JANGAN membawa harapan bisa mendapati hiburan bila menonton Coriolanus. Film dengan setting budaya politik Romawi namun diformat masuk dalam setting dunia modern ini memang tak gampang dicerna. Sekalipun merupakan garapan elok oleh aktor Inggris Ralp Fiennes yang kini melirik karir baru sebagai sutradara, namun Coriolanus sungguh sebuah film dengan logika tidak biasa.
Selain alur cerita yang lari sana-sini, Coriolanus menyimpan kegamangan di hati penonton lantaran model dialog sungguh tidak mudah dicerna. Banyak ungkapan-ungkapan simbolis layaknya orang main berbalas pantun masuk dalam dialog antara para tokoh utama dalam film ini.
Coriolanus intinya berkisah tentang dua tema besar. Pertama permusuhan tanpa henti antara Caius Martius (Ralph Fiennes) –seorang jenderal Romawi—dengan seterunya dari pasukan pemberontak Volscian bernama Tullus Aufidius (Gerad Butler). Kedua, ambisi seorang perempuan ningrat Romawi (Vanessa Redgrave) yang berhasil menyetir anaknya untuk bisa didudukkan di kursi Senat di panggung politik Romawi.
Karena sukses membasmi pasukan pemberontak, Caius Martius akhirnya memperoleh gelar sebutan baru yakni Coriolanus. Meski berhasil duduk di kursi Senat Romawi, namun peran penting Coriolanus terganjal oleh dua anggota Senat lainnya yakni Brutus (Paul Jesson) dan Sicinius (James Nesbitt). Ujung-ujungnya, Coriolanus terpental dari panggung politik.
Kecewa oleh perlakukan Senat, Coriolanus akhirnya menyeberang ke arah musuh dan menjadi kolaborator pasukan pemberontak dengan satu ambisi: membumihanguskan Roma. Setelah kena bujuk untuk menghentikan pertumpahan darah di Roma, Coriolanus kini menemui jalan buntu karena dia pun lalu ditolak oleh pasukan pemberontak yang sebelumnya menerima ‘pertobatannya’.
Di ujung cerita, Coriolanus yang berdarah dingin akhirnya mati nelongso di tangan musuh bebuyutannya: Aufidius.
Kalau harus menyebutkan kelebihan film ini, maka karakter kuat pada Coriolanus menjadi pesonanya sendiri. Selebihnya, penonton bisa jadi dibuat bosan karena dialog-dialognya merupakan kata-kata bersayap yang tak mudah dicerna dengan sekali baca.
Inilah jadinya, kalau sebuah drama Romawi zaman kuno dipaksa muncul dalam sebuah setting masa kini dengan balutan sastra gaya Shakespeare.