Film Serial “The Good Place”, Ajarkan Filosofi dengan Komedi

0
655 views
Film serial "The Good Place" yang sarat dengan nafas filsafat. (Ist)

FILSAFAT. Ilmu yang biasanya dipandang sebagai suatu yang ‘kaku’ dan ‘super serius’. Tak heran, jarang ada film yang skenarionya berkutat pada filosofi moral yang menjadi box office atau dipuji masyarakat umum. Satu yang berhasil dalam dua tahun ini adalah The Good Place.

Surga bagi manusia baik

Serial televisi komedi fantasi Amerika yang diciptakan oleh Michael Schur ini ditayangkan di NBC pada 19 September 2016 dan berakhir pada 30 Januari 2020, dengan total empat seri dan 53 episode. Untuk pasar internasional, serial ini dirilis melalui Netflix dimulai pada 21 September 2017.

Plot ceritanya tentang hidup setelah meninggal. Kepercayaan secara umum di masyarakat adalah manusia yang baik akan masuk surga. Sedangkan yang tidak cukup baik selama hidupnya di bumi akan menerima hukuman disiksa oleh setan di neraka. Surga disini disebut The Good Place, sedangkan neraka diistilahkan The Bad Place.

Film ini memaparkan bagaimana para tokoh utamanya berusaha mencapai The Good Place,  bagaimana proses perhitungan nilai untuk layak masuk ke situ dan lika-liku mereka menangani rintangan dan tantangan yang silih berganti dihadapi.

Teori filsafat akurat

Hebatnya, menurut beberapa pengajar filsafat, filosofi yang disuarakan dengan jelas sepanjang serial tersebut akurat. Selain itu, mudah dipahami oleh orang yang tidak pernah belajar filsafat sebelumnya.

Beberapa nama filsuf utama seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Immanuel Kant, Thomas Aquinas sampai filsuf zaman sekarang seperti Thomas Scanlon.

Teori-teori filsafat yang disinggung dalam film di antaranya Trolley Dilemma yang dibuat oleh Philippa Foot dan Judith Thompson.

“Dilema Kereta” itu membahas keputusan apa yang seharusnya diambil seseorang ketika menghadapi dilema. Dianalogikan orang tersebut sedang menyetir kereta yang kehilangan rem di lintasan persimpangan dua rel, dimana satu rel terdapat lima orang, sedangkan rel lain satu orang.

Rel mana yang akan dipilih?

Selain itu ada juga teori eksistensialisme, utilitarianisme, kewajiban moral Kant, dan doktrin efek ganda Thomas Aquinas. 

Penggunaan teori-teori dalam ilmu filsafat yang luarbiasa sesuai sepanjang serial film tersebut rupanya karena pembuat filmnya mengundang dua pengajar filsafat yaitu Pamela Hieronymi dan Todd May sebagai konsultan filsafat.

Pamela, lulusan Princeton dan Harvard, merupakan profesor di Universitas California yang menekuni psikologi moral.

Sedangkan Todd May merupakan pengajar filsafat politik yang banyak menulis banyak bidang anarkisme, eksistensialisme, dan filsafat moral. Lulusan Universitas Pennsylvania ini sekarang mengajar di Universitas Clemson.

Keduanya bahkan sempat muncul sebagai cameo di episode terakhir film tersebut.

Para pemeran film serial “The Good Place” yang bernafaskan filsafat. (Ist)

Pertobatan dan perbaikan diri

Adegan pembuka film ini adalah ketika Eleanor membuka matanya dan menemukan dirinya di ‘the good place’, begitu info yang dia terima dari Michael, arsitek tempat tersebut.

Eleanor senang sekali, tetapi lalu menjadi khawatir ketika lebih lanjut dia sadar bahwa terjadi salah paham; dia yang super egosentris dikira Eleanor lain yang hidupnya diabdikan sebagai aktivis kemanusiaan.

Eleanor yang ingin tetap boleh hidup di good place mencari seorang pengajar etika dan moral untuk membantunya menjadi orang yang lebih baik sehingga layak diterima di situ.

Dari situ cerita bergulir dan bersimpul dengan ahlinya.

Jalinan ceritanya tidak lurus tapi penuh belokan menarik. Apalagi diperankan dengan piawai oleh para aktornya, seperti Ted Lanson (Michael), Kristen Bell (Eleanor), William Jackson Harper (Chidi), Jameela Jamil (Tahini), Manny Jacinto (Jason), dan D’Arcy Carden (Janet).

Siksaan di “good place”

Ternyata hidup tak mudah bagi Eleanor, Chidi, Tahini, dan Jason walaupun tinggal di Good Place yang dimanajeri oleh Michael dengan bantuan robot Janet yang selalu siap memenuhi permintaan para penghuni di situ.

Satu demi satu masalah muncul di tempat surgawi tersebut, sampai di akhir sesi satu tersebut, terkuaklah kebenaran yang mengejutkan bagi mereka.

The good place itu sebenarnya the bad place yang dirancang untuk menyiksa mereka dengan cara baru yang diciptakan oleh Michael: menyatukan empat orang yang karakternya akan saling menyusahkan satu sama lain. Rupanya Michael menggunakan teori ‘hell is other people’ Jean-Paul Satre.

Film yang netral tentang perilaku etis

Kelanjutan cerita di sesi dua, tiga, sampai akhirnya selesai di sesi empat, mengalir dengan lancar dan enak diikuti, plot-plot-nya penuh tikungan mengejutkan.

Bagi yang belum menontonnya, saya tidak akan merusak kenikmatan menikmati film ini dengan spoiler.

Mari belajar filsafat tanpa mengernyitkan dahi, dan bisa sambil tertawa.

Pesan-pesan moral diberikan tanpa menggurui tetapi melalui kisah para tokohnya, yang merupakan orang-orang biasa, seperti saya dan sebagian besar dari anda.

Film ini dibuat ‘netral’, tidak bereferensi ke agama tertentu. Seperti dijelaskan oleh Michael Schur, pencipta serial ini, yang diangkat adalah perilaku etis bukan penebusan religius.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here