Renungan Harian
Kamis, 24 Maret 2022
Bacaan I: Yer. 7: 23-28
Injil: Luk. 11: 14-23
SUATU hari, saya kedatangan seorang ibu yang sudah sepuh. Ibu itu datang diantar tetangganya satu lingkungan. Ibu yang mengantar itu membuka pembicaraan dengan mengatakan bahwa ibu ingin minta bantuan pastor.
“Ibu, apa yang bisa saya bantu?” sapa saya.
“Romo, saya ini sedang sedih, marah dan bingung. Beberapa hari yang lalu saya mengunjungi anak saya. Ya namanya orang sudah tua seperti saya in,i hiburannya ketemu anak, mantu, dan cucu.
Biasanya saya itga bulan sekali, kadang enam bulan sekali mengunjungi anak dan cucu-cucu. Romo, saat saya datang ke rumah anak saya itu, saya merasa bahwa dia tidak mau menerima kedatangan saya bahwa saya merasa dia mengusir saya. Saya itu sedih, “kelara-lara,” (sakit terhina).
Saya itu ibunya, yang melahirkan dia. Bahwa kalau mau diungkit, saya yang membelikan rumah itu. Kok anak saya tega memperlakukan saya seperti itu.
Romo, kalau saya mengunjungi anak saya itu selalu membawa oleh-oleh kesenangan anak, mantu dan cucu-cucu.
Selama saya di sana, setiap hari saya masak untuk mereka, semua keluar dari dompet saya. Saya ke sana bukan untuk minta makan, apalagi minta uang; saya masih mampu.
Bahkan saya membelikan apa kebutuhan rumah yang belum komplet. Saya menjadi bingung, apa kesalahan saya sehingga dia tega memperlakukan saya seperti itu.
Saya itu berpikir jangan-jangan itu karena masalah warisan.
Beberapa bulan lalu, anak saya ini datang ke rumah dan meminta bagian warisan. Saya menjelaskan bahwa warisan itu semua sudah dibagi, lalu kenapa masih minta bagian warisan.
Dia itu mengatakan bahwa dia masih punya hak warisan atas rumah yang sekarang saya tempati. Saya menjelaskan bahwa rumah yang saya tempati adalah milik saya dan hak saya.
Dia ngotot bahwa dia adalah anak saya dan kalau saya mati dia punya hak waris.
Romo, siapa yang tidak marah dan sakit hati diperlakukan seperti itu. Tetapi saat itu saya menjelaskan bahwa dia memang berhak, tetapi nanti kalau saya sudah mati; sekarang ini saya masih hidup dan rumah ini tempat saya menghabiskan sisa hidup saya.
Dia tetap ngotot supaya rumah dijual supaya dapat haknya dia. Saya minta dia sabar beberapa bulan lagi saya beri uang senilai haknya dia tanpa harus menjual rumah ini.
Romo, apakah saya berdosa kalau saya marah dan sakit hati dengan anak saya?
Apakah saya berdosa, kalau saya membiarkan dia terserah mau apa, saya tidak perlu tahu dan tidak perlu lagi menengok dia?
Saya benar-benar sakit romo,” ibu itu menjelaskan.
Saya terkejut mendengar cerita ibu itu; saya bisa merasakan betapa ibu itu sakit hati mendapatkan perlakuan anaknya seperti itu.
Maka saya mengatakan bahwa kemarahan, sakit hati dan luka itu amat manusiawi. Tidak usah khawatir dan bingung dengan soal dosa dan tidak dosa.
Saya meminta ibu itu untuk bersabar dan lebih banyak berdoa untuk puteranya itu agar menjadi sadar.
Banyak terjadi ketika apa yang kuinginkan tidak dipenuhi, maka saya merasa bahwa saya ditolak.
Saat aku merasakan ditolak, maka apa yang kurencanakan dan kulakukan adalah membalas dendam atas perlakukan itu.
Atau aku mencari sosok lain yang memungkinkan untuk memenuhi kebutuhanku pun, kalau dengan itu aku menolak orang yang selama ini telah memenuhi semua kebutuhan demi kebaikanku.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Kitab Yeremia mengingatkan betapa sering aku meninggalkan Tuhan demi mencari pemenuhan atas kebutuhan kesenangan dan kenikmatanku.
“Tetapi mereka tidak mau mendengarkan dan tidak mau memberi perhatian, melainkan mereka mengikuti rancangan-rancangan dan kedegilan hatinya yang jahat, dan mereka memperlihatkan punggunggnya dan bukan mukanya.”