SEBELUM mengajukan pertanyaan di atas, sebaiknya bertanya dulu seberapa berimankah kita?
Ada banyak orang kebingungan ketika dibilang “Tuhanmu tiga ya?” Ia bingung, karena ia berusaha menjawab pertanyaan tersebut dengan agama (pengetahuan).
Kalau saja ia menjawab berdasarkan imannya, kiranya tak sulit menjawabnya. Sebab iman itu terkait erat dengan pengalaman hidupnya.
Iman itu ada di tataran pengalaman, sedang agama itu di tataran pengetahuan. Misalnya dapat dijawab begini. “Terserah orang bilang Tuhanku tiga atau berapa. Yang pasti saya hidup rukun dan damai sejak mengimani Tuhan Yesus”.
Rukun dan damai adalah pengalaman, bukan pengetahuan.
Perempuan dari Kanaan dikabulkan permintaannya oleh Yesus: Anaknya bebas dari kerasukan setan. Pengabulan Yesus didasarkan pada imannya. Yakni ketika Yesus mengatakan: “Tidak pantas roti untuk anaknya diberikan pada anjing-anjing.”
Jawabannya: “Betul Tuhan, tetapi anjing pun memakan remah-remah yang jatuh ke tanah.”
Ini sama dengan jawaban perwira Romawi yang ngeyel, menjawab Yesus: “Benar Tuhan, tetapi saya pun punya bawahan. Dan kalau saya perintahkan bawahan saya, ia juga akan melaksanakannya.”
Contoh: Bulan-bulan ini banyak orangtua yang diundang untuk lebih beriman. Betapa tidak? Misalnya para orangtua yang ingin anaknya diterima di Perguruan Tinggi Negeri, ternyata tidak diterima. Sementara teman- teman anaknya diterima.
Karenanya orangtua tersebut lantas kecewa, bahkan marah pada Tuhan. Padahal sebenarnya ini undangan untuk lebih beriman.
Beriman berarti percaya bahwa Tuhan telah menyiapkan jalan yang terbaik untuk anaknya, jalan yang terbaik untuk anaknya, jalan yang lebih sesuai dengan rencana dan kehendak-Nya.
Percayakah? Seperti kita, ketika kita tidak mengabulkan keinginan anak kita, biasanya bukan karena kita tidak sayang anak, melainkan karena kita sudah memiliki rencana lain yang lebih baik.
Dan lihatlah, karena iman, yang mustahil jadi nyata.
Sebenarnya dalam beriman ada satu kunci lagi yang sering terlewatkan.Yaitu bahwa sebelum beriman kita perlu dasarnya lebih dulu. Dasar itu adalah kasih yang mendalam. Perempuan beriman itu lebih dulu cinta pada anaknya.
Perwira Romawi ia pun cinta pada anaknya. Jadi, saya meyakini bahwa sebelum kita beriman dan berupaya makin beriman, kita perlu mendasari iman kita dengan cinta kita.
Maka sebelum kita punya iman, sudahkah kita punya cinta?
YR Widadaprayitna
H 230820 AA
Mat 15: 21-28