DALAM kehidupan, kita sering kali dihadapkan pada pilihan: mengikuti arus dunia yang penuh intrik dan kepentingan, atau tetap teguh pada kebenaran meski harus berjuang sendirian.
Film Conclave menggambarkan dengan begitu kuat pergulatan ini dalam pemilihan Paus yang seharusnya menjadi momen sakral, tetapi justru dipenuhi ambisi, strategi tersembunyi, dan kompromi yang menguji integritas para kardinal.
Di tengah situasi tersebut, muncul sosok Kardinal Lawrence—seorang pria yang tidak mencari kekuasaan, tetapi justru menunjukkan esensi sejati dari seorang pemimpin: kebijaksanaan, keteguhan, dan kesetiaan pada suara hati nuraninya.
Keteguhan di tengah godaan
Kardinal Lawrence bukanlah orang yang mudah tergoda oleh jabatan atau pengaruh. Saat banyak kardinal lain sibuk menyusun strategi, membangun aliansi, bahkan menggunakan cara-cara licik untuk mendapatkan suara, ia tetap teguh pada prinsipnya. Ketika seorang kardinal ambisius mencoba membujuknya untuk ikut dalam permainan politik, ia dengan tegas menolak. Bahkan, ia mengingatkan sahabatnya, Kardinal Aldo, dengan sebuah pertanyaan yang menusuk: “Apa kamu dihadiahi kedudukan nanti?”
Sebuah pertanyaan sederhana, tetapi penuh makna. Dalam kehidupan nyata, berapa banyak dari kita yang berani mempertanyakan apakah pilihan kita didasarkan pada nilai-nilai kebenaran, atau sekadar demi keuntungan pribadi?
Di dunia kerja, politik, bahkan dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita dihadapkan pada pilihan serupa. Kita bisa saja memilih jalan yang lebih mudah, mengikuti arus demi keuntungan sesaat. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh Kardinal Lawrence, tetap teguh dalam kebenaran jauh lebih berharga daripada sekadar mencapai jabatan tinggi dengan cara yang tidak bermartabat.
Keberanian menyuarakan kebenaran
Ketika Kardinal Lawrence menemukan surat pemecatan Kardinal Trembly—sebuah informasi penting yang disembunyikan oleh Paus sebelumnya—ia tidak menutupinya demi menjaga harmoni. Ia memilih untuk membagikannya kepada para kardinal agar mereka tidak salah memilih pemimpin. Sikapnya ini justru membuatnya diejek dan dituduh mengada-ada. Namun, ia tetap tenang, tak membalas dengan kemarahan, dan tetap percaya bahwa kebenaran pada akhirnya akan berbicara sendiri.
Berapa banyak dari kita yang pernah mengalami hal serupa? Ketika kita berbicara tentang kebenaran, sering kali kita justru dicemooh, dianggap berlebihan, atau bahkan dimusuhi. Namun, Tuhan selalu berpihak kepada mereka yang setia pada kebenaran, meski jalannya tidak mudah.
Dalam kehidupan sehari-hari, berani menyuarakan keadilan di tempat kerja, di keluarga, atau di komunitas bukanlah perkara sederhana, tetapi itu adalah panggilan kita sebagai manusia beriman.
Ketegasan yang dibingkai dengan kasih
Salah satu adegan yang paling menyentuh adalah ketika seorang kardinal yang masuk dalam nominasi calon Paus ternyata memiliki anak dengan seorang suster. Alih-alih menghakimi dengan keras, Kardinal Lawrence mendekatinya dengan penuh kebijaksanaan. Ia berkata dengan lembut tetapi tegas, “Kau adalah orang baik, aku tahu itu, tetapi masalah ini membuatmu tidak bisa menjadi Paus.”
Kalimat ini mengandung ketegasan, tetapi juga kasih dan penghargaan terhadap martabat sesama. Kardinal itu pun menangis dan meminta agar mereka berdoa bersama.
Betapa banyak situasi dalam hidup kita yang menuntut keseimbangan antara ketegasan dan belas kasih? Dalam keluarga, kita harus mendidik anak-anak dengan disiplin tetapi tetap dengan cinta. Dalam pekerjaan, kita harus menegakkan aturan tetapi tetap memperlakukan rekan kerja dengan hormat. Kardinal Lawrence mengajarkan bahwa pemimpin sejati bukan hanya mereka yang tegas dalam prinsip, tetapi juga memiliki kelembutan hati dalam menghadapi kelemahan manusia.
Kerendahan hati dalam kepemimpinan
Di tengah ambisi para kardinal yang ingin menjadi Paus, Kardinal Lawrence justru menunjukkan sikap yang berbeda. Ia tidak menginginkan jabatan itu, bahkan berniat mengundurkan diri setelah pemilihan. Ia sadar bahwa jabatan bukanlah tujuan akhir. Apa gunanya menjadi pemimpin jika hati dan niatnya tidak benar?
Ini menjadi pengingat bagi kita semua. Sering kali kita mengejar jabatan, pengakuan, atau penghormatan dari orang lain. Namun, pada akhirnya, yang lebih penting adalah bagaimana kita menjalani hidup dengan integritas dan kesetiaan pada Tuhan. Jabatan dan kuasa bisa datang dan pergi, tetapi hati nurani yang bersih akan selalu menjadi harta yang tak ternilai.
Kesediaan untuk mendengarkan dan mengasihi
Salah satu momen paling mengharukan dalam Conclave adalah ketika Kardinal Lawrence mengetahui bahwa kardinal yang terpilih sebagai Paus ternyata seorang interseksual. Dalam situasi yang sulit itu, ia tidak langsung menghakimi atau membuat keputusan terburu-buru.
Sebaliknya, ia mendekat, bertanya dengan lembut, dan memberi kesempatan kepada kardinal tersebut untuk menyatakan kebenaran. Sikap ini mengajarkan kita bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang tidak hanya memegang teguh prinsip, tetapi juga memiliki hati yang terbuka untuk memahami sesama.
Menjadi cahaya dalam dunia yang gelap
Refleksi dari karakter Kardinal Lawrence dalam Conclave memberi pelajaran mendalam bagi kita. Hidup ini akan selalu menghadapkan kita pada pilihan: mengorbankan prinsip demi kenyamanan atau tetap teguh dalam kebenaran meski harus berjuang sendirian. Akan ada godaan untuk memilih jalan yang lebih mudah, tetapi sering kali itu bukanlah jalan yang benar.
Namun, satu hal yang pasti: Tuhan selalu menyertai mereka yang memilih berjalan di jalan-Nya. Seperti Kardinal Lawrence, marilah kita menjadi pribadi yang teguh dalam kebenaran, rendah hati dalam kekuasaan, dan lembut dalam menghadapi sesama. Sebab, dalam setiap perjuangan mempertahankan kebenaran, kita tidak pernah sendiri.
Tuhan selalu berada di pihak mereka yang setia pada-Nya.