Yohanes 11:1-45
DI MANAKAH Engkau Tuhan? “Tuhan, sekiranya Engkau ada disini.“
Selama berminggu-minggu ini, berawal di Wuhan Cina, berlanjut di Italia dan kini di hampir lebih dari 180 negara, banyak orang yang positif Corona. Tak hanya itu, lebih dari 28 ribu nyawa berpisah dengan orang-orang yang mereka cintai.
Bersama Marta kita mengawali Minggu kelima Prapaskah ini dengan menggugat eksistensi Tuhan: dimanakah Engkau berada?
Dunia saat ini berada dalam situasi seperti Marta dan Maria. Kita berperang melawan musuh yang tak kelihatan, yang bernama kematian. Kita menjadi lemah dan kehilangan arah. Setiap hari kita mendengar berapa nyawa yang dibunuh secara tragis oleh Corona.
Ribuan peti jenasah, bau mayat dan sejuta tangis menemani hari-hari ini. Kita menangis bersama dunia. Bersedih. Paduan duka keluar dari mulut kita: “Apakah aku akan mati juga?“
Kita bertekuk lutut di hadapan ganasnya kematian. Dan bersama Marta kita menggugat Dia: “Tuhan, di manakah Engkau?“
Kisah tentang kematian Lazarus adalah salahsatu teks yang banyak ditelaah oleh ahli eksegese (Kitab Suci), banyak diminati oleh para dogmatiker (pengajar teologi) atau agen-agen Ppstoral dan tentu oleh para filosofer (Teodice)
Eksegese
“Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini.“ Dalam telaah eksegetis, kisah tentang membangkitkan orang mati jarang terjadi di Perjanjian Baru. Injil melaporkan tiga kasus di mana Yesus menghidupkan kembali orang yang telah meninggal: pemuda Nain (Luk 7: 11-17), putri Yairus (Markus 5: 22-24. 35-43) dan Lazarus. Selain itu ada Rasul Petrus (Kis 9: 36-42) dan Paulus (Kis 20: 7-12) yang juga membuat mukjizat kebangkitan.
Dalam kisah Lazarus, seperti kebangkitan putri Yairus, ada kesamaan bahwa Yesus datang terlambat, walau Dia mengeTAHUi bahwa pasien sudah sakit parah. Yesus juga memperlembut kata “mati” dengan “tidur” dan karena kekesalanNya terhadap ratapan (dalam Injil hari ini Yesus pun ikut menangis) para pelayat, Ia melakukan mukjizat melalui sabdaNya, perintahNya.
Dalam ayat-ayat awal injil hari ini, ditekankan bahwa Lazarus sakit. Sakitnya yang serius disebutkan tidak kurang dari lima kali dalam enam ayat – ini mengindikasikan urgensitas Lazarus untuk mendapat perawatan.
Lazarus dalam bahasa Ibrani Eleazar yang berarti “Tuhan membantu” menjadi program bahwa karya Tuhan akan terjadi atasnya.
Tanggapan Yesus terhadap berita sakit Lazarus sangat abu-abu. Di satu sisi, sakit Lazarus dilihat sebagai kesempatan pernyataan kemuliaan Allah tapi di sisi lain Yesus bermain dengan waktu. Padahal kita tahu Yesus sangat dekat dengan Lazarus, Maria dan Marta.
Tapi dalam kisah bersejarah ini reaksi Yesus sangat aneh, untuk tidak dikatakan tidak senonoh. Apakah pantas untuk menunda bantuanmu kepada sahabatmu?
Pastoral
“Sekiranya Engkau ada di sini,“ pasti menjadi juga “umpatan“ yang mengawali kotbah para teolog-teolog, agen-agen pastoral dalam hari-hari ini. Dalam sejarah kepausan, baru kali ini (Jumat, 27 Maret 2020) seorang Paus memberikan berkat “Urbi et Orbi“ (berkat untuk kota Roma dan dunia) tanpa umat dan bukan saat Natal atau Minggu Paskah.
Menariknya, untuk mengawali kotbahnya Paus Fransiskus mendeskripsikan situasi para murid yang dilanda oleh badai yang dashyat, sekaligus sikap para murid yang kritis terhadap Yesus, yang “seolah-olah” tidur nyenyak (bdk. Markus 4:35-41). S
angat sulit untuk memahami perilaku Yesus. Sementara para murid secara alami sangat takut dan putus asa karena badai dashyat itu, Yesus berada di buritan kapal, dan apa yang Dia lakukan? Dia TIDUR dengan tenang (ini adalah satu-satunya kisah dalam Injil yang mengatakan Yesus tidur). Masih tidurkan Engkau Tuhan?
