Embun Hati – Menyangkal Diri

0
135 views
Ilustrasi - Menolak. (ist)

DI zaman dulu ada ilmu dan laku menyangkal diri.

Pertanyaannya, apakah di jaman ini kita masih memerlukannya? Jawabnya masih dan justru sekarang lebih dibutuhkan daripada zaman dulu.

Ilmu itu terkait dengan pengertian dan laku berhubungan dengan penghayatan. Menyangkal diri berarti dengan sengaja memilih melakukan sebaliknya, dari aneka tawaran kemudahan, keuntungan untuk diri kita.

Jika memilih sebaliknya dari tawaran yang berat dan sulit, itu namanya bukan penyangkalan diri, melainkan cari enaknya sendiri. Sebab konsekuensi dari penyangkalan diri adalah suatu tindakan yang sulit untuk dilakukan.

Karena itu penyangkalan diri perlu laku, perlu latihan.

Contoh:

  • Untuk tidak mencotek waktu ulangan padahal tak ada guru yang nungguin di kelas. Itu perlu penyangkalan diri;
  • Untuk bangun pukul 3 dinihari demi membantu orangtua menyiapkan jualan, seorang anak perlu menyangkal diri. Sebab pukul 3 pagi itu lagi enak-enaknya tidur;
  • Kalau kita mau tandatangani “mark up” suatu proyek tertentu kita akan dapat fee 10% dari nilai total proyeknya.
  • Untuk menolak tanda tangan ini kita perlu penyangkalan diri.
  • Untuk tidak menanggapi atau main kuasa terhadap para penghinanya, Jokowi perlu menyangkal diri.
  • Untuk tetap menjatuhkan hukunman adil atas seseorang pelanggar hukum berat, hakim perlu menyangkal dirinya. Sebab dia ditawari sejumlah uang yang besar, jika dapat meringankan apalagi membebaskan terdakwa dari hukuman.

Dari penglihatan dan pendengaran kita masih dapat memperpanjang contoh ini. Pertanyaan selanjutnya, apa alasan dasar bahwa kita perlu menyangkalan diri dan bahwa itu baik serta benar adanya.

Bukankah orang yang biasa menyangkal diri, hidupnya tak lebih baik daripada orang yang tak pernah berpikir untuk menyangkal diri?

Segala sesuatu dalam hidup ini adalah pilihan.

Bagi orang kristiani dasar pilihannya jelas, yakni Yesus Kristus. Bahwa penyangkalan diri itu sesuai dengan kehendak Allah, sudah terbukti dalam Yesus. Dia yang adalah Allah telah menyangkal dirinya.

Dia memilih “menjadi manusia lemah sama seperti kita, kecuali dalam hal dosa” kata Santo Paulus. Dia lahir di kandang hewan. Dia hidup di tengah keluarga miskin, Maria Yosef. Dia mati secara hina di kayu salib. Padahal Dia adalah Allah.

Sebetulnya Dia bisa lahir sebagai raja diraja, seperti harapan para murid-Nya. Dia bisa mencegah penyaliban kalau Dia mau. Dengan mudah Dia bisa menjatuhkan bahkan membunuh orang-orang yang menyalibkanNya.

Namun Dia menyangkal dirinya. Dan hasilnya apa?

Buah penyangkalan dirinya ialah bahwa Dia dibangkitkan Bapa dari kematian-Nya. Sampai akhirnya Dia diangkat ke surga. Dan misi penyelamatan manusia terlaksana dalam Yesus Kristus, Sang Putera.

Dari apa yang dilakukan dan dialami Yesus kita menjadi tahu dan yakin bahwa penyangkalan diri itu sejalan dengan kehendak-Nya. Sederhanya, dengan menyangkal diri, kita berada di jalan-Nya.

Dengan melakukan penyangkalan diri, kita menambah kemuliaan Tuhan. Dan dengan cara itu, kita berharap boleh ikut “mbonceng” Yesus, diselamatkan Bapa.

Hanya dalam Yesus, jaminan keselamatan itu ada.

YR Widadaprayitna
AB 230810 AA
Mat 16: 24-28

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here