TIONGKOK di era Revolusi Kebudayaan (1966-1976) di bawah arahan Ketua Mao Zedong telah melahirkan dua kelas sosial berbeda. Satu beraliran “kiri”. Lainnya “kanan”.
Secara garis politik, kedua golongan ini bermusuhan. Saling intip untuk bisa “membinasakan” satu sama lain.
Lainnya adalah kelompok proletar –masyarakat biasa di pedesaan—dan kaum kapitalis yang hidup di kota. Keduanya juga saling “mengincar”, karena beda haluan politik dan kepentingan “bisnis”.
Situasi politik seperti ini membuat keluarga Zhang Jing Qiu (Zhou Dongyu) morat-marit secara sosial dan ekonomi. Ayahnya menjadi tahanan politik, lantaran berhaluan “kanan”. Ibunya hanyalah seorang guru dan harus menghidupi ketiga anakya, termasuk Jing.
Namun karena “dosa politik” keluarganya, Jing harus mengikuti program “formatio” ulang. Oleh rezim politik berhaluan “kiri” yang tengah berkuasa, Jing harus “masuk desa”. Harapannya, ia harus bisa “belajar” sesuatu di sana.
Ya mencangkul, ya menjadi pekerja bangunan.
Di bawah pohon hawthorne
Di sebuah desa bernama Xiping di luar Kota Yichang di wilayah Provinsi Hubei inilah, Jing malah menemukan cinta.
Ia berkenalan dengan pemuda tampan bernama Lao San (Shawn Dou), seorang aktivis politik berhaluan “kiri”.
Di sebuah areal di mana tumbuh subur sebuah pohon bernama hawthorne inilah, bibit-bibit cinta antar kedua lawan jenis ini mulai bersemi.
Lokasi tumbuhnya pohon hawthorne ini rupanya punya sejarah panjang. Ia menjadi subur, karena telah “disiangi” oleh darah para martir pejuang Tiongkok saat Perang Dunia II di mana imperialis Jepang menjajah RRC.
Kisah hidup Lao San sendiri menarik disimak.
Ayahnya seorang perwira tentara PLA Tiongkok. Sedangkan, ibu kandugnya justru berhaluan “kanan”. Tanpa latar belakang jelas, ibunya mati bunuh diri.
Sedangkan ibu kandung Jing terpaksa mencari penghasilan tambahan dengan membuat amplop-amplop pesanan.
Film Tiongkok berjudul Under the Hawthorne Tree (2010) ini sangat berkelas. Bukan karena “kemewahan” properti atau kecanggihan atribut. Tapi justru kesederhanaan yang dibesut oleh Zhang Yimou ini malah menawari aroma berkelas.
Itu adalah lanskap panorama indah pedesaan di Provinsi Hubei. Pola hidup keluarga-keluarga di Tiongkok, sebelum mereka maju dan modern seperti sekarang ini.
Di mana-mana orang mengayuh sepeda. Bus-bus model kuno mengisi ruas-ruas jalan.
Beningnya Sungai Yangtze memberi kehidupan dan kesegaran. Warna hijau kawasan pedesaan yang memukau.
Ini kelebihan Zhang Yimou, pembesut film, yang menorek sukses di kancah sineas kelas dunia melalui Raise the Red Lantern, Hero dan House of Flying Daggers, serta The Great Wall.
Film ini diolah berdasarkan novel yang diangkat dari sebuah kisah nyata.
Karenanya, adegan Lao San yang tengah sekarat karena leukemia, namun bisa menitikkan air matanya karena kehadiran Jing sungguh menyayat hati.
Benar, cinta tak kenal batas. Aliran politik pun tak mampu meredamnya.