TIDAK ada kata terlambat untuk bertobat dan “kembali ke jalan yang benar”. Sam Childers (Gerard Butler) berketetapan mau memulai babak hidup baru, setelah bertahun-tahun hidup dalam belenggu semangat hedonisme: mencari kenikmatan semata.
Mabuk, sakauw, nangkring gagah di motor gede, main perempuan adalah dunia hitam yang diakrabi Sam. Sekali waktu, hati Sam tersentuh, setelah mengikuti saran istrinya (Michelle Monaghan) mengikuti acara kebaktian rohani.
Usai dibabtis dalam sebuah komunitas kristiani di Pennsylvania, keseharian Sam berbalik arah. Ia melakukan metanoia, bertobat: tinggalkan dunia hitam dan perlahan namun pasti mulai menjalani kesehariannya sebagai orang saleh.
Berjihad di Sudan
Perjalanannya ke Sudan di Afrika Timur membawa Sam pada babak hidup baru yang lebih dramatik. Tak tahan melihat anak-anak Sudan dicincang dan dijadikan tameng hidup oleh milisi pemberontak LRA (Lord’s Resistance Army) pimpinan Lord Konny, darah “berandalan” Sam kembali bergolak. Kali ini, misi dia adalah menyelamatkan anak-anak panti asuhan yang dia kelola dari jeratan kekerasan milisi LRA.
Jadilah, Sam menjalani dua kehidupan bak dua sisi satu mata uang. Sekali waktu menjadi pengkotbah mengabarkan isi kitab suci. Kali lain, terpaksa menenteng senapan guna mengusir kelompok perusuh anggota milisi LRA yang mengincar anak-anak Sudan sebagai targetnya.
Kitab Suci dan bedil
Tangan kiri memegang kitab suci, tangan kanan menyandang bedil dengan pelatuk siap menyalak. Lantaran jalan hidup dua arah itulah, Sam lantas mendapat julukan The White Preacherman. Nama ini ibarat hantu bagi milisi LRA, setelah Sam mengibarkan bendera perang ingin memberangus keberadaan milisi brutal yang memanipulasi anak-anak menjadi mesin pembunuh.
Film Machine Gun Preacher menarik bukan lantaran ada baku tembak dan aksi heroik Sam melumpuhkan anasir-anasir bersenjata pasukan LRA. Namun, lebih karena kisah film ini diangkat dari true story berkisah tentang kegelisahan manusia mencari makna hidup. Kisah dalam film ini diambil dari riwayat hidup Sam dalam buku Another Man’s War. Nah, kalau segala kebrandalan sudah dilakoni, lalu terus mau apa?
Mencari makna hidup dengan melakukan pelayanan rupanya membuat Sam kembali menemukan identitasnya sebagai mahkluk rohani. Dari berandalan, Sam berubah menjadi pengkotbah di Pennsylvania. Namun di belantara Sudan di Afrika Timur, Sam tidak hanya menjadi pengkotbah, tapi juga penembak jitu. Alhasil, Machine Gun Preacher memang berkisah tentang Sam Childers yang selalu memegang kitab suci sembari membawa senapan.