MONTREUX adalah sebuah kota sunyi yang terletak di kaki salah satu bagian dari Alpen di negeri yang terkenal dengan coklat dan pemandangan penuh salju ala kartu pos, Swiss. Dari Jenewa, orang bisa naik kereta sekitar satu jam setengah untuk mencapai kota yang sebagian bangunannya bertengger di atas bukit menghadap ke arah sebuah danau besar.
Indah sekali pemandangannya. “Membuatmu menahan nafas karena takjub” kata seorang teman yang bermukim di Jenewa.
Angsa dan burung dara seolah turut dibuai kota yang sejuk dan sedikit berkabut ini di bibir danau, bersama beberapa gerombol mahasiswa dari sekolah perhotelan yang ada di kota ini. Pun pula warga kota yang hidup dari bisnis wisata musiman karena kota ini juga salah satu tempat gelaran Festival Jazz Internasional.
Konon kota inilah yang menjadi tempat persinggahan favorit legenda musik dari Inggris Queen, terutama si jenius mendiang Freddie Mercury pada saat-saat akhir hidupnya.
Dua minggu sebelum kematiannya, Freddie menulis lagu A Winter’s Tale (Sebuah Kisah Musim Dingin) yang menyenandungkan keindahan kota ini dalam lirik lagu yang dikemas dalam album Made in Heaven.
Begitu terpatrinya sang maestro yang bernama asli Farrokh Bulsara di hati warga kota sehingga dibangunlah patung setinggi tiga meter di bibir danau Leman, Freddie Mercury tengah memegang mikrofon dan menyanyi, menghadap ke danau sambil memandang pegunungan Alpen dalam horizon sejauh mata memandang.
Firdaus di bumi.
Namun siapa sangka wilayah Swiss yang berbahasa Prancis pernah menjadi neraka karena perburuan manusia atas nama ajaran gereja.
Sekitar tiga kilometer dari Montreux berdiri sebuah kastil kuno yang terkenal, Chateu de Chillon, kokoh bertengger di atas sebuah pulau bebatuan dikelilingi air danau nan biru.
Kastil tua itu adalah saksi bisu tempat orang yang dianggap sesat dan percaya tahyul dijatuhi hukuman oleh anjing penjaga ajaran dan iman, para Inquisitor, pada abad ke 15.
Adalah seorang uskup dari Lausanne bernama Georges de Saluces, kota yang berdekatan dengan Montreux sekitar 20 menit berkereta, yang menjadi salah satu inisiator perburuan terhadap para penyihir dan menerapkan aturan ketat terhadap umatnya untuk menjauhi tahyul pada pertengahan abad ke-15.
Hukuman pengadilan untuk para penyihir itu bermacam-macam mulai dari pengucilan, peziarahan, denda untuk orang miskin hingga yang terberat mati. Dan mati biasanya berarti dibakar hidup-hidup.
Konon karena tak ada tempat untuk memenjarakan mereka karena saking banyaknya. Sejarah mencatat bahwa tahyul dan sihir bukan melulu alasan untuk menghukum orang. Motifnya pun bergeser kadang-kadang pengadilan dipakai menjadi alat politik untuk menyingkirkan saingan karena gampangnya keputusan dijatuhkan berdasar rumor daripada fakta.
Pengadilan pada para penyihir juga menyiratkan kontes perebutan kuasa antara kuasa gerejawi dan kuasa sekular pada zaman itu, manakala konsep kerajaan dan gereja mulai kehilangan pamor dan konsep negara moderen mulai terbentuk.
Tuduhan terhadap orang lain sebagai penyihir berangsur-angsur menghilang pada tahun 1650-an.
Tuduhan semacam itu bahkan dianggap sebagai hujatan. Pengadilan untuk penyihir juga praktis tak dilaporkan lagi pada abad ke 18.
Meski demikian, dua abad yang penuh kegelapan itu menyaksikan pengadilan yang mengerikan atas sekitar 200,000 jiwa. Beberapa sejarawan memperkirakan sekitar 60,000 hingga 70,000 orang dibunuh lewat pengadilan pada masa gelap itu di seluruh Eropa. Dan sekitar 2,000 orang yang dibunuh berasal dari wilayah Montreux dan sekitarnya yang juga dikenal juga sebagai Pays de Vaud.
Para pengunjung kastil akan disuguhi episode-episode, fragmen serta bekas-bekas perburuan yang membuat bulu kuduk meremang jika membayangkan apa yang pernah terjadi di tempat seindah itu.
Itu seperti membayangkan bahwa neraka pun pernah dan bisa terjadi, bahkan di tempat seindah taman Eden.