Eksegese Hidup Orang Pedalaman: Membunuh atau Mencintai?

0
139 views
Ilustrasi: Mencintai Dunia (Ist)

Mrk 12:28b-34

MEDSOS kita belakangan ini, memberitakan begitu banyak agitasi politik jegal-menjegal diantara para “capres dan caleg”.

Isu ini lebih sensasi ketimbang isu bencana alam, pembunuhan dan perampokan di berbagai daerah yang baru terjadi akhir-akhir ini.

Mungkin nada dunia politik memang condong melihat kasus-kasus seperti itu, tidak bisa menaikan elektabilitas para capres dan caleg.

Padahal sejatinya, partisipasi orang di dunia politik tidak bisa begitu saja menyisihkan rasa empati kepada mereka yang menjadi korban langsung dari bencana apapun.

Fenomena seperti ini, akan berlawanan dengan spiritualitas empati dan cinta. Henri Nouwen dalam bukunya Peace Work (mengakarkan budaya damai) berkata sebagai berikut:

“Pelaku pembunuhan atau tindakan kekerasan berupa fisik dan mental, tidak sekedar mengebiri rasa empati dan cinta, tetapi siapa  saja yang mediskreditkan, mengabaikan, menuduh, mencurigai yang berlebihan, menghakimi, menghujat, menghina, mengolok, mencibir, mensinisi dan segala bentuk kebencian dengan motivasi apa pun pada pihak tertentu, dia adalah bagian dari pembunuh empati dan cinta”.

Di dalam pribadi yang rapuh, bukan cuma empati dan cinta yang tidak tumbuh, tetapi di sana tidak ada ruang untuk menumbuhkan sukacita damai.

Apakah orang-orang yang terpolusi oleh rasa kecemasan, kekhawatiran, kepanikan, ketakutan akan usia yang uzur, kehilangan orang yang dikasihi dan kekuasaan yang sedang dipegang oleh segelintir orang di negeri ini, bisakah mereka dikategorikan sebagai  pasien yang bermasalah dengan kejiwaan?

Apakah orang-orang seperti ini, berpotensi sebagai pembunuh fisik atau mental?

Kalau kita  mau mengintip dengan jujur melihat diri-sendiri, bisa jadi kita semua adalah agen dan pelaku dari apa yang diuraikan oleh Henri Nouwen. Kalau perdamaian dan ketenangan tidak terealisasi dengan baik dalam kehidupan bersama sehari-hari, itu karena di bagian dalam jiwa, batin dan pikiran kita lagi bermasalah alias error.

Mungkinkah jiwa, batin dan pikiran orang yang lagi error bisa mencintai Tuhan dan sesama?

Atau apakah doa kepada Tuhan bisa diuntai dalam kondisi errorseperti itu? Atau jangan-jangan doa orang error hanya sebagai pelarian dari kondisi yang dimaksud?

Apabila semua pertanyaan ini betul, maka kemunafikan yang ditentang oleh Tuhan Yesus terhadap ulama-ulama Yahudi dengan berbagai sekte yang ada di situ, bisa pula menjadi kritikan bagi kwalitas keimanan kita yang munafik, tetapi pandai berkelit seakan-seakan semuanya sudah beres.

Barangkali cinta kepada Tuhan dan cinta kepada sesama, tetap akan tergores dan terluka manakala kita belum bisa mendarah-dagingkan cinta yang dimaksud oleh Tuhan Yesus ke dalam kata dan perilaku, ke dalam batin dan jiwa dan ke dalam pikiran dan tubuh.

Sukacita, empati, cinta dan kedamaian akan tetap menjadi projek kehidupan yang tidak bisa diselesaikan dengan cara-cara yang serba instan.

Ke depannya, kita akan tetap berjuang untuk mewujudkan hal itu, meski godaan selalu bilang, itu mustahil.

Renungan: Dalam hal apa, aku bisa disebut sebagai pembunuh?

Tuhan memberkati.

Apau Kayan, 29.03.2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here