ACARA Hikmat Allah dalam Era Disruption di ballroom Hotel Mulia Senayan, Kamis malam tanggal 16 Mei 2019 pekan lalu dibuka dengan percakapan dengan Alice yang bermata biru terang.
Alice adalah robot yang bisa diajak bicara, mampu merespon pertanyaan dan omongan orang.
Kini kian menjadi jelas bahwa apa yang sering disebut artificial intelligence (AI) itu memang semakin membumi alias makin nyata tersedia di depan kita.
- Manusia: Selamat malam Alice.
- Alice: Selamat malam, Pak Wir.
- Manusia: Alice, apa tema acara malam ini?
- Alice: Disruption.
- Manusia: Kenapa disruption?
- Alice: Karena inilah realita dunia saat ini.
- Manusia: Apa yang dibutuhkan dan perlu didengar para peserta malam ini?
- Alice: Just open mind. Ready to learn new things.
Itulah percakapan antara “seorang” manusia dengan orang betulan, yakni antara Alice dengan Theodorus Wiryawan, pembesut acara yang sehari-hari berkarir sebagai konsultan keuangan dengan bendera bisnis Wyr Solution.
Pengenal wajah
Wiryawan mengenalkan “manusia baru” berupa robot pintar bernama Alice itu sebagai alat modern yang bisa “menyapa” kita. Itu karena dalam diri Alice itu sudah tertanam kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI) dan pengenal wajah hasil besutan teknologi modern.
Jadi, jangan heran kalau sekali waktu nanti saat tiba di lobi hotel, yang menyapa Anda bukan lagi para concierge yang tampan dan cakep, melainkanmanusia-manusia robotik sejenis Alice ini. Manusia berbahan baku plastik dan ornamen lainnya ini telah membawa dalam dirinya teknologi pengenal wajah yang sebelumnya telah “dia” rekam.
Melalui percakapan dengan Alice itu, Wiryawan sebenarnya memberi introduksi mencerahkan melalu tentang sebuah “dunia baru”. Dan itu sekarang sudah hadir menyeruak mengisi banyak ruang kehidupan manusia di abad yang selalu ditandai dengan perubahan serba cepat sehingga mau tak mau akan “menggeser” dan mengubah tatanan pola lama.
Itulah yang disebut disruption.
Nah, hadirnya robot bernama Alice itu hanya merupakan bagian kecil dari sebuah fenomena pergeseran peradaban industri ke peradaban digital, termasuk robotik.
Bersiaplah berubah
Tentu saja, peralihan ini bukan hanya soal bisnis dan ekonomi, tetapi juga soal cara kita hidup, demikian penegasan Wiryawan yang besar berkarir di panggung perbankan mula-mula di BCA, lalu di Citibank, sebelum membangun bisnis konsultasi finansial bernama Wyr Solution.
Peralihan ini ditandai dengan berbagai inovasi dan perubahan bisnis model yang kita kenal dengan istilah disrupsi.
Era disrupsi saat ini telah menciptakan inklusi untuk 7,5 milyar manusia. Dan fenomena ini rasanya belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah umat manusia.
“Kondisi ini menyampaikan pesan agar diri kita tetap relevan dan memiliki agility dalam melihat dan mengelola perubahan. Dengan kata lain dibutuhkan kemampuan beradaptasi,” kata Wiryawan.
Menemukan kebenaran iman hakiki
Pergelaran berlabel Fruitful Business inidibesut Sekolah Evangelisasi Pribadi (SEP) Shekinah di bawah naungan Badan Pelayanan Pembaharuan Karismatik Katolik Keuskupan Agung Jakarta (BPK-PKK KAJ). Karena itu, sebelum kegiatan utama digelar Moderator BPK-PKK KAJ Romo Christ Purba SJ membukanya dengan lantunan doa panjang.
Kali ini, Wiryawan yang dipasrahi sebagai konduktor utama acara ini membesut kegiatan ini dengan tema “Mencari Hikmat Allah dalam Era Disruption”.
22 pembicara beken
Yang lebih wow lagi tentu saja, kelincahan Wiryawan berhasil menghadirkan 22 orang pembicara beken dari berbagai bidang usaha bisnis skala raksasa.
“Mereka akan mengajak kita bagaimana kita mesti menyikapi perubahan ini secara kreatif sehingga identitas kita sebagai umat beriman tetap aktual,” kata Wiryawan.
Di akhir presentasi dari ke-22 narasumber itu, maka dua pembicara kunci akan mencoba mengurai benang merah dan mengambil hal penting dari paparan 22 pembicara sebeumnya. Kedua pembicara kunci di akhir acara itu adalah:
- Prof. Rhenald Kasali dari Universitas Indonesia akan menyimpulkan bagaimana arah disrupsi yang ada di sekitar kita.
- Uskup Keuskupan Agung Semarang Mgr. Robertus Rubiyatmoko mengajak bagaimana sebagai Umat Katolik menyikapi perubahan yang tengah terjadi, dengan semangat iman mencari kebenaran-kebenaran hakiki dengan harapan agar kehadiran kita tetap relevan.
Dua benang merah
Ada dua benang merah dalam kegiatan Fruitful Business kali ini, tambah Wiryawan.
- Kita diajak merubah paradigma kita. Bahasa kerennya adalah From best practices to next practices. Mengapa demikian? Ini karena saat ini, sudah kurang relevan menganalisis berbagai best practices lantaran tantangan masa depan itu sungguh berbeda. Dengan demikian, kata Wiryawan, kita semua diajak mau memulai merasakan pengalaman sensasional next practices.
- Kita diajak untuk melihat kenyataan baru dengan sikap from fear to be brave.
Cahaya pikiran dan cahaya hati
Fruitful Business, demikian Wiryawan dalam introduksinya, mau mengajak para penonton-pendengar agar sebagai umat Katolik dan beriman lainnya menjadi paham akan teknologi, paham akan kemajuan zaman.
Namun pada saat sama, sebagai orang-orang beriman tetap memiliki kadar kemanusiaan yang tinggi. Dan empati adalah salah satunya.
Kecerdasan yang terbangun dari kemajuan teknologi dan inovasi dapat menuntun kita untuk menimbang, benar salah secara logika.
Itu hanya secara komprehensif.
“Tapi empati akan menuntun kita untuk mengembangkan kebaikan untuk sesama manusia. Kecerdasan itu cahaya pikiran. Empati itu cahaya hati,” jelas mantan frater Ordo Karmelit (O.Carm) alumnus Seminari Mertoyudan angkatan tahun masuk 1979.
Kedua hal itu harus menjadi panggilan bagi segenap umat beriman.
Melalui acara Fruitful Business itu, kita semua diajak untuk selalu mengembangkan kecerdasan dan mempertajam nurani.
Di penghujung introduksi, Wiryawan menyampaikan terimakasih dan apresiasinya kepada para pembicara dan sponsor.
“Akhir kata, semoga Fruitful Business ini bisa membawa buah melimpah dan penuh hikmat dan segera kita saksikan bagaimana disruption hadir di tengah kita,” tandas Wiryawan di akhir sambutannya. (Berlanjut)