Hari Minggu Paskah III
- Kis. 5: 27b-32, 40b-41.
- Mzm. 30:2 ,4, 5, 6, 11, 12a, 13b.
- Why. 5: 11-14.
- Yoh. 21: 1-19.
TIDAK sedikit orang yang hidupnya dikudeta oleh sebuah pengalaman pahit, sehingga sepanjang hidupnya diwarnai dengan ketidakbahagiaan.
Tidak ada kegembiraan yang terpancar dari wajahnya, namun sebaliknya selalu tergambar kemarahan, apatis, sinis.
Kepahitan yang hanya sekejap mewarnai, keburaman warna kehidupan yang dijalaninya.
“Saya tidak menyangka karena kesembronoanku waktu masih muda, kadang hari-hariku diwarnai rasa sesal,” kata seorang pemuda.
“Waktu itu, kami juara sepakbola di kecamatan; kemudian kami merayakannya dengan makan dan minum-minum,” kenangnya.
“Setelah acara itu saya pulang naik motor dan memang saya agak mabuk, karena pengaruh minuman,” sambungnya.
“Saya memacu kendaraan cukup laju hingga ketika tiba-tiba dari sebuah gang muncul motor, saya tidak bisa mengedalikan kendaraan dengan baik, kecelakaan pun terjadi,” lanjutnya.
“Saya terpental cukup jauh, demikian bapak dan ibu yang beradu motor denganku,” ujarnya.
“Saya kemudian tidak ingat apa-apa. Setelah sadar saya dapati diri saya di ranjang rumah sakit, dan kemudian di lain hari saya tahu bahwa bapak dan ibu yang tabrakan dengan saya keadaannya cukup memprihatinkan, bapak terluka di bagian kepala dan lukanya cukup parah, sedangkan ibu juga terluka, namun tidak parah,” katanya dengan sedih.
“Kecelakaan itu mengakibatkan kaki saya patah,” katanya.
“Saya sedih dan sangat kecewa, khususnya jika mengingat kondisi bapak ibu,” lanjutnya.
“Jika ingat peristiwa itu, saya selalu menyalahkan diriku sendiri. Mengapa saya begitu bodoh, minum-minuman keras lalu nekad mengendarai motor?” sambungnya.
“Bapak ibu yang bertabrakan dengan saya adalah pasangan suami isteri yang baru pulang dari mengajar katekumen di wilayah itu,” katanya.
“Bahkan saya dulu dibaptis berkat bimbingan dan pengajaran mereka,” sambungnya.
“Cinta bapak dan ibu itu kepada Tuhan Yesus, sungguh luar biasa. Mereka berkurban banyak dan memberikan seluruh waktunya untuk mengabdi pada Tuhan,” lanjutnya lagi.
“Ketika saya ke rumah mereka untuk minta maaf, mereka menyambutku dengan baik. Mereka mengatakan, jika karena kecelakaan ini membuat mereka tidak bisa mengajar katekumen, apakah saya mau membantunya untuk menggantikannya,” ujarnya.
“Pertanyaan itu membuatku terkejut dan merasa ditagih Tuhan. Tuhan sudah menyelamatkan nyawa kami, dan kini apa balasanku pada-Nya,” ujarnya.
“Sejak saat itu, saya belajar agama lagi, dan ikut aktif menggereja bahkan ikut KEP, yang diadakan di paroki saya. Saya ingin menjadi mencintai Tuhan dengan menjadi seorang pewarta,” katanya lagi.
“Cukup sudah saya meratapi kekonyolan masa laluku, saya ingin bangkit dan mengubah kemuraman dengan sukacita,” tegasnya.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian.
“Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki.”
Ada saat dimana kita harus menyerahkan kebebasan kita untuk sesuatu yang kita yakini mempunyai nilai yang lebih tinggi dalam hidup ini, yakni mencintai Tuhan Yesus.
Tuhan Yesus memberikan tuntutan yang sesuai dengan apa yang sanggup kita tanggung. Dia tidak memberikan lebih daripada apa yang sanggup kita tanggung.
Dia akan menuntun kita untuk bisa menemukan kebahagiaan.
Bagimana dengan diriku?
Apakah aku menggunakan kebebasanku untuk melayani Tuhan?