UNTUK urusan bisa menggambarkan secara detil kejamnya naluri membunuh pada manusia, sutradara genre série noire (film bernuansa kelam, kelabu, sedih, frustrasi) Quentin Tarantino adalah jagoannya. Lihat saja film terbaru hasil besutannya yang kini melenggang sebagai film papan atas di banyak negara: Django Unchained.
Di situ Tarantino dengan detil bisa menggambarkan muncratnya darah dari tubuh manusia yang terkoyak pelor senjata berdiameter besar. Begitu pula, daging manusia yang tersayat-sayat oleh taring-taring tajam anjing pemburu yang super ganas.
Lihat misalnya tubuh perempuan yang dibuat terbang dengan derai darah muncrat kemana-mana seperti yang dialami Ms. Lara Candie, ketika pelor diameter besar melesat dari ujung senapan Django Freeman dan kemudian menyambar ganas tubuhnya. Begitu pula, paha manusia yang dibuat menjadi bulan-bulanan rentetan pelor disertai muncratan darah, ketika terjadi baku tembak di Great House antara Django Freeman –nama jagoan kita—dengan para begundal kaki tangan Monsieur Calvin Candie, nama landlord yang super rakus, licik, haus darah dan uang panas.
Mandingo dan Broomhilda
Tarantino boleh dibilang ‘rakus’ dalam eksplorasi mengumbar hawa kekerasan berbau darah.
Di parquet ruang tamu di lantai atas, Tarantino dengan ganas pula menggambarnya denyut birahi nafsu membunuh manusia sebagaimana ditampakkan oleh dua orang Mandingo –julukan petarung hebat kulit hitam era perbudakan di AS—yang ingin berebut gelar juara dengan cara memiting mampus lawannya.
Kalau belum sampai mampus, maka martil atau godam besi menjadi penentu akhir hidupnya dimana nasfu birahi membunuh manusia akhirnya dipuaskan dengan cara menghantamkan martil besi itu sekeras-kerasnya di tengkorak manusia. Dan selanjutnya yang terpampang di layar lebar di depan mata adalah pemandangan muncratnya darah berikut otaknya persis di mata penonton.
Darah, nafsu kekuasaan, dan uang panas serta pergulatan manusia mereduksi praktik kejahatan melawan kemanusiaan dalam bentuk perbudakan adalah nafas sejati Djanggo Freeman sebagaimana dengan sangat bagus dibesut Tarantino dalam titel film teranyarnya bertajuk Djanggo Unchained.
Hanya saja, saya tidak melihat film ini dari perspektif kebrutalan Tarantino dalam mengemas bau anyir darah atau amisnya otak manusia dihantam martil besi. Saya ingin melihat adanya kejelian seorang Tarantino dalam mengemas persoalan eksistensial manusia di tahun 1858 –persis dua tahun sebelum Perang Saudara di Benua Amerika antara Wilayah Utara dan Wilayah Selatan.
Dan persoalan eksistensial manusia itu tiada lain adalah perbudakan manusia, perlakukan sangat diskriminatif terhadap kaum kulit hitam oleh sesama warga ciptaan Tuhan yang berkulit putih.
Maka dari itu, satu kata yang sebaiknya jangan pernah keluar dari mulut kita yakni ‘negro’ di film Django Unchained itu tampil seperti rentetan tembakan mitraliyur tanpa henti. Dimana-mana, ketika kaum kulit hitam menjadi budak permainan kekuasaan kaum kulit putih, maka kata ‘negro’ membahana dimana-mana.
Tak terkecuali di relung hati manusia tamak, rakus dan kejam bernama Monsieur Calvin Candie (Leonardo DiCaprio), seorang juragan perkebunan yang kaya namun bengis kalau sudah berurusan dengan uang panas. Ditemani Dr. King Schultz (Christoph Waltz), seorang pemburu penjahat bayaran, kedatangan Django Freeman di Candyland of Missisipi –nama lokasi perkebunan milik Monsieur Candie—hanya punya satu tujuan: menyelamatkan istrinya.
