DUKACITA itu bagian dari hidup manusia. Yesus dan Bunda Maria juga mengalami dukacita. Bagaimana kita mengalami dan memahami dukacita?
Rumi berkata, “Sorrow prepares you for joy… Whatever sorrow shakes from your heart, far better things will take their place.(Dukacita mempersiapkanmu untuk sukacita… Dukacita apa pun yang menggoncang hatimu, hal yang jauh lebih baik akan menggantikannya.)”
Kata-kata itu telah menjadi nyata dalam diri Yesus dan Bunda Maria.
Keduanya seakan menjalani dukacita dengan semangat yang sama, yakni ketaatan. “Sekalipun Anak Allah, Yesus telah belajar menjadi taat; dan ini nyata dari apa yang telah diderita-Nya.” (Ibrani 5: 8).
Santa Perawan Maria yang berdiri di bawah salib Yesus (Yohanes 19: 25-27) telah mempersiapkan hati dan jiwanya untuk itu dengan ketaatan. “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut kehendak-Mu.” (Lukas 1: 38).
Dukacita itu konsekuensi dari ketaatannya.
Dukacita yang dihayati dalam ketaatan kepada Tuhan berujung pada sukacita. Bukan hanya untuk diri sendiri, melainkan untuk semesta dan seluruh umat manusia.
Jadi, dukacita itu bukan alasan untuk berputus asa. Sebaliknya, itu kesempatan untuk bersukacita.
Hari ini kita belajar dari dukacita yang dialami Bunda Maria. Pertama, dukacitanya dihayati dalam iman akan Tuhan. Kedua, dukacitanya merupakan persembahan kepada Tuhan dan umat manusia.
Sebagai ibu, Santa Maria merasakan dan memahami derita Yesus, puteranya. Sebagai bunda kaum percaya, dia memahami dukacita kita. Dalam dukacita, ada baiknya kita berpaling kepadanya untuk belajar caranya menghayati dukacita.
Marilah belajar menanggung derita dan dukacita dalam iman dan harapan, karena di ujung sana tersedia mahkota sukacita.
“Kapan pun dukacita datang, bersikaplah baik kepadanya. Tuhan telah menyediakan mutiara di tangan dukacita,” kata Rumi.
Kamis, 15 September 2022
Peringatan Santa Maria Berdukacita