Filsafat
Pernyataan “Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati“ adalah juga tesis filosofis yang mempertanyakan eksistensi Tuhan berhadapan dengan duka, tangis dan air mata pilu yang dihadapi oleh manusia.
Di satu sisi pernyataan itu memberi legalitas kemahakuasaan Tuhan tapi di sisi lain meragukan campur tanganNya dalam sejarah ruang dan waktu.
Di sini tesis Epicurus kembali hadir: Atau Tuhan mau melenyapkan kejahatan, tapi tidak bisa. Berarti ia tidak mahakuasa. Atau Ia mampu, tapi tidak mau melenyapkannya. Berarti Ia bukan mahakasih.
Jika Tuhan mampu dan mau melenyapkan kejahatan, yang adalah hakikat Tuhan, mengapa masih ada kejahatan sampai sekarang? Dan, jika Tuhan tidak mampu dan tidak mau melenyapkan kejahatan, kenapa masih disebut Tuhan?
Pantaskah aku, mengikuti Nietszche, menjadi pengamat Tuhan saat ini, sekaligus menjadi aktivis yang berteriak di kesunyian kota, di jalan-jalan yang kini sepi: Tuhan sudah mati?
Aku bersama Marta menggugat
“Sekiranya Engkau ada di sini.“
Ungkapan Marta ini, yang kini mungkin menjadi ungkapan berjuta jiwa di seluruh alam semesta, berisikan kekecewaan, kesedihan, kenestapaan yang membalut dalam kesadaran akan kefanaan manusia berhadapan dengan realitas kematian.
Duka berjuta insan dengan kabut diseluruh jiwanya, telah membuat dunia tak mampu membendung derasnya air mata kepedihan, air mata lara. Juga ada banyak air mata yang kini mengalir deras di pipi setiap insan: air mata kemiskinan, air mata tanpa harapan, air mata kehancuran, air mata kebosanan.
“Sekiranya Engkau ada di sini,” seperti Marta, mari kita menggugat eksistensi Tuhan. Bukankah semua umat manusia sudah bertekuk lutut di hadapan kepedihan oleh wabah ini, di mana-mana seruan “God help us” berkumandang, tapi dimanakah Engkau Tuhan? Kapan kami menunggu “empat hari“ sampai Engkau datang?
Belajar dari iman Marta
Tuhan, seperti yang Marta lakukan, perlu digugat eksistentsiNya, tapi seperti Marta pula kita harus percaya kepada Yesus: „Saya tahu, apa yang Engkau minta, Tuhan akan memberinya, semuanya.“
Dan ketika Marta mempercayakan semuanya kepada Tuhan, tahu bahwa Tuhan tak menutup mata dan telingaNya terhadap setiap jeritan hambaNya, kepadanya wahyu Allah, warta kebenaran tersingkap, terbuka:
“Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya.”
Kepada Marta, Yesus tidak hanya memaklumkan Kebangkitan orang mati, tapi lebih dari itu, Ia menunjukkan ke-Tuhan-anNya, dalam kata-katanya yang penuh kuasa: “Aku adalah …“
Tuhan ada di sini
“Sekiranya Engkau ada di sini,“ oleh Yesus dan dengan beriman kepadaNya keluhan Marta ini diubah menjadi: “Di manakah ia dibaringkan.”
Yesus menunjukkan kepada Marta dan kepada semua umat manusia: Aku ada bersamamu: Aku adalah Aku yang ada. Bersamamu. Setiap saat. Tunjukkan dimana kita mem-baring-kan luka kita, pedih, derita dan kematian kita. Yesus akan menjamahnya, ya Ia akan menghidupkannya. Ia akan mengubah air mata duka menjadi suka, tangis menjadi tawa.
Saat ini “kampung Bethania” ada di sekitar kita. Tapi jangan takut, Allah, Tuhan, Ia hadir dalam setiap peristiwa hidup masing-masing kita.
Saat ini Allah hadir dalam diri mereka yang sering terlupakan, yang karya mereka tidak muncul di koran-koran ternama, dalam siaran-siaran televisi: para dokter, perawat dan petugas kesehatan lainnya. Allah hadir dalam diri karyawan supermarket, oma-oma di pasar, para petugas kebersihan, satpam, sopir, petugas penegak hukum, sukarelawan, dalam diri pastor, suster, dan dalam diri mereka yang memberi dirinya untuk sesama.
Allah juga hadir dalam diri mereka yang setia menghambat peredaran virus Corona, kepada mereka yang setia tinggal di rumah. Mari kita menjadi Tuhan bagi sesama! Bukan Virus.
Semoga.
Thomas Hobbes (1588-1679): Damai itu tidak hanya sekedar tidak ada perang. Manusia ditantang untuk menjadi Tuhan bagi sesama atau menjadi serigala bagi sesama.
Mekasteus esvede