Budak perempuan bernama Broomhilda (Kerry Washington) –nama istrinya yang berkulit hitam– harus dibawa pergi keluar dari Candyland. Ini harus agar dia bisa bebas dari kungkungannya menjadi budak nafsu bagi para lelaki kulit putih yang suka bermain interracial.
Namun, kedok Django Freeman sebagai broker petarung kulit hitam di Great House akhinrya terbongkar berkat kejelian Stephen (Samuel L. Jackson), kaki tangan milik Monsieur Candie. Alhasil diplomasi mau membeli Broomhilda senilai 12.000 dolar akhirnya berantakan dan berakhir dengan adu tembak antara Dr. Schultz dan Django Freeman melawan para begundal kaki tangan Monsieur Candie.
Praktik perbudakan
Sebelum sampai ke babak akhir yang menentukan ‘perang’ antara kulit putih dan kulit hitam ini, film sepanjang hampir sepanjang 2,5 jam ini banyak diisi dengan paparan konflik persoalan mendasar manusia: perlakukan tidak adil dan tidak manusiawi yang dipraktikkan kaum kulit putih terhadap sesamanya kulit hitam. Django Freeman adalah nama dari sekian ribu kaum kulit hitam yang mendapat perlakuan tidak adil seperti itu.
Dr. Schultz yang menyamar sebagai tabib gigi berhasil ‘membebaskan’ Django (Jamie Foxx) dari kungkungan praktik perbudakan yang dilakukan Specks Brothers. Selepas dari jeratan rantai besi yang memasung mobilitas gerak kakinya, Dr. Schultz langsung menamai budak ‘negro’ ini dengan label baru: Django Freeman.
Sesuai status barunya sebagai ‘orang baru’, maka Freeman pun boleh bergaya sebagai ‘manusia merdeka’: ia boleh naik kuda, berpakaian perlente, makan enak, bertopi, pegang pistol.
Status baru sebagai ‘manusia merdeka’ inilah yang membuat berang para juragan kulit putih yang menguasai kawasan perkebunan luas di Texas dan Missisippi hingga akhirnya adu tembak berdarah-darah meletup kencang di Great House milik Tuan Candie.
Jauh sebelum itu, perang melawan para cecunguk kulit putih pun digelar. Seperti operasi penembakan misterius yang pernah heboh di tahun 1980-an di Jawa, maka operasi memberangus begundal-begundal kulit putih itu juga makan korban. Korban pertama ketangkasan menembak duet Dr. Schultz dan Django Freeman adalah kelompok bersaudara bernama Brittle Brothers. Mereka ini sangat ganas dan suka mencabut nyawa kaum negro dengan sewenang-wenang. Mereka bertiga juga sangat enteng menyiksa kaum budak kulit hitam ini dengan lecutan pecut besar.
Lazimnya film-film serie noire Tarantino lainnya seperti Pulp Fiction dan Kill Bill yang juga menawarkan bau anyir darah dan nafsu birahi membunuh manusia, maka Django Freeman sudah diprediksi akan menelan banyak penghargaan bergengsi. Jauh sebelum Academy Award digelar tahun ini, film ini sudah masuk nominasi terbaik untuk kategori Best Picture, Best Supporting Actor, Best Original Screenplay.
Pada hajatan seni 70th Golden Globe Awards, Christoph Waltz –aktor Jerman—pemerah Dr. King Schultz sudah sukses menyabet Golden Globe for Best Supporting Actor dan kategori penghargaan sama di forum BAFTA. Di BAFTA ini pula, Quentin Tarantino berhasil menyabet penghargaan Golden Globe Award for Best Screenplay and the BAFTA Award for Best Original Screenplay.
Bisa jadi, Django Unchained kemasan sutradara Quentin Tarantino ini akan mengulangi sukses besar film dengan judul (nyaris) sama yakni Django, sebuah film Italia dengan bintang tenar Franco Nero. Sayangnya dalam film Hollywood ini, Franco Nero –sang pemeran film Django era tahun 1966-an– dikasting muncul sekilas.