling alam liar di sini, di atas rumpun-rumpun tanaman, di sekeliling Stasi 11 ini, tumbuh bunga liar, yang tidak pernah ditanam oleh pengelola.

Lihatlah beberapa rumpun bunga yang tampak bunganya seperti biji dan berwarna merah.

Orang Toraja menyebutnya “bunga rezeki’.

Ya, bunga rezeki, bunga berkat, justru hanya (paling dekat, paling kelihatan) tumbuh di stasi ini, ketika dari tubuh Yesus mengucur darah, tanda kesakitan luar biasa.

Justru saat kita hampir menyerah, karena kita menanggung kesulitan yang luar biasa, kita sebenarnya tinggal selangkah, akan menerima, menikmati hasil, menerima rezeki, menerima berkat Tuhan.

Dari titik paling sulit inilah, kita mengikuti Yesus berseru, “… bukan kehendak-Ku yang terjadi, tetapi kehendak-Mulah.”

Di titik inilah iman kita diuji, ketaatan kita dibuktikan, dan kita akan mendapatkan hasil berlipat-lipat, melebihi target-target kita.

Dan bagi pasangan atau antarteman, atau antaranggota organisasi yang sulit berkomunikasi, sulit membangun kehidupan bersama, lihatlah di sebelah utara patung stasi ini, kita belajar dari pohon dan batu yang sudah semakin mirip.

Lihatlah, batang pohon yang hidup di atas batu, sudah semakin mirip dengan batu.

Pohon dan batu, dua entitas yang kita pandang tidak punya pikiran, tidak punya hati, bahkan bisa padu, bisa mirip; apalagi kita manusia, makhluk paling adaptif di dunia, harusnya jauh lebih mudah membangun kebersamaan, semakin padu satu sama lain.

Doa Salam Maria dan Kemuliaan.

STASI 12: Yesus Wafat di Kayu Salib

Setelah sampai di stasi ini, semua peserta diminta berdoa pribadi selama beberapa menit.

Selanjutnya, diajak untuk pindah ke stasi 13.

Karena juga, di stasi 12 tadi, stasi ini sdh mulai direnungkan.

(Tidak harus ditutup dengan doa Salam Maria dan Kemuliaan.

Ilustrasi – Yesus dan Maria. (Ist)

STASI 13: Jenazah Yesus Diturunkan dari Salib

Kita barusan beranjak dari Stasi 12 dan kini berada di Stasi 13 ini, Jenazah Yesus diturunkan dari salib.

Pada dua stasi yang berdekatan ini, kita kembali berjumpa dengan figur wanita, tentunya mau menegaskan kepada kita apa arti salib dan bagaimana contoh salib dapat kita lihat dalam kehidupan nyata kita sehari-hari.

Yakni, dengan melihat apa yang dilakukan Ibu Yesus, Bunda Maria, yang juga mau menggambarkan apa yang dilakukan oleh Ibu yang melahirkan dan merawat kita sehingga kita ada seperti sekarang ini.

Yesus tahu kekhawatiran para murid, jika Dia wafat dan pergi. Maka, kepada Yohanes, yang mewakili murid-murid yang lain, Yesus menitip para murid kepada Ibunya, “Ini Ibumu.” Dan kepada Ibu Maria, dia menunjuk Yohanes dengan mengatakan, “Ini anakmu.”

Para murid tidak perlu takut ditinggalkan oleh Yesus. Ada Ibu Maria yang akan menjaga mereka.

Dan di Stasi 13 ini, kembali Ibu Maria hadir ketika jenazah Yesus diturunkan dari kayu salib.

Kembali Ibu Maria, figur perempuan yang terus mengiringi perjalanan Putera sampai tuntas, sampai penderitaan terakhir: ketika maut datang menjemput.

Mari kita ingat mukjizat pertama Yesus, mengubah air menjadi anggur terbaik.

Itu adalah inisiatif dari seorang Ibu. Ketika menghadiri pernikahan di Kana, Ibu Maria mendengar pelayan-pelayan berbisik-bisik dan panik karena anggur habis.

Ibu Maria “mencolek” Puteranya, Yesus, dengan menginformasikan bahwa anggur habis.

Namun, Yesus menjawab bahwa “waktuku belum tiba”.

Namun, seperti saat mendengar kabar gembira dari Malaikat Gabrial bahwa “dia mengandung …”, Ibu Maria percaya penuh, berserah diri kepada kuasa Tuhan.

Begitu pula di sini, Ibu Maria tidak panik mendengar perkataan Yesus. Dia hanya percaya, berserah diri kepada kuasa Tuhan sehingga dia menyuruh para pelayan mengukuti saja kalau ada perintah dari Yesus.

Dan benar, Yesus meminta para pelayan mengisi air ke gentong-gentong yang kosong.

