INI kisah melakukan permenungan Jumat Agung di Paroki Hepuba, Wamena, Keuskupan Jayapura, Papua.
Ibadat Jumat Agung di Paroki Hepuba dirayakan dengan cara sangat unik. Pukul 11.00 WIT waktu lokal di Papua sudah mulailah upacara jalan salib yang dipresentasikan secara riil. Melalui dan dengan drama penyaliban Yesus di lapangan terbuka.
Atraksi permenungan di lapangan terbuka dan panas
Buce Sius Asso dan kawan telah serius mempersiapkan sejumlah bapak, orang muda dan anak anak untuk drama penyaliban Yesus di sebuah lapangan terbuka. Cuaca panas memebri suasana tersendiri.
Semua pihak saya lihat sungguh ingin membantu umat semakin intens bisa menghayati penderitaan Yesus sampai mati di kayu salib.
Ada pemeran Yesus dengan murid murid-Nya yang tertidur di Taman Getsemani. Ada adegan Yesus ditangkap dan diseret ke hadapan Pilatus dan Herodes.
Yesus disesah, berjumpa dengan para perempuan, ditolong Simon dari Kirene
Mulailah jalan salib Yesus yang memikul salib sambil disesah, berjumpa Bunda Maria, ditolong Simon dari Kirene, berjumpa para perempuan yang menangisi Yesus dan Veronika.
Sampai akhirnya Yesus disalibkan di Bukit Golgota. Dilaksanakan di sebuah datarran tinggi berupa sebuah bukit yang lokasinya tidak jauh dari gereja.
Ketika jenazah Yesus diserahkan kepada Bunda Maria, semua umat penonton tidak mampu menahan haru. Mereka lalu menangis keras-keras.
Upacara dilanjutkan dengan penghormatan salib dan penerimaan komuni di dalam gereja.
Berbelarasa dengan masyarakat asli Papua
Hari Jumat Agung ini, saya bertanya kepada seorang sahabat tentang penderitaan apa yang dialami oleh saudara-saudari kita orang-orang asli Papua.
Katanya ada banyak penderitaan Papua.
Penderitaan pertama adalah diskriminasi rasial, ketika masyarakat asli di Papua masih dianggap sebagai orang-orang primitif oleh dunia luar Papua. Hal macam ini masih terjadi sampai saat ini.
Seorang calon imam asal Papua sampai menceritakan pengalamannya bagaimana dia sampai dilecehkan secara rasialis bahkan oleh seorang imam pembina calon imam.
Penderitaan kedua adalah ditiadakannya hak politik, karena nasib orang Papua ditentukan bangsa lain.
Tanah Papua masih dikuasai orang lain dan dijual kepada bangsa lain. Akibatnya, masyarakat asli Papua tetap saja masih miskin dan tidak berhak serta tidak menikmati kekayaan alam yang melimpah di Tanah Papua.
Penderitaan ketiga adalah bahwa masyarakat orang-orang asli Papua kini semakin menjadi kelompok minoritas dalam jumlah dan peranan mereka di “tanahair”-nya sendiri yakni di Bumi Papua.
Penderitaan keempat semakin banyak orang Papua meninggal, karena terserang wabah penyakit, kena malaria, mengidap AIDS, kecanduan alkohol, penyalahgunaan narkotika, kelaparan, kurang gizi, dan bencana alam.
Kelima penderitaan karena politik devide et impera (pecah-pecah dan kuasai) yang memecah belah dan melanggengkan konflik.
Konflik di Wamena beberapa tahun silam itu, misalnya terjadi bukan karena ulah orang Wamena. Mereka ini pada dasarnya masyarakat lokal yang cinta damai. Tapi, kerusuhan berdarah itu terjadi karena ulah dan manuver provokator yang ingin mengail keuntungan di atas kerusuhan.
Keenam penderitaan karena kebijakan dana otsus dan bantuan desa yang tidak memandirikan orang Papua.
Ketujuh penderitaan karena kualitas pendidikan dan kesehatan yang masih kurang memadai.
Daftar penderitaan tsb bisa saja ditambah yang lain.
Mereka merdeka
Hari Jumat Agung kemarin, saya juga berjumpa seorang bapak yang merasa sudah jadi orang merdeka. Kata bapak tersebut, kami sudah merdeka karena anak anak sudah bisa sekolah, bisa beli motor dan mobil, bisa buat rumah, bisa makan, bisa bepergian, bisa hidup.
Imbauan Uskup Mgr. You
Saya jadi ingat apa yang telah disampaikan Uskup Keuskupan Jayapura Mgr. Yanuarius Matopai You menjelang tahbisan episkopalnya tanggal 2 Februari 2023.
Mgr. Yan menegaskan dirinya bersikap netral; tidak berpihak pada ide Papua merdeka atau tetap menjadi bagian NKRI.
Beliau yakin yang akan menentukan nasib dan masa depan Papua adalah Tuhan sendiri.
Kita semua harus berjuang untuk membangun Papua dengan damai, adil, dan tanpa kekerasan.
- Kita tidak boleh memaksakan keinginan dan harapan kita sendiri.
- Kita tidak boleh berjuang dengan kekerasan.
- Kita harus pasrah dan menyerahkan nasib Papua ke dalam tangan Tuhan sambil berjuang sekuat tenaga untuk membangun Papua yang maju, adil, damai, dan berkembang. Bukan hanya untuk orang asli Papua, namun untuk semua yang hidup dan mencintai Papua.
Siang hari kemarin, usai melaksanakan upacara Jumat Agung di lapanga terbuka dan di dalam gereja, lewat YouTube saya mendengarkan kotbah Uskup Keuskupan Bandung Mgr. Anton Subianto Bunyamin OSC. Disampaikan kepada para imam saat Misa Krisma tanggal 5 April 2023 di Bandung.
Mgr. Anton mengajak para imam untuk dekat dengan uskup dan berjuang bersama mewujudkam visi Ut Diligatis Invicem yang artinya kasihilah seorang akan yang lain.
Kotbah Mgr. Anton mengajak saya untuk berpikir apa yang saya perjuangkan sebagai seorang imam. Apakah hanya untuk diri sendiri? Atau sungguh untuk kepentingan umat Tuhan.
Untuk Papua
Papua mulai ada di dalam hati saya. Namun, saya sadar bahwa kemampuan saya terbatas.
Papua membutuhkan orang orang dan imam-imam yang sungguh mencintai Papua dan sungguh berjuang untuk kemajuan dan perkembangan Papua yang lebih sejahtera, sehat, aman, damai, berkecukupan, adil, dan membahagiakan semua yang ada di Papua. \
Baik orang asli maupun pendatang yang mencintai Papua dan juga berjuang untuk kehidupan mereka.
Selama Papua dan orang orang Papua asli maupun pendatang masih menderita, maka Yesus masih menderita dan masih akan terus-menerus disalib.
Pantaslah mama-mama masih menangis keras, ketika Yesus wafat di kayu salib.
Setiap kita membiarkan penderitaan terjadi, maka setiap kali juga kita masih akan terus menyangkal Yesus dan kemudian secara bersama-sama lalu menyalibkan Yesus.
Jumat Agung 6 April 2023
Pastor Ferry SW dari Keuskupan Bandung
Merayakan Ibadat Jumat Agung bersama umat Katolik Paroki Hepuba, Wamena, Papua
Baca juga: Kamis Putih di Paroki Hepuba, Wamena: Membasuh Kaki Umat Katolik Papua yang Selalu Murah Senyum (4)