KEDATANGAN Pastor Frensius Supriyadi CM ke Stasi St. Mikhael, Pakak di pedalaman Kabupaten Sintang akhir Desember 2015, sungguh membawa berkat yang indah bagi sekitar 1.075 umat Katolik di desa itu.
Ketua Orang Muda Katolik (OMK) Stasi Pakak, Viktorinus Bosio, mengatakan, turne pastor ke stasi itu biasanya dilakukan pada hari-hari raya. Atau jika tidak, biasanya para frater dari Seminari Menengah St Yohanes Maria Vianey di Menyurai, Sintang, yang melakukan kunjungan. Pada masa biasa, tokoh umat yang memimpin ibadat.
Pada masa Natal tahun 2015, suasana istinewa melengkapi sukacita warga Desa Pakak. Sebab, sejak Rabu (24/12/15) pada Malam Natal, Pastor Frensius Supriyadi CM–lebih dikenal Pastor Supri–mengunjungi umat hingga Minggu (28/12/15). Hampir tidak pernah, menurut pengakuan Bosio, seorang pastor berada cukup lama bahkan sampai 5 hari di desa mereka.
“Saya terkesan dengan desa ini, karena bagi saya terasa seperti Filipina kecil. Umatnya 100 persen Katolik dan sudah menjadi cahaya bagi umat lain,” ujar Bosio, menirukan ujaran Pastor Supri.
Di antara rangkaian kegiatan yang paling berkesan, tentu selain Natal, juga perayaan pesta Keluarga Kudus pada 28 Desember. Mulanya, Pastor Supri sudah dijadwalkan kembali ke Keuskupan Sintang pada Sabtu (27/12/15) karena harus memimpin misa di Katedral sementara–karena Katedral Kristus Raja sedang dibangun kembali. Namun hujan turun cukup lebat sore Sabtu, membuat jalan tanah sepanjang 12,3 kilometer untuk keluar dari dusun itu licin dan berbahaya.
“Pastor meminta izin ke Keuskupan Sintang untuk tinggal sehari lagi di Stasi Pakak, sekaligus merayakan Pesta Keluarga Kudus,” tutur Bosio.
Pastor Supri yang pernah bertugas di Papua Nugini, saat ini menjabat Rektor Seminari Menengah St Yohanes Maria Vianey di Menyurai.
Atas inisiatif, Bosio dan rekan-rekan diminta mengumpulkan pasangan suami istri yang usai pernikahannya sudah di atas 40 tahun. Pasutri itu akan dijadikan teladan dalam pemberkatan peneguhan keluarga pada Pesta Keluarga Kudus. Didapati 9 pasutri yang usia perkawinan mereka sudah di atas 40 tahun. Menurut Pastor Supri, usia pernikahan 40 tahun bisa dijadikan teladan kesetiaan karena mereka sanggup memelihara Sakremen Perkawinan yang telah mereka terima.
Pada hari Minggu itu, 9 pasutri tersebut berbaris di dekat altar Gereja St Mikhael yang berkapasitas 500 orang. Kemudian sepanjang lorong yang memisahkan jejeran kursi umat di sayap kiri dan sayap kanan Gereja, sebanyak 60 pasutri lain (belum terhitung yang terpaksa berada di luar karena keterbatasan kapasitas gereja), berbaris saling berhadapan sambil berpegangan tangan. Kemudian Pastor Supri memberi berkat dan memerciki air kudus.
“Suasana penuh kegembiraan yang tak luput dari peristiwa kecil yang lucu namun ceria. Maklum, pasutri-pasutri di desa tidak terbiasa harus saling berpegangan tangan di muka umum, meski dengan pasangannya sendiri,” kata Bosio sambil tersenyum.
Bosio menunjukkan rekaman keceriaan para pasutri itu. Di antaranya ada yang malu-malu ketika diminta bergandengan tangan, dan banyak yang tersenyum-senyum simpul.
Dua pasang pasutri dengan usai perkawinan 40 tahun, diminta memberi testimoni di hadapan umat, sebelum pemberkatan. Mereka diminta menceritakan, bagaimana cara merawat hubungan hingga mencapai usai tersebut.
Dauh, satu di antara perwakilan, mengisahkan, perjumpaannya dengan istrinya Kelabau sekitar 40 tahun lalu terjadi saat acara “bedurok”. Bedurok artinya kegiatan gotong royong warga kampung untuk mengerjakan ladang secara bergiliran, yang menjadi ciri khas kebersamaan masyarakat pedesaan yang masih terpelihara hingga saat ini.
“Saat acara bedurok itu kami saling berkenalan. Setelah kami menikah, pasti ada suka duka, tetapi pandai-pandailah menyelesaikannya. Pertengkaran suami-istri tidak perlu dikisahkan ke orang lain,” tutur Kelabau, sang istri Dauh.
Dalam kotbahnya, Pastor Supri berpesan bahwa iman Katolik tetap bisa ditumbuhkan bermula dari keluarga sederhana yang kokoh. Sehingga niat untuk menjadi cahaya bagi orang lain bisa terwujud.
Momen peneguhan perkawinan dalam suasana Pesta Keluarga Kudus ini baru pertama kali diadakan di Desa Pakak. Kesan dari umat luar biasa bagus, karena pada tahun-tahun sebelumnya, sedikit umat yang hadir dalam ibadat seusai rangkaian natal. Namun kali ini, jumlah umat membeludak sehingga kapasitas gedung Gereja tak sanggup menampung seluruh umat yang hadir.
Menurut rencana, pada Hari Raya St Mikhael, pelundung Gereja Stasi, akan digelar pesta peringatan di desa itu. Sekaligus sebagai momen untuk semakin menegaskan Gereja di Desa Pakak ini layak untuk menjadi cahaya bagi umat Katolik lain. Sebab, sudah ada satu orang suster, satu orang katekis yang berasal dari desa ini.
Suster itu adalah Suster Donata KFS yang kini berkarya di Paroki Sambas, Kabupaten Sambas, sebagai Ketua Yayasan Rumah Sakit St Elisabet, Sambas.
Sang Katekis, bernama Kusai, merupakan angkatan pertama Sekolah Pendidikan Guru Agama Katolik di Keuskupan Sintang, puluhan tahun silam. Katekis itu, meski tidak berkarya di kampung halamannya sendiri, tetapi berkarya di Paroki Sejiram, Kabupaten Kapuas Hulu, yang merupakan lokasi pertama kedatangan para Misionaris Belanda di Tanah Kalimantan Barat, lebih 100 tahun silam.