Dan terjadilah mukjizat pertama Yesus, merubah air menjadi anggur, dalam sebuah perhelatan keluarga: sebuah pernikahan.

Kita semua yang ada di sini adalah “mukjizat dalam keluarga kita masing-masing”. Kita adalah monument-monumen indah dalam keluarga kita masing-masing, hasil dari perawatan cinta seorang Ibu.

Mari kita memuliakan ibu kita. Mungkin ibu kita sudah meninggal, kita mengingat kembali cintanya untuk keluarga, untuk kita, kita terus hidupkan dalam keluarga kita, dalam organisasi kita.

Kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa, hanya memberi, tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia.

Itulah makna dan contoh salib, seperti Ibu Maria yang terus mengiringi perjalanan anakNya memanggul salib hingga wafat dan memangku jenazah Yesus. Tapi dari situlah, Yesus dimuliakan, Yesus bangkit.

Cinta Ibu kepada kita, seperti sang surya menyinari dunia. Dunia, bumi, tak punya cahaya, dia hanya menerima cahaya dari matahari,

Ibu tak berharap cintanya kita balas. Yang paling penting bagi ibu, cinta yang kita terima dari ibu kita, memantul kembali dan menerangi keluarga kita, cahaya yang kita terima dari ibu memantul menerangi orang sekitar kita, organisasi kita, kita berkontribusi positif di manapun kita berada.

Mari kita hening sejenak, dan dalam hati dan pikiran kita, kita memuliakan ibu kita.

Hening sejenak.

Lalu di manakah ayah, di manakah tempat para lelaki?

Jalan Salib Sapak Bayo-bayo disebut Jalan Salib Pohon Pangi.

Bila kita menelusuri ulang jalan salib kita tadi, dari awal sampai sekarang di stasi 13 ini, kita akan melihat hal yang luar biasa, apakah itu?

(Seandainya) Cuaca cerah, normal, siang hari (pagi sampai sore ketika matahari terbit normal, tak ada cuaca mendung), seharusnya di banyak spot kita akan terpapar panas cahaya terik matahari. Namun, ternyata, seandainya cuaca normal, di banyak spot, paparan panas cahaya sang surya segera berlalu dan digantikan oleh suasana teduh, adem. Karena apa?

Tema besar Sapak Bayo-bayo adalah ekologi, yang mesti selalu kita jaga kelestariannya, mendominasi perjalanan kita menyusuri via dolorosa Sapak Bayo-bayo, sebuah jalur jalan salib yang sangat unik, eksotik, yang dipenuhi fitur alam dan fitur budaya khas Toraja.

Kita nyatanya dapat berjalan tanpa perlu banyak kepanasan. Karena apa.

Karena sepanjang perjalanan, kita dinaungi oleh banyak pepohonan yang rindang. Juga dilindungi oleh dinding-dinding bukut karst serta dihibur oleh aneka bunyi atau suara berjenis-jenis burung, serangga, dan angin yang meniup daun-ranting-dan batang pohon.

Terutama di banyak spot kita terlindungi dari paparan panas matahari oleh banyak pohon pangi yang tumbuh menyebar di semau area Sapak Bayo-bayo. Berpohon tinggi dan berdaun lebar, pohonn pangi menjadi pelindung kita dari paparan panas ekstrem (jika cuaca normal).

(Jika cuaca normal) Lihatlah di Stasi 13 ini, kita dapat berdiri lama sepanjang hari karena kita dikelilingi oleh banyak pohon pangi.

Ketika di Stasi 13 ini adem, lihatlah di Stasi 12, terang benderang, pasti panas (jika siang dan cuaca normal), karena di Puncak Bukit Tengkorak, di Stasi 12, bersih dari pohon pangi.

Jika berkali-kali sepanjang jalan salib kita tadi, kita terus mengulang-ulang belajar dari figure ibu, menghormati perempuan, memuliakan Ibu, wanita dalam keluarga, dalam berbagai bentuk komunitas kita, termasuk dalam organisasi kita, karena secara langsung muncul dalam banyak Stasi Jalan Salib kita, ternyata figure laki-laki, figur ayah, figur bapak, figur romo, juga akhirnya kita ingat di sini, kita juga hormati di sini, kita juga muliakan di Stasi 13 ini,

Di Jalan Salib Sapak Bayo-bayo, figur laki-laki, figur ayah, figur bapa, disimbolkan oleh pohon pangi …

Pohon pangi yang adalah ayah, para lelaki, para bapa, romo yang melindungi keluarga, melindungi ibu, melindungi para perempuan, menjaga para anak, melindungi umat dari paparan cuaca-cuaca ekstrim.

