BANGUNAN biara dengan tembok batu bata merah selalu menjadi pemandangan menarik. Belum lagi, menyaksikan lahan luas biara dengan permukaan warna hijau karena rerumputan yang menjadi topping-nya.
Lalu, bunyi denting bel yang sering kali memecah kesunyian biara.
Bel sudah menjadi semacam “penunjuk waktu” yang mengatur hidup semua orang di dalamnya. Bel inilah yang mengatur orang harus mulai berdoa, mengikuti ibadat dan misa di kapel biara. Juga, ketika mereka dituntut untuk melaksakan silentium magnum.
Regulae tactus
Hidup sehari-hari tanpa bicara satu sama lain. Dan juga mempraktikkan regulae tactus.
Mengatur jarak pandang mata agar tidak terjadi “saling berkomunikasi”. Baik melalui gejolak emosi, tatapan mata, kata-kata omongan.
Dan tentu saja gesekan tubuh yang –siapa tahu—bisa menimbulkan emosi dan gairah seksual.
Film Novitiate (2017) menggambarkan iklim suasana formatio para calon suster di sebuah biara di Amerika Serikat. Lengkap dengan model pendidikan spartan zaman dulu. Ketika Gereja mulai beranjak mau berubah dari model lama sebelum Konsili Vatikan II.
Pola relasional antara Moeder Suster yang menjadi overste biara dengan semua suster anggotanya masih berada dalam tataran “atas-bawah”.
Abdis atau pemimpin biara adalah “tuhan” yang menentukan segala-galanya. Termasuk di sini apakah para calon suster itu dianggap layak menyandang predikat sebagai suster biarawati atau tidak.
Jadi, jangan sampai mempertanyakan otoritas overste. Juga jangan sampai menentang apalagi menggugatnya. Salah-salah bisa terpental keluar alias disuruh copot jubah.
Taat seperti orang buta
Inilah yang terjadi pada Sr. Mary Grace (Dianna Agron). Ia mesti lepas jubahnya, hanya gara-gara mempertanyakan apa tindak lanjut Abdis Biara Sr. Marie Saint-Clair (Melissa Leo) menyikapi tuntutan perubahan hidup religius pasca Konsili Vatikan II.
Atas nama “ketaatan”, sikap kritis macam itu tidak bisa diterima. Ketika Sr. Mary Grace mempertanyakan otoritas Moeder Suster, babak akhirnya menyedihkan. Suster formator sebagai magistra yang simpati ini harus keluar dari biara.
Hal-hal yang “hil mustahal” ini benar-benar tidak bisa dimengerti oleh para gadis remaja yang saat itu menjadi Postulan dan kemudian Novis.
Salah satunya adalah Sr. Cathleen (Margaret Qualley), gadis anak tunggal dari keluarga “broken-home” dan juga non-Katolik.
Menyesah diri
Sebenarnya, kebingungan besar yang sama juga melanda para Novis lainnya. Termasuk ketika mereka harus melakoni sesi “pengakuan dosa” di hadapan Moeder Suster dan sesama Novis koleganya.
Tahun-tahun dulu, praktik “pengakuan dosa” ini masih dialami para Novis. Baik itu calon suster, bruder, dan imam. Inilah saat kritis di mana masing-masing orang diminta “meneliti batinnya” dan kemudian membeberkan kepada “publik” rentetan kesalahan dan dosanya pada hari itu.
Dalam film Novitiate besutan sutradara Maggie Betts, sesi “pengakuan dosa” umum itu terjadi setiap pekan.
Penitensi ekstrim
Itu belum cukup. Penitensi selalu mengikuti sesi confessiones ini. Dan yang punya kuasa memberi “hukuman” itu adalah Moeder Suster.
Ini untuk silih dosa. Atau secara positif disebut langkah hidup rohani agar semakin sempurna dalam upayanya mencintai Tuhan.
Menjadi begitu, karena para suster biarawati selalu mempersepsi panggilan hidup religiusnya sebagai cara terbaik untuk menjadi “pengantin” Tuhan. Dan itu dianggap sebagai paling indah dan sempurna.
Pada zaman itu –sebelum Konsili Vatikan II— jalan menuju hidup sempurna dan baik pada umumnya identik dengan melakoni hidup sebagai rohaniwan-rohaniwati.
Tahun-tahun sebelum Konsili Vatikan II, jumlah panggilan hidup religius itu membludak. Biara-biara penuh “sesak” dengan para penghuninya dari kalangan suster, bruder. Sedangkan seminari menengah dan tinggi juga berjubelan dengan para seminaris, frater, dan imam.
Konsili Vatikan II akhirnya bergulir. Mengusung “aggiornamento” sebagai semangat baru, Gereja membiarkan semilirnya angin dari luar boleh masuk ke relung-relung jendela hirarki, ordo, kongregasi religius. Lalu, terjadilah banyak perubahan radikal sana-sini.
Dulu, silih dosa harus dilakoni dengan “menyesah diri”. Orang membuka punggungnya dan kemudian mencambuki dirinya dengan seutas tali dengan lingkaran-lingkaran keras di ujungnya. Punggung memerah dengan lebam adalah hasil dari kegiatan penyesahan diri ini.
Dan itulah yang “secara moral” harus dilakoni oleh Sr. Cathleen. Novis calon suster ini sangat bersemangat melakukan penyesahan diri. Ini untuk mengejar “kesempurnaan” hidup.
Confessiones
Ia masih sangat “ingusan” tentang segala pernak-pernik hidup membiara yang rumit. Ketika sekali waktu, energi seksualnya sebagai perempuan “meledak”, ia lalu merasa sangat-sangat berdosa. Karena itu, ia lalu menyesah diri.
Tiba waktunya harus melakukan confessiones di hadapan Moeder Suster dan kolega Novis lainnya. Dengan derai air mata, ia berterus-terang telah menemukan “cinta lahiriah” dengan sesama Novis.
Tentu saja, pengakuan yang jujur itu membuka keputusan final bagi Moeder Suster untuk segera mengusir seorang Novis bernama Sr. Imanuel (Rebecca Dayan).
Di ujung akhir film Novitiate saat mau mengucapkan teks kaul-kaul religius itu, mulut Sr. Cathleen tersekat kuat. Ia menjadi gagap bicara. Itu karena dirinya telah melanggar “moralitas” hidup religius.
Sr. Cathleen merasa diri telah melakukan dosa besar. Karena punya gejolak seksual dan kemudian mengungkapkannya dengan diam-diam secara lahiriah dengan Sr. Imanuel.