DI banyak situasi-situasi batas dimana manusia berhadapan langsung dengan ketidakberdayaannya, tak jarang pula manusia lalu menjadi insyaf akan kelemahannya sebagai ‘mahkluk tercipta’ di hadapan Sang Pencipta. Dalam situasi-situasi batas itulah, kita –manusia- biasanya lalu cenderung kembali mempertanyakan eksistensi kita di hadapan alam, flora, fauna, dan tentu saja Allah, Tuhan Sang Pencipta langit dan bumi dimana manusia ‘terlempar’ ke dunia untuk merintis jalan kehidupan.
Dan siklus perjalanan kehidupan manusia itu pun sudah sangat jelas, yakni lahir, menjadi besar dan lebih ‘tua’, hingga sekali waktu akan menderita sakit dan pada akhirnya ajal menjemputnya. Sebuah siklus kehidupan dimana manusia diharapkan menanam dharma agar hidup di kemudian harinya menjadi lebih baik lagi.
“Situasi batas”
Film Life of Pi bukan saja sebuah film dahsyat tentang kisah kehidupan anak manusia bernama Pi yang terdampar di lautan hingga berkawan akrab dengan seekor macan Bengali. Lebih dari itu, film besutan sutradara Ang Lee –langganan peraih Oscar—ini juga bernarasi tentang pergumulan batin seorang anak manusia dalam mencari makna eksistensinya di tengah alam semesta.
Seperti saya katakan di awal tulisan ini bahwa justru di dalam situasi-situasi batas itulah, kesadaran manusia akan ketidakberdayaannya di satu pihak dan kesadaran akan kemahakuasaan Tuhan di sisi lain akan muncul. Film Ang Lee tentang kisah hidup seorang pemuda bernama Pi juga mencerminkan proses pencarian manusia dalam memaknai eksistensinya di hadapan alam, semesta, flora, fauna dan Allah Sang Pencipta.
Pi adalah nama panggilan seorang anak berdarah India yang terlahir dengan nama ‘aneh’ yakni Piscine Molitor Patel. Ini sebenarnya nama sebuah kolam renang di Paris, karena kata ‘piscine’ dalam bahasa Perancis itu sendiri juga berarti ‘kolam renang’. Jadi, kolam renang di Molitor. Dari dua kata inilah, anak India dari Pondicherry ini akhirnya terbiasa dipanggil sebagai ‘Pi’, setelah sebelumnya sempat diejek oleh kawan-kawan sekolahnya dengan julukan ‘Urin’ (tempat kencing) lantaran menggandeng nama ‘kolam renang’ sebagai identitas sosialnya.
Life of Pi jelas tidak hanya berkisah tentang la piscine, sekalipun di awal kisah film ini juga mengangkat kisah Mamanji, mentornya berenang yang telanjur jatuh hati dengan Piscine Molitor. Life of Pi berangkat dari kegelisahan sekaligus rasa ingin tahu seorang anak bernama Pi akan makna kehidupan di balik semua tata cara keseharian dan tradisi hidup keagamaan.
Terlahir sebagai anak India, maka Pi pun ‘terlempar’ dalam peta sosial dimana agama Hindu menjadi identitas massal mayoritas masyarakat sekitarnya. Maka Pi pun hidup mengakrabi peta kehidupan sosial khas India dimana eksistensi dewa-dewi menurut tradisi Hindu menjadi arah pedoman hidup manusia. Namun, sekali waktu Pi kecil terbius oleh kata-kata pastor muda hingga kemudian mengklaim dirinya mulai percaya sama Yesus Kristus. Tapi, belakangan suara indah azan membuatnya sangat tertarik untuk memeluk Islam.
Ketika sudah dewasa dan hidup sebagai warga negara imigran di Kanada, Pi tanpa sungkan menjawab pertanyaan wartawan muda yang mewancarainya: “Saya seorang India, pernah masuk Kristen dan memelajari indahnya Islam, namun tetap saja saya seorang Hindu tulen!”
Macan Bengali bernama Richard Parker
Sudah sedari kecil, Pi selalu hidup dalam sebuah kegelimangan gejolak rasa ingin tahu yang begitu membuncah. Termasuk ketika bersama Ravi, kakaknya, dia ingin ‘bertegur sapa’ dengan seekor macan Bengali yang menjadi salah satu penghuni wahana kebun binatang milik ayahnya. Namun, ‘perjumpaan’ ini berakhir gagal, karena niatnya memberi daging dari tangannya ke macan Bengali ini kandas lantaran kena tegur keras ayahnya.
Namun, pengalaman itu justru sangat membekas dalam-dalam di hatinya. Ia percaya, manusia bisa membuka ‘komunikasi’ intens dengan binatang buas, termasuk dengan Richard Parker –nama macan Bengali ini. Rona-rona kehidupan mencari ‘terobosan’ untuk bisa berkomunikasi dengan Richard Parker inilah yang menjadi nafas inti kisah film Life of Pi. Terutama ketika Pi ‘terlempar’ ke situasi yang tidak dia kehendaki: hidup terapung-apung di sekoci penyelamat, setelah kapal kargo Jepang yang membawa keluarganya kandas di sebuah perairan di Lautan Pasifik dalam perjalanan beremigrasi ke Winnipeg, Kanada.