Para lelaki melindungi para wanita dari paparan panas terik agar para wanita tidak mengalami kesakitan atau penderitaan yang berlarut-larut.

Para lelaki adalah seperti Yesus yang walau sangat sibuk, apa pun alasannya, mau memberi waktunya untuk menghibur wanita-wanita yang menangis, membuat para wanita dapat mengganti hari-hari berurai air mata menjadi hari-hari penuh tawa suka ria.

Laki-laki dan perempuan justru memiliki peran yang berbeda-beda agar bisa saling melengkapi.

Doa Salam Maria dan Kemuliaan.

STASI 14: Jenazah Yesus Dimakamkan

Tempat ziarah Sapak Bayo-bayo tidak dibangun, tetapi ditemukan.

Tuhan telah menciptakan alam Toraja untuk menjadi Holy Land di luar Israel dan Palestina.

Di Holy Land (asli), banyak situs masa Yesus, 2.000 tahun lalu, sudah terkubur di bawah permukaan tanah.

Di Toraja, di Sapak Bayo-bayo, situs Yesus- 2.000 tahun lalu, masih dapat kita jumpai di permukaan.

Salah satunya di Stasi 14 ini, tempat jenasah Yesus dimakamkan.

Ini adalah gua alam, dan memvisualkan dengan sangat bagus apa yang dikatakan dalam Injil: jenazah Yesus diturunkan dari salib dan dimakamkan di kuburan baru, di mana belum ada seorang pun (belum ada satu jenazah pun) yang dikuburkan di situ.

Banyak gua di Toraja, juga termasuk tentu di tempat ziarah Sapak Bayo-bayo, tapi gua-gua itu sudah menjadi makam, dapat ditemukan tengkorak manusia di dalamnya. Banyak makam yang tidak kelihatan, tapi sebenarnya sangat banyak gua makam ada di berbagai area di Sapak Bayo-bayo.

Dan uniknya, gua ini, Stasi 14, penduduk di sini memberi kesaksian, dan pengelola sudah melakukan cek dan ricek, gua alam stasi 14 belum pernah menjadi makam.

Ternyata keangngan Tuhan, tanpa pernah direncanakan oleh panitia, akhirnya sejak sekitar 3 tahun lalu, stasi 14 kemudian dipindahkan ke sini.

Hening sejenak

Mari kita berdoa, Salam Maria dan Kemuliaan.

Sia-sialah iman kita bila Yesus tidak dibangkitkan.

Iman kita, dan semua perayaan iman, baru ada, baru memiliki arti karena berada dalam terang Paskah, Yesus Bangkit.

Dalam studi Kitab Suci dan Teologi, salah satu bukti bahwa Yesus bangkit adalah adanya Makam Kosong.

Ternyata gua alam tempat kita berada ini memiliki dua bilik, dua ruangan.

Sekarang, mari kita pindah ke bilik satunya, yaitu ke Stasi 15: Makam Kosong, pertanda/simbol Yesus Bangkit.

Ilustrasi: Maria Magdalena dan perempuan lain di makam Yesus yang sudah kosong ( James Tissot).

STASI 15: Makam Kosong – Yesus Bangkit – Kapel Gua Kebangkitan

Peserta telah duduk tenang di bangku.

Ditambahkan/diulang informasi: Sapak Bayo-bayo bukan terutama dibangun, tetapi ditemukan, telah disediakan oleh Tuhan berupa alam Toraja yang sangat unik.

Salah satunya, di sini, di Stasi 15, makam kosong, dan secara resmi diberi nama Kapel Gua Kebangkitan.

Ini adalah gua alami yang sekarang sudah menjadi gereja kecil atau kapel alam, tempat kita menutup jalan salib kita, dengan sebaiknya misa penutupan (bila ada romo), karena via dolorosa berujung pada Kemuliaan Tuhan dalam Perayaan Ekaristi.

Atau dengan mengikuti doa penutup.

Entah berapa ribu tahun lagi, atau juta tahun, stalaktit dan stalagmit di gua ini akan “menutup atau mempersempit ruang gua ini” karena formasi alam masih terus berlangsung di sini lewat tetesan-tetesan air setiap turunn hujan.

Tuhan memberi kita berkat, rezeki, sekarang sebagai “generasi” yang dapat merayakan kemuliaan kemenangan atas maut di gua ini.

Dan mari kita membawa kabar gembira, sekembali dari Sapak Bayo-bayo ke tempat kerja kita, ke keluarga kita, ke berbagai komunitas di mana kita bergabung di dalamnya, kabar kesukaan tentang pesan dari Sapak Bayo-bayo, pesan dari Toraja untuk Dunia: Harmoni Semesta Berbasis Keluarga.

Terimakasih.

Baca juga: Bahan-bahan Retret Ekologi di Tana Toraja (9)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here