Film “Hugo”, Jelajah Imaginasi Bangkitkan Kebanggaan Masa Lalu

1
2,358 views

BAGI manusia renta bernama Georges Méliès (Ben Kingsley), masa lalu sebaiknya dikubur dalam-dalam. Tak hanya akan membawa perasaannya melantur tanpa kendali. Lebih dari itu, mengingat masa lalu sama saja artinya menyakiti hatinya sendiri. Karena itu, Georges Méliès pun mesti mengubur kenangan indah penuh rasa bangga akan sejarah hidupnya sendiri yang tak mungkin dia bisa raih kembali. Masa lalu yang penuh kebanggaan menjadi kuburan emosi yang terpendam lantaran karirnya dipaksa kandas karena bencana politik bernama Perang Dunia I.

Awalnya, Georges Méliès adalah “orang besar”. Ia berhasil  meraih sukses dan meraup ketenaran. Mula-mulai dikenal sebagai tukang sulap dan baru kemudian namanya menjulang tinggi sebagai sutradara film. Namun karena Perang Dunia I melanda Eropa dan ikut menggilas Perancis, tak ayal industri perfilman di Negeri Anggur itu pun ikut hancur. Tak terkecuali dunia dan panggung kreatif Georges Méliès: bangkrut lantaran selera zaman sudah berganti rupa.

Tonil dan sandiwara sempat menjadi panggung hiburan hebat di Eropa dan Georges Méliès berhasil meraup sukses di situ. Namun Perang Dunia I telah membuat selera orang akan panggung hiburan menjadi hilang. Masyarakat Eropa dilanda kegalauan batin, ketika harapan akan masa depan menjadi suram. Virus nihilisme dan frustrasi melanda dimana-mana.

Sebagai orang panggung, Georges Méliès pun terkena imbas virus nihilisme: wabah ‘penyakit’ zaman itu dimana manusia tenggelam dalam frustrasi, depresi,  dan hilang harapan. Kelesuan batin melanda banyak orang dan Georges Méliès pun ikut tertular virus sosial ini.

Guna mengubur kenangan masa silam dan membebaskan diri dari kurungan nihilisme, Georges Méliès lalu ganti haluan dalam berkarir: membuka toko mainan di Stasiun KA Montparnasse Paris. Semua properti dan alat-alat perfilman telanjur dia lego. Sebagian koleksi filmnya malah telah hilang ditelan ganasnya Perang Dunia yang membabi buta.

Menemukan “harta pribadi” masa silam

Dunia Georges Méliès secara tak terduga namun perlahan berubah, ketika sutradara papan atas Martin Scorcese menghadirkan sosok bocah lelaki berumur 12 tahun dengan julukan Hugo Cabret (Asa Butterfield). Meski membawa sifat enerjik, tangguh, dan banyak ‘bermimpi’ ingin menjadi ‘orang’, Hugo tak lebih dari sekedar pencuri cilik yang tidak terhormat di kalangan para komuter yang setiap hari memadati peron Stasiun Montparnasse yang megah di Paris.

Namun, Hugo menyimpan banyak energi. Selain berbakat dan punya sifat pantang menyerah, Hugo ternyata adalah seorang ‘arsitek’ dalam pengertian yang paling dasar: suka merancang sesuatu dan ahli memperbaiki mesin.

Mesin penanda waktu alias jam adalah dunia Hugo sehari-hari.  Dari tangan ayahnya yang berprofesi sebagai seorang tukang reparasi jam itulah, garis tangan Hugo terukir gemilang. Dia menjadi sangat berbakat menjadi reparator penunjuk waktu.

Itulah sebabnya, ketika ayahnya meninggal dunia karena insiden kebakaran, nasib telah membawa Hugo pada ‘pekerjaan’ yang telah dia geluti sehari-hari. Hugo menjadi tukang jaga jam dinding raksasa—sang penunjuk waktu di Stasiun Montparnasse di Paris.

