Empan Papan: Saya Juga Suka “Misuh”

0
19 views
Ilustrasi - Misuh atau memaki sekadar candaan. (Tribun Kaltim)

DUA pekan lalu, kami berempat bertemu di PIM untuk makan siang. Melepas rindu setelah lama tak jumpa.

Kami pernah bersama kuliah di Bandung, sekian puluh tahun lampau, dengan segala kenangan “hati senang walau tak punya uang.”

Meski dulu bertemu di Bandung, kami berasal dari daerah yang berbeda.

“Tokoh” pertama, sebut saja, “Cak Surabaya”. Yang kedua “Akang Bandung”, sementara yang ketiga “Mas Jogja” dan saya sendiri dari Semarang.

Bisa dibayangkan betapa serunya pertemuan siang itu. Saling meledek ke sana ke mari diselingi unjuk diri, meski kini sudah pada “layu setelah berkembang.”

Singkatnya, waktu dua jam terasa sekejap. Percakapan yang semula serius, tiba-tiba meledak penuh tawa. Lontaran “pisuhan” atau makian atau umpatan, kadang keluar spontan. Si pengumpat tak bermaksud untuk memaki, dan untungnya, yang lain menangkapnya sambil bergelak ria.

Dalam bahasa daerah masing-masing kota atau daerah, makian justru menimbulkan rasa geli. Kadang malahan dianggap sebagai rasa kagum.

Karena lama tak jumpa, “Mas Semarang” malah mengucapkan “makian” kepada sobatnya dari Jogja:

Asu tenan ik, saiki kowe wis sugih ya”.

Tak masalah, karena terjemahan bebasnya berubah arti :

“Hebat, sekarang kamu sudah kaya”.

Ternyata, “pisuhan” kawan lama bisa menjadi sapaan akrab.

Banyak contoh lain di luar sana tentang umpatan yang “berubah” makna.

Butet, budayawan kondang dari Jogja, selalu menutup tulisannya dengan ungkapan yang diturunkan dari kata makian, “Uasuook”. Itu sinyal bahwa dia sedang bercanda. Butet tahu persis bahwa audience-nya adalah mereka yang paham dan akrab makna dari istilah itu.

Marwoto lain lagi. Pelawak kondang yang menjadi idola saya itu, sering memulai kalimatnya dengan kata “Bajinguk”.
Nampaknya dia sedang membuat eufemisme dari kata “bajingan”, yang secara telak, berarti kasar (perampok, penjahat). Penonton mahfum bahwa Marwoto tidak sedang ingin memaki lawan mainnya atau para penonton. Itu sekedar ungkapan agar kalimatnya memancing tawa.

Kata “Jancuk” yang berasal dari Surabaya, bahkan meluas ke berbagai daerah. Tidak dimaksud semata-mata sebagai makian, namun lebih banyak untuk menggoda lawan bicara.

Tak hanya Jogja dan Surabaya, fenomena “makian” yang berubah menjadi “guyonan”, terjadi di mana-mana.

“Akang Bandung” punya “umpatan” yang arti harafiahnya bernada marah, ternyata malah membuat kami “seuri nyakakak”.

Anjir, hape anyar euy, meni gaya” (Ceile, HP baru, gaya nih).

Makian ala Semarang, “kakekane” menjadi pisuhan yang jamak terdengar. Ia tak ditangkap kasar, asal syarat-syaratnya terpenuhi, yaitu diucapkan di kalangan yang setara (sebaya), punya relasi yang dekat, informal dan dalam suasana santai.

Bahasa Jawa mempunyai banyak kosa kata makian, seperti “raimu, ndasmu, dengkulmu, diamput“, atau “dapurmu”.

Syarat agar “makian-makian” itu tak membuat orang tersinggung adalah harus mempertimbang betul kepada siapa, kapan, bagaimana dan di mana ia diucapkan.

Guru tak pantas memaki di kelas, meski sedang marah kepada murid-muridnya. Orangtua tak pas mengeluarkan umpatan, seberapa pun nakal kelakuan anak-anaknya. Tokoh masyarakat, pemimpin organisasi, bos di perusahaan, apalagi pemuka agama, tabu “misuh” meski kupingnya panas karena sedang terkena kritik dari anak-buahnya.

Itu “unggah-ungguh” yang harus dipenuhi agar masyarakat selalu “tata tentrem kerta raharja”.

Sedikit melebar, dalam Budaya Jawa, ada istilah yang tepat sebagai syarat untuk “misuh”, yaitu: “empan papan”. Maknanya, “Kesadaran seseorang mengenai kedudukan dan tempatnya dalam masyarakat. Hal ini berhubungan dengan status sosial dan keberadaannya dalam struktur sosial” (https://id.m.wikipedia.org/wiki/Empan_papan).

Nah, silakan “misuh”, asal tahu “empan papan”.

@pmsusbandono
24 Februari 2025

Baca juga: Balada bajing di pohon kecapi

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here