BAGAIMANA mempraktikkan semangat ASG dalam sebuah peta politik di Indonesia, khususnya pada momentum pemilihan kepala daerah melalui mekanisme pilkada di tingkat kabupaten? Atas pertanyaan ini, Romo Edy Purwanto Pr kemudian berkisah tentang pengalaman riil yang pernah dia lihat di lapangan.
Setting peristiwanya terjadi, ketika beberapa tokoh katolik di sejumlah paroki di wilayah Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), mampu berperan penting dalam sebuah proses politik. Mereka bisa menentukan dan menyaring mana-mana saja para bakal calon bupati yang dianggap baik dan diharapkan umat katolik mampu menjalankan amanah kekuasaan rakyat.
Di lapangan –maksudnya di wilayah Kabupaten Kulon Progo, DIY itu—jumlah umat katolik tidak sampai angka 7% dari total jumlah penduduk yang ada. Namun dengan prosentase kecil itu, toh para tokoh politik katolik setempat bisa berperan hingga peta politik menjelang pilkada bisa berubah komposisi jumlah bakal calon dan jumlah partai pendukungnya.
Di wilayah Kabupaten Kulon Progo, hanya ada 4 wilayah gerejani yakni Paroki Promasan, Paroki Boro, Paroki Wates, dan Paroki Nanggulan. Kepada beberapa tokoh umat katolik di lima paroki inilah, Gereja bisa berperan untuk memberi “suntikan referensi” menyikapi pilkada guna menyaring para bakal calon bupati dan wakil bupati Kabupaten Kulon Progo waktu itu.
Caranya bagaimana?
Menurut Romo Edy yang mengamati kondisi lapangan, pertama-tama dilihat saja dulu track-record setiap bakal calon bupati dan bakal calon wakil bupati. Dari paparan track-record-nya, maka akan kelihatan tingkat kepantasan dan kelayakan para bakal calon itu sebagai pemimpin masyarakat berkualitas atau tidak.
Nah, pada tahap itu ASG bisa berperan penting untuk mengukur tingkat akseptibilitas para bakal calon itu dalam “ruang berpolitik” untuk memimpin orang lain. “Kalau orang-orang yang dianggap tidak layak diberi ruang untuk memimpin dan punya kuasa untuk memengaruhi orang lain, itu namanya ya berisiko,” terang Romo Edy.
Nah, dari proses “seleksi” itulah kemudian peta politik pencalonan menjadi berubah.
Studi lapangan senada juga diungkapkan Paul Soetopo, CEO/Pendiri GSC. Di Amerika Serikat, politik hanya didominasi dua partai yakni Republik dan Demokrat. Namun, ketika mereka bersaing untuk memperebutkan kursi nomor satu dan nomor dua untuk White House, diam-diam mereka akan mendekati The Latinos.
Dengan komposisi penduduk katolik hanya 25 % dari seluruh total penduduk AS, maka posisi strategis The Latinos menjadi penting untuk diperebutkan. “Dan ternyata sejarah telah membuktikan hal itu,” terang Paul Soetopo.
Pendidikan politik untuk umat
Teramat jamak, politik sering disebut kotor atau permainan kekuasaan yang tidak kenal moralitas. Namun forum Disclub GSC beberapa waktu lalu itu justru menyikapi politik sebagai bagian penting yang tidak boleh diacuhkan. Apalagi melihat kecenderungan praktik berpolitik yang transaksional seperti yang terjadi di banyak pilkada dan bahkan pemilu di Indonesia ini. Intinya, “Pilih aku, maka kepentinganmu akan kujaga” atau “Ini massaku ingin mendukung Bapak, namun jangan melupakan kami-kami juga ya!”.
Memang susahlah membuat sebuah kontrak politik dengan para bakal calon. Dengan kondisi jumlah katolik yang sedikit, arah ke situ agaknya susah dicapai. Namun menjadi lebih mudah, kalau beberapa kelompok intelektual katolik memberikan pendidikan politik bagi umat dan tak terkecuali bagi para romo, suster, bruder, rohaniwan-rohaniwati.
Intinya bukan mau mengajak mereka berpolitik praktis. Namun bagaimana sesuai semangat ASG mereka bisa menyikapi sebuah peristiwa politik dengan acuan yang benar dan tepat. Jadi, rasanya kalau ada pemilu atau pilkada, justru saatnya umat katolik harus memberikan suaranya untuk memilih bakal calon pemimpin yang memenuhi kriteria “suara hatinya” masing-masing.
Apalagi, Gereja dan hirarki pun tidak pernah mengarahkan umatnya untuk memilih bakal calon ini atau itu. (Selesai)
Artikel terkait:
Disclub GSC: Ajaran Sosial Gereja Bukan Ajak Umat Berpolitik Praktis (3)
Disclub GSC: Ajaran Sosial Gereja, dari “Rerum Novarum” ke “Centesimus Annus” (2)
Disclub GSC: Harta Gereja Tiada Terkira itu Bernama Ajaran Sosial Gereja (1)
Menengok Kembali Forum Disclub Pertama Gaudium et Spes Community (GSC)
Disclub GSC Mengagendakan Bahasan tentang Panggilan Calon Imam (2)
Discussion Club (Disclub), Nama Kelompok Baru di Gaudium et Spes Community (1)
Memetakan Aplikasi Ajaran Sosial Gereja: Studi Kasus Pilgub DKI Jakarta (2)
Memetakan Aplikasi Ajaran Sosial Gereja pada Peta Politik Pilgub DKI Jakarta (1)