SPIDER-MAN kali ini tidak hanya melulu berkutat pada urusan tali-temali web super elastik nan kuat buatan temonggo alias laba-laba berhati manusia. The Amazing Spider-Man hasil besutan sutradara Marc Webb –sesuai judul filmnya— juga menyuguhkan budaya pop Amerika yang hidup di kalangan teenagers di sana.
Lihat saja penampilan Andrew Garfield, pemeran utama anak muda tampan bernama Peter Parker alias The Amazing Spider-Man. Ia rajin bolak-balik tanpa henti membuka berbagai situs internet untuk bisa merancang sendiri kostum yang paling gres serta trendi yang menurutnya paling pas dan cocok buat dirinya.
Lihat pula bagaimana gaya para aficinado basket di kalangan anak muda –terutama teenagers di berbagai high school di seluruh penjuru AS— tampil dengan porsi lumayan di awal film The Amazing Spider-Man ini. Begitu pula bagaimana Peter Parker nyaris tak pernah pisah dari skate-board, olah raga fun kegemaran anak-anak muda metropolis zaman sekarang.
Serba menawan
Tentu saja masih harus disebut penampilan ciamik Emma Stone yang tampil sangat memesona saat berperan sebagai Gwen Stacy, gadis blonde berpostur menawan disertai gaya penampilan yang sengaja didesain serba menarik. Wajahnya sangat rupawan, selera berbusana top abis ketika memakai long-boots hingga pangkal paha dipadu dengan mini shirt, rompi sweater atau kadang pull-over, dan –tak kalah penting— elokuensianya dalam berbicara.
Gwen yang tidak saja cantik dan serba klimis dalam berbusana ini menjadi magnet kuat dalam film The Amazing Spider-Man ini, selain tokoh utamanya Peter Parker (Andrew Garfield) yang tampan, sedikit urakan namun smart. Sebagai laba-laba berhati manusia, tentu saja Parker juga punya jiwa sosial suka menolong orang lain, terutama ketika dalam bahaya atau diperlakukan semena-mena oleh penjahat.
Gwen Stacy yang cantik dan smart beradu akting dengan Peter Parker yang tampan plus cerdas. Nah, apa lagi yang tidak menarik dari film The Amazing Spider-Man ini sehingga sutradara Marc Webb pun dengan pede-nya memberi label Laba-laba Manusia yang mengagumkan (the amazing!)?
Saya menikmati film ini dengan perspektif itu. Sedari awal hingga akhir, pesona kedua anak manusia remaja yang serba tangkas, cantik nan cerdas itu terasa begitu mendominasi atensi saya. Akibatnya, berbagai kejanggalan alur cerita yang biasa terjadi dalam skenario film buatan Hollywood menjadi tak terlalu penting bagi saya.
Tetap saja altruis
Memanglah, The Amazing Spider-Man ini masih mengikuti alur cerita sekuel serial film Spider-Man sebelumnya yang dulu digawangi aktor-aktris Tobey Maguire and Kirsten Dunst. Namun –ini kesan saya– telah terjadi lompatan penyempurnaan yang cukup signifikan dibanding ketiga film serial sebelumnya. Kini makin ditonjolkannya budaya pop Amerika di kalangan anak-anak muda namun yang dikemas lebih menawan.
Sifat suka menolong orang lain (altruis) terasa begitu kental dalam The Amazing Spider-Man ini. Lihat saja bagaimana sang jagoan muda kita ini asyik berakrobat di udara menyelamatkan anak kecil yang nyaris jatuh ke sungai karena ulah Manusia Kadal yang bengis. Begitu pula, semangatnya mengeliminir kejahatan dan mengalahkan Manusia Kadal hasil metamorfose genetik kreasi Dr. Curt Connors (Rhys Ifans) di perusahaan OsCorp.
Jadi jangan heran, kalau di tengah aksinya menolong orang lain Peter Parker masih sempat main HP dan games. Ini sebuah kemasan menarik dari seorang pemuda laba-laba yang sedikit pemalu namun berhati emas.
Suka bereksperimen
Seperti lazimnya anak-anak muda AS yang suka coba-coba dan bereksperimen guna membangun rasa percaya diri, Peter Parker alias Si Manusia Laba-Laba ini pun tidak luput dari kebiasaan ini. Alih-alih membicarakan kisahnya tergigit laba-laba di tengkuknya saat diam-diam berkunjung ke laboratorium OsCorp, Peter Parker justru lebih suka menyendiri di sebuah bangunan besar –mirip sebuah gudang—untuk bereksperimen dan menguji kemampuannya bermain skate-board. Kali ini, Parker sudah punya modal kekuatan supra-manusiawi hingga mampu melakukan manuver terbang melayang tinggi lazimnya laba-laba.
Suka bereksperimen adalah sifat sangat khas diri Peter Parker yang diwarisi dari ayahnya yang entah kenapa tiba-tiba hilang ditelan perjalanan cerita film ini. Dari sebuah tas kerja ayahnya yang konon berprofesi sebagai ilmuwan murni di sebuah laboratorium Perusahaan OsCorp, Peter menemukan formula kimiawi untuk sebuah program rekayasa genetika. Meski ditentang paman dan tantenya (diperankan bagus oleh Martin Sheen dan Sally Field), Peter tak lekang oleh keinginan mencari jawab atas formula rahasia warisan ayahnya itu.
Barulah ketika tanpa sengaja bertemu dengan Dr. Curt Connors di laboratorium OsCorp, misteri formula itu sedikit terkuak. Namun belum tuntas, karena kolega ayahnya ini keburu “mencuri” formula rahasia itu dan bereksperimen dengan sampel tubuhnya sendiri. Tanpa dia kehendaki, Dr. Connors pun berubah menjadi kadal raksana super agresif.
Dari kawan, kini menjadi lawan. Manusia Kadal Raksasa nan bengis inilah yang akhirnya menjadi lawan main Si Manusia Laba-laba. Berbagai adegan duel antara kedua mahkluk supra-manusiawi di belantara kota New York ini ikut mewarnai hidup Letnan George Stacey –kepala unit kerja New York Police Deparment—hingga tanpa sengaja dipertemukan dengan Peter Parker dalam sebuah setting peristiwa heroik.
Sudahlah, kalau dalam soal adegan gelut dan gebuk, Hollywodd memang super jago merancang gambar dan berbagai trik menawan. Namun, film The Amazing Spider-Man bagi saya menjadi menarik bukan lantaran adegan heroik dan altruisme tersebut. Melainkan lebih bagaimana saya dibuat terhibur bisa menyaksikan geliat karakter anak-anak muda yang didominasi oleh ambisi besar dan semangat mau bereksperimen ini diberi porsi lumayan dalam film ini.
Semua dikemas –tentu saja—dalam sebuah perspektif budaya pop Amerika. Termasuk ketika Peter Parker harus bereksperimen “latihan” mencium lips-to-lips melumat bibir Gwen di selasar lantai 21 sebuah apartemen di tengah belantara sky-crappers di Manhataan, New York.