Sabtu 17 Februari 2024.
- Yes. 58:9b-14.
- Mzm. 86:1-2,3-4,5-6;
- Luk. 5:27-32
SETIAP orang memiliki preferensi yang berbeda-beda dalam hal pertemanan. Beberapa cenderung selektif dan hanya akan berteman dengan orang yang dirasa cocok dengan dirinya.
Sementara, sebagian lainnya lebih terbuka dan mau berteman dengan siapa saja.
Apa pun pandangan kita tentang pertemanan, kita harus memastikan bahwa kita tidak salah memilih teman. Pasalnya, dengan siapa kita banyak menghabiskan waktu memiliki dampak signifikan pada cara kita bertindak, berpikir, dan merasa.
Jika kita banyak mendedikasikan waktu untuk teman yang salah, ini akan berdampak buruk pada kesehatan mental dan kehidupan kita secara keseluruhan
“Teman yang baik sepantasnya mencintai kita apa adanya. Jika ada orang yang membuat kita merasa buruk karena menjadi diri sendiri dan terus memaksa kita untuk mengikuti standarnya, jauhi orang itu secepatnya,” kata seorang bapak.
“Saya bersyukur punya teman yang baik, seorang teman yang membuatku merasa lebih baik tentang diri sendiri, dan memberikan saran yang jujur jika saya minta,” ujarnya.
“Beda sekali dengan teman yang lain, yang suka terus-menerus bergosip dan saling menusuk,” lanjutnya.
“Temanku itu, menemaniku saat aku harus bangkit dari situasi yang cukup rumit, bahkan menyadarkan diriku untuk menghentikan sifat kekanak-kanakan yang kadang muncul dalam hidupku,” sambungnya.
“Bersamanya, saya menjadi lebih dewasa dan tidak lagi berpura-pura atau mendramatisir situasiku,” tegasnya.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Lalu jawab Yesus kepada mereka, kata-Nya: “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit;
Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, tetapi orang berdosa, supaya mereka bertobat.”
Sikap hati yang keliru bisa menjadi penghalang untuk dekat dengan Tuhan. Yesus melihat dan memanggil Lewi yang berprofesi sebagai pemungut cukai.
Di antara para tamu undangan, hadir juga para ahli Taurat dan orang Farisi. Mereka bersungut-sungut karena Yesus dan para murid makan bersama pemungut cukai dan orang berdosa.
Dari kisah ini, kita menemukan sebuah kontras. Lewi menemukan Tuhan. Sebaliknya, ahli Taurat dan orang Farisi tidak. Bagaimana mungkin penjahat bisa mendapatkan Tuhan, sementara orang yang hidup untuk menaati perintah-Nya, tidak?
Orang Lewi menemukan Yesus sebagai seorang sahabat yang menawarkan pembaharuan hidup dengan merangkulnya dan memanggilnya untuk menjadi sahabatnya.
Sedangkan, Orang-orang Farisi merasa sudah baik bahkan mereka memandang rendah Yesus yang mau makan bersama Lewi yang dicap sebagai pendosa.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku bisa menjadi teman yang baik, berani menegur dan mengingatkan jika ada kesalahan langkah?