Renungan Harian
Jumat, 10 September 2021
Bacaan I: 1Tim. 1: 1-2. 12-14
Injil: Luk. 6: 39-42
PADA sebuah pertemuan orangtua calon komuni pertama, saya diminta berbicara tentang membangun keluarga Katolik yang baik.
Harapan yang diminta, saya menjelaskan bagaimana tentang pendidikan anak. Agar para orangtua dapat mendampingi putera-puterinya dengan baik.
Mengingat keterbatasan saya, maka saya lalu minta pasangan suami isteri yang sudah senior. Juga telah kami kenal sebagai pasangan yang baik bisa dijadikan panutan untuk syering tentang pengalaman pola asuh dalam keluarganya.
“Bapak ibu dan saudara-saudari yang terkasih, sebenarnya saya tidak pantas untuk berbicara di depan bapak-ibu dan saudara-saudari sekalian.
Kalau sekarang ini keluarga saya nampak rukun, baik dan menurut Romo bisa jadi contoh sebenarnya masih terlalu jauh.
Kami masih berjuang dan bergulat untuk selalu menata keluarga kami. Kami, terutama saya, mulai berubah dan menjadikan keluarga seperti yang Romo lihat rasanya belum sampai 10 tahun. Kalau saya melihat keluarga kami tahun-tahun sebelumnya bisa dikatakan keluarga amburadul.
Saya selalu menyibukkan diri dengan pekerjaan, dan menikmati hobi saya bersama teman. Pulang ke rumah saya selalu menuntut keadaan rumah beres.
Rumah beres, anak-anak beres. Pokoknya semua harus baik. Maka tidak pernah ada hari saya tidak marah, baik dengan isteri maupun dengan anak-anak.
Tidak jarang karena saya marah-marah kemudian menjadi pertengkaran dengan isteri. Apa yang muncul dari diri saya adalah tuntutan-tuntutan agar semua baik, semua sempurna.
Saya mendidik dengan keras anak-anak saya, dan semua harus nurut tidak bisa dibantah.
Suatu hari, anak saya yang paling besar pulang dari kuliah sudah malam seingat saya pukul 22.00-an.
Melihat anak saya pulang malam, saya langsung marah dengan kata-kata kasar, dan juga menyalahkan isteri yang tidak bisa mendidik anak.
Tanpa saya duga dan tidak pernah muncul dalam benakku, anak saya melawan.
Ia menunjukkan “data-data” tentang perilaku saya yang tidak bisa dicontoh. Ia menunjukkan betapa saya selalu menuntut dan menuntut; menyalahkan dan menyalahkan tetapi sebenarnya saya jauh lebih brengsek dari apa yang saya salahkan.
Anak saya sampai mengatakan: “Pa, ngaca, ngaca. Cari kaca yang bersih untuk ngaca biar papa tahu, seperti apa papa itu.
Papa tahu nggak, papa itu orang yang melihat semut di seberang lautan dan mengamat-mengamati terus tetapi gajah di pelupuk mata papa sendiri, papa tidak melihat.”
Saya terkejut dan syok, sampai saya hanya terdiam tidak bisa berkata apa-apa.
Mau melawan sudah tidak berdaya karena semua yang dikatakan anak saya itu benar.
Saya lalu masuk kamar dan diam. Semalaman saya sungguh-sungguh tidak bisa tidur, saya merasa malu dengan diri saya.
Saya telah merendahkan diri saya sendiri.
Saya telah dilempar ke dasar kesadaran diri saya oleh anak saya sendiri.
Esok pagi, saya datang ke kamar anak saya satu persatu dan saya meminta maaf kepada mereka dan mengajak mereka untuk memperbaiki situasi di rumah ini.
Demikian pula saya meminta maaf pada isteri saya dan mengajak dia untuk kembali dari awal dan saya berjanji untuk berubah,” bapak itu mengakhiri syeringnya.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Injil Lukas mengingatkan agar berani untuk selalu mawas diri dan tidak mudah untuk menyalahkan orang lain.
Teladan hidup adalah nasehat yang paling baik. “Mengapakah engkau melihat selumbar dalam mata saudaramu, sedangkan balok dalam matamu sendiri tidak kau ketahui?”
Bagaimana dengan aku?
Apakah aku lebih mudah mawas diri?