Di sekoci itu hanya Pi, seekor heyna ganas, kuda sebra, dan orang utan. Orang utan bernama Jus Jeruk akhirnya tewas digorok taring heyna. Pun pula kuda sebra. Ketika akan menggorok Pi, maka Richard Parker-lah yang datang menyelamatkan Pi dari amukan heyna ganas ini.
Niatan Pi mau ‘berteman’ dengan Richard Parker masih ada di kejauhan, karena macan Bengali ini masih liar dan ganas. Namun karena Pi berhasil menarik simpati Parker dengan umpan ikan segar, lambat laun Parker pun mulai bisa ‘ditundukkan’ melalui mekanisme Pavlov: reward and punishment system.
Kisah Pi mencari bakat alami yakni sebuah jalinan komunikasi dan persahabatan antara manusia dan binatang buas inilah ‘nyawa’ besar sebuah film hebat besutan Ang Lee. Cara film ini menggambarkan dunia semesta di lautan bebas sangat menawan. Lihat saja pemandangan alam sebuah pulau terpencil dimana ribuan merkaat menyambut kedatangan Pi dan Richard Parker. Begitu pula, kolam alami di tengah pulau yang eksotik ini dimana siang hari menjadi sumur bening, namun di malam hari menjadi ‘kuburan’ alam bagi semua mahkluk hidup karena berubah menjadi kolam acid.
Cara Ang Lee menerjemahkan kegelisahan manusia berhadapan dengan dahsyatnya alam juga ciamik. Lihat saja amarah membara Pi muda ketika berhadapan dengan badai. Begitu pula, ketika petir dan halilintar menyambar-nyambar di lautan lepas. Di tengah hamparan lautan tak ada batasnya ini, Pi merasa hidup di atas ‘nowhere’ hingga akhirnya muncullah kesadaran religius: manusia bukanlah siapa-siapa berhadapan dengan alam semesta dan kekuatan alam, juga Tuhan –Sang Pencipta langit dan bumi.
Sejarah religiusitas manusia
Bagi saya pribadi, Life of Pi merupakan sebuah film serius. Sekalipun juga sangat menghibur melalui tampilan 3D yang sangat menawan, Life of Pi lebih mengesankan saya sebagai kisah seorang manusia bernama Pi yang bertanya tentang makna hidup dan eksistensinya di tengah alam semesta.
Pi bertanya tentang kehidupan, juga mengapa antara manusia dan binatang harus ada ‘saling pengertian’; juga tentang ‘kehebatan’ Tuhan yang mendatangkan badai, hujan, halilintar, petir, dan memberi makanan berlimpah. Pi dibuat tabah dan bisa survive lantaran keberadaan seekor macan Bengali bernama Richard Parker.
Namun Pi juga bisa lunglai secara emosional, ketika mengucapkan selamat tinggal pun tak sempat dia katakan sewaktu harus berpisah dengan kekasihnnya Amandini. Juga ketika sampai di Daratan Meksiko, ternyata Richard Parker pun langsung meninggalkannya begitu menemukan hutan yang menjadi habitat alaminya.
Perpisahan –seperti kata pepatah—memanglah partir, c’est mourir un peu: rasanya seperti mendulang detik-detik kematian, sekalipun berlangsung singkat. Perpisahan selalu menyisakan perasaan sedih yang dalam sekejap kemudian juga akan hilang ditelan perjalanan waktu.
Namun, perpisahan selalu menimbulkan bekas: entah positif atau negatif dalam pengertian dampak emosional. Perpisahan Pi denga Richard Parker menyisakan sebuah kisah panjang dan dari sini pulalah seorang novelis bernama Yan Martel berkisah tentang seorang manusia bernama Pi Patel dari Pondicherry di India yang terdampar di sekoci di Lautan Pasifik selama berbulan-bulan. Namun, tulis Yann Martel, Pi Patel ini berhasil survive di lautan lantaran pertemanannya dengan Richard Parker, macan Bengali.
Lalu apanya yang hebat dari film Life of Pi ini?
Sudah barang tentu, daya kreatif tim skenario yang bisa menerjemahkan novel Yann Martel ini menjadi sebuah naskah percakapan. Giliran berikutnya adalah sineas-sineas seperti David Magee yang berhasil memvisualkan percakapan ini melalui berbagai tayangan dialog, pemandangan, dan adegan. Pada akhirnya, pujian besar memang harus dialamatkan kepada Ang Lee, sutradara China yang berhasil memberi ‘roh kehidupan’ pada kisah menengangkan sekaligus mencengangkan dari seorang pemuda bernama Pi dan seekor macan Bengali bernama Richard Parker ini.
Atas kerja yang luar biasa inilah, rasanya adil pula kalau akhirnya Ang Lee diganjar Hollywood dengan piala Oscar.