Dipuji, Tatacara Persiapan Perkawinan Katolik Tertib Ikuti Prosedur

0
395 views
Ilustrasi - (Ist)

BAPERAN – BAcaan PERmenungan hariAN.

Jumat, 23 Juli 2021.

Tema: Rahasia hidup.

  • Bacaan Kel. 20: 1-17.
  • Mat. 13: 18-23.

“MENGERTIKAH kamu apa yang telah Kuperbuat kepadamu?” Lih. Yoh. 13: 12.

Mengerti berarti menerima dengan akal. Mengamini dalam hati. Juga mengakui dengan sadar. Percaya sepenuhnya bahwa salib-Nya adalah jalan menuju pengudusan.

Mengerti berarti pula kemampuan memandang ke dalam hati orang lain. Lalu ikut merasakan keinginan yang tersembunyi dan kesediaan untuk berbagi.

Mengerti berarti pula berani belajar menemukan kehendak Allah dalam hatinya sendiri. Juga di dalam derita-jeritan sesama. Di dalam setiap peristiwa.

Pertumbuhan dan pendewasaan iman kadang menyakitkan. Terlebih, kalau itu menjadi bagian atau dampak  positif lantaran kita melakukan perintah kasih.

Yahwe membentuk umat kesayangan-Nya dengan memberi 10 Perintah-Nya. Sebuah traktat sosial. Ia ingin manusia hidup dalam kemuliaan-Nya,

Gloria Dei vivens homo.

10 Perintah Allah adalah ikatan tertib sosial  masyarakat yang dikuduskan bagi Yahwe. Inilah  sebuah cara hidup umat-Nya. Hidup yang berkeadilan; bertumbuh dalam dan demi kebaikan bersama.

“Aku menunjukkan kasih setia kepada beribu-ribu orang, yaitu mereka yang mengasihi Aku dan yang berpegang pada perintah-perintah-Ku.” ay 6

Belajar mengerti

Saat penyelidikan kanonik, calon pasangan suami isteri yang mau menikah secara Katolik, biasa ditanyaini seperti ini. “Seberapa dalam  kalian mengenal satu sama lain? Apakah kalian mengerti satu sama lain?”.

“Ya, kami saling mengerti. Kami pacaran hampir lima tahun. Tidak ada yang kami sembunyikan. Kami terbuka dan mencoba memahami satu sama lain. Kami serius melangkah bersama; berjalan bersama  membentuk keluarga,” itu jawaban “klasik” kedua calon pengantin.

“Apa tabiat buruk dalam dirimu dan pasanganmu. Dan kalau itu tetap ada selama perjalanan perkawinan kalian, tetapkah ingin tinggal bersama? At any risk?” tanya pastor.

Mereka lalu saling memandang dan memberi isyarat pasangannya yang terlebih dahulu menjawab.

Calon mempelai perempuan mungkin saja akan menjawab seperti ini. “Saya memaafkan dan belajar mengerti pengalaman gelap pasangan saya. Itu kan masa lalu. Saya percaya, cinta dan kebersamaan kami dapat menghindarkan itu terjadi kembali.”

Lalu, ia melihat sambil memegang tangan pasangannya.

“Saya mencintai dia, Romo. Saya ingin menjadi perempuan terbaik bagi dia; ibu yang terberkati bagi anak-anak kami nanti. Satu hal yang selalu saya minta dari dia jangan membentak. Saya terluka di masa lalu. Almahum papa begitu disiplin dan tegas. Tetapi bagi kami sebagai tindak otoriter. Almarhum papa keras dan merasa benar sendiri,” lanjut calon mempelai puteri.

“Kalau dia tetap membentak di suatu saat, lalu gimana?” tanya pastor sedikit kepo. Mau tahu reaksinya.

“Ya saya akan mengingatkan komitmen dan janjinya. Saya mencari sebabnya; dan bertanya kenapa itu terjadi. Paling saya berkonsultasi dengan pastor pembimbing,” jawabnya.

“Dan kalau tetap terjadi?”

Calon mempelai puteri lalu melirik pasangannya,

“Tuh, ini pertanyaan untuk kamu lo,” kata calon mempelai perempuan untuk calon suaminya.

Membelai rambut pasangannya.

“Ya, saya berjanji dan berusaha tidak akan. Saya berharap calon saya tidak membongkar, dan mengingat-ingatkan masa lalu, kalau sedang bertengkar. Saya sudah jujur. Tak ada yang disembunyikan. Semua sudah saya ceritakan. Awalnya dia marah dan kecewa. Tetapi semenjak saya mengenal dia saya berusaha berubah. Saya tidak mengulangi hal yang sama. Saya pun mencintai dia. Saya janji, dia adalah perempuan terakhir,” jawan calon mempelai pria.

“Saya ingat pesan Mama, ‘Jangan menyakiti hati perempuan. Mama juga seorang perempuan juga.’

Dua adik saya juga perempuan. Mereka akrab dengan pasangan saya. Bahkan kadang terkesan membela satu sama lain, bila berhadapan dengan saya,” terang calon mempelai laki-laki.

“Papa Mama juga selalu menasehati saya, ‘Jadilah pelindung isterimu dan adik-adikmu yang perempuan. Ingat Mamamu yang hampir kehilangan nyawa karena melahirkanmu,’ begitu kata Papa. Saya berjanji,” lanjutnya.

Kadang kita hidup seperti biji yang jatuh di semak berduri. Bahkan mungkin kita sendiri yang membiarkan semak berduri tumbuh melilit dalam keluarga kita.

Bersih diri dan kejujuran mungkin dapat menjadi buah-buah keindahan hidup.

Menghidupi komitmen Sakramen, tegas menyingkirkan kekaburan sikap, suam-suam kuku, itulah anugerah sekaligus tantangan.

Belajarlah lembut hati satu sama lain dalam memikul salib keluargamu.

Tuhan, mampukan kami mendengar firman-Mu, melakukan titah-Mu. Amin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here