Disruption: Kitab Suci, Pelecut Semangat Temukan Inovasi di Zaman Perubahan (5)

0
510 views
Pantiia di balik layar.

ADA hal menarik lain tersaji di panggung pentas Hikmat Allah dalam Era Disruption, sejumlah pembicara itu sering mengutip ayat Kitab Suci.

Teks-teks KS itu, demikian kata sejumlah pemrasaran, menjadi acuan semangat ketika perusahaan mereka didera tantangan untuk berubah dan harus bisa pula menemukan cara-cara baru guna mengadopsi tuntutan perubahan itu – atau dengan kata lain: disrupsi.

Shifting

Kondisi macam itu disebut Rhenald Kasali sebagai tantangan untuk melakukan apa yang disebut shifting dan perlu menemukan innovation agar survive.

Shifting paling sederhana terjadi di industri pengolah balok es.

Ketika teknologi modern berhasil menciptakan kulkas, maka orang rumahan bisa memproduksi ‘balok-balok’ es ukuran kecil untuk kebutuhan rumah tangga.

Di Indonesia, shifting di industri peredaran musik dangdut diinisiasi oleh Inul Daratista dan penyanyi lainnya yang mampu memfasilitasi banyak orang menikmati musik dangdut di arena pertunjukan keliling dari desa ke desa. Mereka tidak mementingkan album baru dan tak juga tak pernah mengandalkan royalty.

Terjadinya shifting inilah yang kemudian memaksa para pemilik usaha harus segera merekonstruksi model bisnis lamanya dengan masa kekinian yang ditandai oleh tuntutan inovasi-inovasi baru.

Yang terjadi kemudian –dan ini yang juga tidak disangka-sangka- adalah munculnya kultur sharing resources dan sharing economy.

Contohnya sekarang orang menikmati suguhan musik dan film di YouTube, menggunakan aplikasi transportasi GoJek dan Grab, dan memilih akomodasi di Airbnb.

Mencari model bisnis yang relevan dengan kekinian, hal inilah yang dicari dalam forum Fruitful Business.

Muncul kebutuhan mendesak di kalangan pelaku usaha untuk re-branding dengan konten pesan bernafaskan kekinian.

Ketika branding yang menyasar priority customer itu menguat, maka profit bisa direguk lebih banyak.

Yang terjadi kemudian adalah apa yang disebut shared economy dan inilah yang kemudian melahirkan crowd capitalism.

Juga muncul segmen pasar yang dulu tidak pernah mereka “tengok” untuk dilayani. Di sini lalu lahir ojek berbasis daring, toko daring, dan peer-to-peer lending untuk ajukan kredit.

Seiring dengan kemajuan zaman di bidang branding dan selling, maka muncul pula lawan-lawan baru yang dulunya tidak pernah ada dan tidak kelihatan, namun sekarang mulai muncul dan “berulah”.

Jualan mie dan kopi di warung-warung, misalnya, mengalami tren penurunan, karena kini tersedia layanan delivery oleh jasa ojol.

Kerumunan orang yang anak dulu suka ngopi di kafe kini mulai memperlihatkan fenomena baru: mereka membeli grinder sendiri dan menikmati sajian kopi di rumah.

Terjadi disrupsi di mana-mana. Yang dulu, butuh gudang besar atau harus punya asset, kini jualan barang tidak harus punya toko; bisa memberi layanan ojol tanpa harus punya mobil dan sepeda motor sendiri karena rekanan bisnis itu sendiri yang mengusahakannya.

ACES

Perusahan-perusahaan lama masih memanfaatkan power dari pemilik atau pemegang saham, namun model bisnis baru lebih mengutamakan kolaborasi.

Terjadilah shifting dalam mindset untuk sebisa mungkin memanfaatkan the power of mobilization yang menggeser marketing.

Model bisnis baru mengandalkan apa yang disebut ACES – Actionable, Connected, Extendable dan untuk itu story menjadi penting.

Maskapai penerbangan tidak lagi mengutamakan hanya jualan tiket penerbangan, tapi juga menyediakan layanan akomodasi penginapan, jasa antar-jemput –pokoknya semua hal yang bisa di-extended.

Musuh di balik selimut

Harus diwaspadai bahwa disrupsi juga melahirkan kerawanan untuk selalu diwaspadai.

“Dunia remang-remang itu mempertemukan para penjahat di dunia maya untuk segera beraksi melakukan tipu muslihatnya,” tukas Rhenald Kasali di ujung paparannya. (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here