MENARIK memaknai sabda Tuhan di atas.
Bagi saya jelas. Ini masalah ungkapan dan perwujudan iman. Iman itu letaknya dalam perbuatan (kepada sesama), bukan dalam peribadatan (kepada Tuhan). Dalam agama lain malah dirumuskan: berbuat baik atau beramal itu=ngibadah.
Masalahnya ialah beribadat itu lebih berada di tataran agama sedangkan perbuatan ada di tataran iman.
Agama dengan segala simbol-simbolnya lebih menarik dan lebih mudah diukur. Misalnya pakaian (jubah), bahasa (Latin, Hibrani, Arab), tata liturgi dan lainnya itu prestisius. Agama juga memberi tempat istimewa, terkait posisi, gengsi dan preferensi tertentu.
Aktif di Gereja dianggap lebih baik daripada yang tak sempat ke gereja karena tuntutan karya/profesinya. Orang berjubah dianggap lebih baik, bahkan lebih suci daripada yang gak berjubah.
Yang kedua, di dunia ada jauh lebih banyak pemimpin agama, pemuka ibadat dibandingkna dengan pemimpin orang-orang yang berbelas kasih. Kalaupun ada mereka sibuk dan tersembunyi.
Padahal salib tempat Yesus digantung digambarkan sebagai kayu palang. Di silang antara vertikal dan horizontal ada dada, tempat hati berada. Tetapi di kayu palang yang horizontal ada dua tangan Yesus.
Tangan adalah alat berkarya. Artinya, kita lebih banyak diundang untuk berbelaskasih pada sesama daripada arah ke Tuhan.
Mgr. Soegijapranata SJ mengajarkan bahwa kita mesti “100% Katolik, 100% Indonesia”. Artinya, kita diajak tidak hanya aktif di dalam Gereja saja, tapi juga harus aktif di masyarakat.
Di dalam Gereja pun, kita diajak untuk tidak hanya aktif di sekitar altar, tapi juga di sekitar pasar. Tidak hanya terlibat di ibadat tapi juga di masyarakat.
Maka kalo ada aktifis Gereja tapi nggak mengurus keluarganya, gak hadir serta memasyarakat, itu tak sesuai dengan sabda Tuhan hari ini.
Yang dikehendaki Tuhan bukan persembahan (ibadat) tapi belas kasihan (perbuatan).
YR Widadaprayitna
H 230720 AA
Mat 12: 1-8