Sebelumnya ayahnya meninggal, sebuah warisan jatuh ke tangan Hugo: semacam manusia mesin bernama Automaton. Almarhum ayahnya menemukan ‘barang langka’ itu dari sebuah museum. Banyak teka-teki tersaji di dalam ‘perut’ Automaton itu. Sebelum meninggal, ayahnya sempat memberi beberapa petunjuk guna membuka ‘rahasia terpendam’ di balik mesin waktu yang tersembunyi di ‘perut’ Automaton itu.

Eureka!

Pertemuan Hugo dengan Georges Méliès –mantan sutradara kakap yang kini buka toko mainan anak-anak—di peron Stasiun Montparnasse berhasil dirancang sutradara Martin Scorcese sebagai awal sejarah membuka kedok masa lampau. Georges Méliès yang anti masa lampau tanpa sengaja harus berurusan dengan Hugo. Lantaran Isabelle (Chloe Grace Moretz) –keponakannya perempuan– bocah cerdik banyak akal dan pantang menyerah ini akhirnya bisa sampai ke rumahnya.

Hugo sangat berkepentingan dengan buku manual Automaton. Ia butuh manual itu guna bisa ‘menghidupkan’ kembali roh mesin waktu Automaton ini. Georges Méliès pun butuh manual itu karena  dia ingin menyembunyikan masa lalunya.

Beda maksud, beda kepentingan, tapi punya hasrat sama untuk ‘memiliki” Automaton. Hugo ingin menghidupkan Automaton lagi; sementara Georges Méliès justru ingin mengubur Automaton, karena hanya akan membuka masa silamnya yang hancur oleh Perang Dunia I.

Sutradara Martin Scorcese dengan cerdik berhasil menjembatani dua kepentingan berbeda itu. Prof René Tabard muncul dalam film ini dan berkat dia, maka bertemulah  Hugo, Tabard,  Georges Méliès dan istrinya Jeanne serta Isabelle dalam sebuah pertemuan untuk membangkitkan kenangan masa silam. Berkat film documenter Voyages to the Moon karya Méliès, Prof. Thabard berhasil mendongkrak semangat hidup  pembuatnya: Georges Méliès. Jeanne pun ikut dibuat bahagia, karena dalam film itu pun dia menjadi aktris pemeran utama.

Film serius dan bagus

Di Indonesia, Hugo masuk dalam kategori film remaja. Padahal, saya justru melihatnya sebagai sebuah film serius yang layak ditonton oleh orang dewasa dengan modal punya pemikiran luas dan matang. Meski berlatar kisah anak-anak, film hasil adaptasi dari novel The Invention of Hugo ini sejatinya film serius. Tentu dalam pengertian: dibuat sangat serius, menarik, dan temanya mendunia karena bisa memberi gambaran tentang atmosfir sosial  nihilisme yang melanda Eropa pasca Perang Dunia I.

Tanpa sedikit tahu latar belakang sejarah ini, rasanya susah pula mencerna indahnya film Hugo ini. Yang pasti,  saya memandang film ini sangat bagus. Bukan saja karena Hugo  berhasil menyabet  lima penghargaan Oscar untuk kategori Best Cinematography, Best Art Direction, Best Visual Effects, Best Sound Mixing, dan Best Sound Editing, setelah sebelumnya sempat diprediksi akan menyabet 11 nominasi Oscar. Melainkan karena bobotnya akting pemeran Hugo yakni Asa Butterfield, bocah cilik bermata biru dengan tatapan tajam pantang menyerah.

Kalau saja film The Artist belum dirilis, sangat bisa jadi Hugo garapan Martin Scorcese ini akan menjadi film terbaik yang berhak menggondol  piala Oscar. Apalagi, Hugo juga meraih penghargaan Golden Globe sebagai film dengan sutradara terbaik.

 

 

 

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here