MOEWARDI adalah seorang dokter yang turut memberikan sambutan setelah Soewirjo, wakil wali kota Jakarta saat itu, pada momentum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.
Dr. Moewardi membacakan sebuah teks, yang kini kita kenal dengan nama ‘Undang-Undang Dasar 1945’, sebelum Bung Karno, Sang Proklamator, membacakan naskah Proklamasi.
Apa yang sebaiknya kita sadari?
Dr. Moewardi lahir di Pati, Jawa Tengah di tahun 1907 dan lulusan School Tot Opleiding Voor Indische Artsen (STOVIA), cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya dengan mengambil semacam spesialisasi di sekolah Telinga, Hidung, dan Tenggorokan (THT).
Selain menjadi dokter, Moewardi juga aktif berorganisasi pada Barisan Pelopor, bahkan pernah menjadi Pemimpin Umum Pandu Kebangsaan (Kepanduan Bangsa Indonesia), cikal bakal PRAMUKA yang berperan dalam pendidikan karakter pemuda. Barisan Pelopor bertugas untuk mengamankan para pemimpin perjuangan, seperti Soekarno dan Hatta.
Muwardi diserahi tugas untuk memimpin Barisan Pelopor di daerah Jakarta. Markas Barisan Pelopor Jakarta adalah rumah milik pribadi Moewardi di Jl. Cik Di Tiro No 7 Jakarta. Di rumah berkamar 11 buah tersebut, setiap hari rapat digelar untuk mempersiapkan strategi bagi kemerdekaan Indonesia. Di situ selalu hadir Chaerul Saleh, Sudiro, Suwiryo, Suharto dan Moewardi. Sering kali Moewardi menjual beberapa barang miliknya dan membeli makanan untuk para pemuda itu.
Dalam peristiwa mengamankan Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok, Muwardi mendapat tugas untuk membangunkan Bung Karno. Pada tanggal 16 Agustus 1945 dia memerintahkan Barisan Pelopor untuk menjaga Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Monas), yang rencananya akan digunakan sebagai tempat pembacaan teks proklamasi.
Pada 17 Agustus 1945 di rumah kediaman Bung Karno di Jl. Pegangsaan Timur 56 Jakarta ramai dikunjungi orang, Moewardi menjamin keadaan aman. Waktu sudah mendekati pukul 10, tetapi Bung Hatta belum juga datang. Moewardi yang tidak sabar mendesak Bung Karno agar segera mengumumkan Proklamasi sendirian saja, tanpa menunggu kedatangan Bung Hatta, dengan alasan karena Bung Hatta sudah menandatangani teks Proklamasi.
Moewardi melakukan itu karena khawatir kalau Proklamasi belum dibacakan sudah diserbu tentara Jepang, tentu akhirnya Proklamasi gagal. Tetapi memang Bung Hatta adalah seorang yang selalu memegang teguh janji, sebelum pukul 10 dia sudah tiba. Setelah masuk dalam kamar Bung Karno, tidak lama kemudian mereka berdua keluar rumah menuju halaman depan di mana sudah tersedia mikrofon, tiang bendera dan para hadirin yang akan menjadi saksi pembacaan Proklamasi tepat pada pukul 10.
Sesudah 18 Agustus 1945 Barisan Pelopor ditugaskan untuk menjaga rumah proklamator Presiden dan Wakil Presiden (Soekarno-Hatta). Saat Bung Karno menjadi Presiden dan hendak menyusun Kabinet, Moewardi mendapat tawaran langsung dari Bung Karno untuk menjabat sebagai Menteri Pertahanan, namun dia menolak karena hendak meneruskan kariernya sebagai dokter.
Waktu itu, Pemerintah Republik Indonesia telah siap-siap hendak hijrah ke Yogyakarta mengingat kota Jakarta yang tidak aman. Oleh karena itu, kepada Moewardi dianjurkan supaya kedudukan Barisan Pelopor Republik Indonesia (BPRI) yang diketuainya, dipindahkan dari Jakarta. Setelah Pemerintah RI hijrah ke Yogyakarta tanggal 4 Januari 1946, pengurus BPRI mengadakan perunding untuk memindahkan markasnya ke Solo. BPRI pada bulan Desember 1945 mengadakan kongres di Gedung Habiproyo, Singosaren (sekarang Matahari Singosaren), Solo.
Dalam kongres 15-16 Desember 1945 itu diputuskan untuk mengganti nama dari BPRI menjadi Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI). BBRI bermarkas di Solo dengan Dr. Moewardi sebagai Pemimpin Umum.
Dr. Moewardi tetap menjalankan tugasnya sebagai dokter, walaupun tetap aktif di berbagai organisasi kenegaraan. Saat Sekolah Tinggi Kedokteran kelanjutan dari STOVIA di Jakarta dipindah Solo, pada 4 Maret 1946 Dr. Moewardi berperan dalam pendirian Sekolah Tinggi Kedokteran di RS Jebres (sekarang RSUP Dr. Moewardi) Solo untuk bagian klinis, dan pada 5 Maret 1946 di RS Tegalyoso (sekarang RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro) di Klaten untuk bagian pre-klinis. Selanjutnya pada 1 November 1949, Dr. Moewardi tidak lagi dapat berperan dalam pemindahan perguruan tinggi kedokteran resmi RI ke Yogyakarta, yang kemudian pada 19 Desember 1949 menjadi bagian dari Universitas Negeri Gadjah Mada.
Sejak pertengahan tahun 1946, di Solo mulai tampak partai dan badan perjuangan yang menjurus ke paham Sosialis Kiri dan Komunis. Polarisasi partai-partai dan golongan itu terlihat pada peritiwa perebutan kedudukan Residen Solo. Indikasi Solo dalam keadaan gawat adalah peristiwa diculiknya Perdana Menteri Syahrir tanggal 27 Juni 1946, dan berlanjut dengan kudeta militer yang dilakukan oleh Jenderal Mayor Soedarsono tanggal 3 Juli 1946, beruntung kudeta tersebut dapat digagalkan. Untuk mengatasi keadaan yang rawan di Solo sekitar pertengahan tahun 1946 dan untuk menghadapi pemberontakan PKI, beliau mendirikan Gerakan Rakyat Revolusioner.
ada peristiwa Madiun Jawa Timur, 11 September 1948 salah satu tokoh yang dikabarkan hilang dan diduga dibunuh oleh pemberontak PKI adalah Gubernur Jawa Timur, Soeryo. Pada tanggal 13 September 1948 di Solo PKI juga melakukan serangkaian penculikan dan pembunuhan.
Dr. Moewardi turut menjadi korban kebiadaban PKI tersebut, dia diculik dibunuh dan jenazahnya tidak ditemukan sampai sekarang, pada saat akan pergi menjalankan praktik sebagai dokter di RS Jebres. Dr. Moewardi diberi gelar sebagai pahlawan Kemerdekaan Nasional pada 4 Agustus 1964, sesuai Kepres No 190 Tahun 1964.
Kiprahnya dalam momentum proklamasi kemerdekaan memberikan inspirasi kepada para dokter Indonesia di jaman sekarang. Hendaklah para dokter tidak sekedar menjalankan praktek medis, tetapi juga terlibat dalam pendidikan dokter ataupun pembinaan karakter remaja, demi keamanan dan kemajuan negara.
Dirgahayu negeriku, jayalah dokter Indonesia.