Formalisme Agama

0
30 views
Ilustrasi: Ziarah keberagaman bersama para pelajar SMP Kabupaten Purwakarta e Pertapaan Karmel Lembang, Bandung. (YB Sutarno).

Puncta 1 September 2024
Minggu Biasa XXII
Markus 7:1-8.14-15.21-23

ADA kelompok masyarakat yang menghayati agama hanya sebatas formalisme saja. Yang diutamakan adalah aspek legal formalnya, tanpa menyentuh substansi atau inti hidup beragama.

Mereka mengukur kesalehan atau kesempurnaan diri lewat ketaatan buta terhadap dogma, aturan, hukum dan adat istiadat yang kaku dan ketat.

Mereka mudah curiga pada orang lain dan menilai buruk atau negatif bila tidak sesuai dengan paham mereka. Mereka merasa paling benar dan mudah menghakimi orang lain.

Kelompok ini suka memakai simbol-simbol agama di ruang-ruang publik untuk menunjukkan mereka lebih dari yang lain. SImbol-simbol itu sebagai bentuk formalisme saja tanpa mengerti apa makna batiniahnya.

Misalnya suka pakai kalung rosario panjang-panjang, tapi suka mengumpat kata-kata kotor pada orang lain.

Mereka tidak mementingkan makna rohani rosarionya tetapi hanya untuk pamer, biar dinilai saleh, biar kelihatan suka sembahyang, cari pujian dan previlegi egoistik.

Orang formalis mudah mengadili orang lain secara moral (merundung, persekusi) dan sosial (merusak, melarang) yang tidak sejalan dengan pahamnya.

Nada-nada sikap formalisme ini ada dalam dialog antara kaum Farisi dengan Yesus. Orang Farisi memprotes murid-murid Yesus yang makan tanpa membasuh tangan lebih dahulu.

“Mengapa murid-murid-Mu tidak hidup menurut adat-istiadat nenek moyang kita, tetapi makan dengan tangan najis?”

Yesus meluruskan pandangan mereka dengan mengutip pesan Nabi Yesaya: “Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia.”

Yesus mengembalikan makna substansial dari kehidupan agama. Bukan yang masuk tetapi yang keluar dari manusia, itulah yang menajiskan. Bukan simbol-simbol agama, tetapi tindakan kasih yang nyata itu yang lebih berguna.

Mungkin kita juga sering jatuh ke formalisme agama. Suka pamer simbol-simbol agama tetapi tidak peduli pada orang menderita. Lebih mementingkan yang artifisial daripada inti yang substansial.

Suka menghakimi orang lain sebagai najis atau kafir, tetapi peri hidupnya sendiri jauh dari nilai-nilai itu.

Mari kita memperbaiki diri lebih dahulu sebelum menuntut orang lain berubah.

Kalau doa pakai Bahasa roh,
Tapi perilakunya suka goroh.
Kemana-mana pakai rosario,
Jebul uripe ya mung “mletho.”

Wonogiri, jadilah bijaksana dalam hidup
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here