ADA banyak keputusan manusia yang tidak hanya melahirkan kekeliruan, tetapi dari sejak semula sudah ada cacat, tetapi dipaksa terus untuk diputuskan. Tidak heran apabila hasil yang muncul sesudahnya adalah penyesalan.
Kata orang, “Penyesalan selalu muncul di belakang hari”.
Kejadian seperti ini, telah banyak menelan korban. Tidak sedikit pula hidup dari mereka yang mengalaminya terpenjara oleh rasa bersalah dan fatalnya sampai pada kehilangan kepercayaan diri.
Penyesalan-penyesalan bersalah terhadap keputusan yang salah dimasa lalu tidak hanya mengundang rasa malu, tetapi menimbulkan kebimbangan dalam menghadapi hidup di masa kini.
Kata-kata, “Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi” adalah reaksi nyata dari pengalaman korban yang hidup dalam masa kebimbangan.
Adalah Yusuf seorang Nasaret keturunan Daud disebut oleh penginjil Matius sebagai orang yang tulus hati.
Orang yang tulus hati berarti orang yang tidak menyimpan persoalan duniawi di hati. Hatinya, hanya menyimpan Tuhan (bdk. Mzm 73:1).
Kualitas hati yang seperti inilah yang dimiliki oleh Yusuf calon suami Maria.
Namun, sebagai manusia yang menjadi bagian dari warga dunia, dia pernah disentuh oleh rasa kebimbangan. Bahkan melebihi dari itu, dia sungguh-sungguh hidup dikabut kegelapan iman.
Dengan kata lain, dia hidup tanpa cahaya Ilahi. Dan itu semua berangkat dari isu calon istrinya Maria yang mendadak hamil. Dan dia tidak tahu siapa laki-laki yang menghamilinya?
Bagi Yusuf yang sudah terlanjur dikenal oleh publik sebagai orang benar dan tulus hati, isu kehamilan calon istrinya akan dipakai oleh Allah sebagai ajang untuk menguji kehidupannya sebagai orang benar yang tulus hati.
Di saat-saat pengalaman malam gelap dalam iman ini, dia merenung dan mengolah isu buruk yang sudah menjadi fakta ini, dengan baik-baik.
Di hatinya sebagai orang bijak, isu buruk mesti dia olah supaya tidak melukai dan mempermalukan pihak lain yang ada di luar dirinya.
Bertumpu dari situ, dia tidak mau gegabah dan ceroboh mengekspose aib isterinya ke ruang publik. Dan bagi dia, sebagai orang bijak selalu ada momen untuk mengendapkan persoalan dan merenungkan pesan-pesan kehidupan.
Dengan demikian, dia mau menyelesaikan persoalan yang dia hadapi dengan Maria tunangannya secara “tersembunyi”. Dia tidak mau, ada pihak yang terluka oleh keputusannya.
Di bagian rencananya untuk menceraikan tunangannya, Yusuf mendapat ilham dari Allah melalui malaikat-Nya. Di sana Allah menjawab semua keraguan dan kebimbangannya.
Seandainya, saat itu dia tetap mengotot dengan keputusan kebijaksanaan model manusiawinya, dia akan menyesal seumur hidup.
Penyesalan apakah itu?
Dia kelihangan momen untuk melihat dan mengalami Tuhan Yesus. Hidup tanpa Yesus berarti hidup tanpa Tuhan. Hidup tanpa Tuhan berarti dia siap-siap kehilangan Kebijaksanaan Sejati.
Dari pengalamannya ini, kita semakin yakin, bahwa hidup bagi orang bijak tidak bisa dilepaskan dari “meditasi”. Kita juga diyakinkan, bahwa buah-buah kegagalan dan penyesalan yang dipungut oleh banyak orang di dunia ini, tidak lain karena orang lalai mengajak hidupnya untuk “bermeditasi”.
Kata mutiara Amsal, “Padaku ada nasihat dan pertimbangan, Akulah pengertian, padakulah kekuatan” (Ams 8:14). Dan Yesus Putera Bin Sirakh, selalu menasehati kita, “Pikiran merupakan permulaan segala pekerjaan dan pertimbangan mesti mendahului setiap perbuatan.” (Sir 37:16).
Renungan: Apakah aku sudah melakukan proses “meditasi” sebelum memberi keputusan?
Tuhan memberkati.
Apau Kayan, 19.03.2019