Forum PRAKSIS Seri ke-8: Militerisasi dan Militerisme, Dua Hal Berbeda

0
38 views
Ilustrasi: Panglima TNI Jenderal Agus Subianto bersama para Kepala Staf Angkatan. (Ist)

HARI Jumat, 25 April 2025, di Jakarta, PRAKSIS (Pusat Riset dan Advokasi Serikat Jesus) menyelenggarakan Forum PRAKSIS Seri ke-8 bertema “Dari Reformasi ke Rekonsolidasi Militer: Apakah Kita Sedang Mundur?”.

Forum ini menghadirkan Nicky Fahrizal, peneliti bidang Hukum dan Keamanan di Departemen Politik dan Perubahan Sosial, Centre for Strategic and International Studies (CSIS), sebagai narasumber.

Dua konsep berbeda: militerisasi dan militerisme

Di awal paparannya, Nicky membedakan dua konsep yang saling berkaitan, yaitu militerisasi dan militerisme.

  • Militerisasi adalah ideologi atau paham yang mengagung-agungkan peran militer dan kekuatan bersenjata. Militerisasi berbentuk keyakinan atau nilai (ideologis); bertujuan untuk meneguhkan dominasi militer sebagai simbol kekuatan dan keutamaan dalam kehidupan bernegara.
  • Militerisme adalah proses institusional atau kebijakan yang bertujuan memperluas peran militer dalam ruang sipil. Militerisme mewujud dalam praktik atau kebijakan nyata yang sering kali bersifat struktural; bertujuan ingin menciptakan efisiensi, kontrol keamanan, dan integrasi fungsi militer ke dalam urusan sipil.

Nicky menjelaskan bahwa aktor di balik militerisasi biasanya adalah elite politik, masyarakat pro-militer, atau media yang pro-militer. Sebaliknya, aktor militerisme umumnya melibatkan pemerintah, personel militer, dan para penyusun kebijakan.

Dua dampak berbeda

Dampak kedua fenomena ini pun berbeda:

  • Militerisasi mendorong pemusatan kekuasaan militer dan membenarkan represi atas nama stabilitas.
  • Militerisme menyebabkan kaburnya batas antara ranah sipil dan militer, sekaligus melemahkan supremasi sipil.

Menurut Nicky, militerisasi sering dikritik karena dianggap mengancam nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia, sedangkan militerisme dikritik karena dinilai melanggar prinsip reformasi militer.

Mengacu pada pemikiran Shang Yang (2021), Nicky menjelaskan bahwa militerisasi biasanya berpijak pada pandangan negara sebagai proyek rasional. Negara dipahami sebagai hasil rekayasa historis, bukan sekadar “warisan suci” yang tinggal diterima dan diteruskan.

Pandangan ini, lanjutnya, melahirkan kecenderungan otoritarianisme halus yang membangun struktur kekuasaan bersifat hirarkis, terpusat, dan otoritatif. Dalam struktur seperti itu, partisipasi publik cenderung dikorbankan, hak-hak sipil terpinggirkan, dan stabilitas serta efisiensi lebih diutamakan daripada akuntabilitas.

Lebih jauh, Nicky mengingatkan bahwa dalam struktur kekuasaan seperti itu, akan muncul potensi besar bagi pembalikan konfigurasi kekuasaan: supremasi sipil melemah, sementara supremasi militer menguat. Dalam kondisi ini, kelompok militer akan semakin mudah mengklaim peran yang lebih besar dalam urusan sipil dengan dalih kepentingan nasional atau kebutuhan strategis negara.

Militerisasi di Indonesia

Berdasarkan pengamatan tersebut, Nicky melihat adanya tren struktural militerisasi dalam kehidupan publik akhir-akhir ini.
Gejalanya antara lain:

  • Normalisasi militerisasi sebagai bagian integral dari tata kelola publik;
  • Infiltrasi fungsi-fungsi militer ke ruang sipil;
  • Semakin banyaknya personel militer yang terlibat dalam fungsi non-pertahanan, seperti pembinaan teritorial di berbagai daerah yang tidak lagi dibatasi oleh kepentingan pertahanan semata.

Menurut Nicky, tren ini tidak boleh dibiarkan berlanjut.

Ia mengingatkan bahwa normalisasi militerisasi akan mendorong normalisasi kedaruratan, yang berujung pada penggunaan kekuatan militer untuk memperluas kewenangan eksekutif tanpa akuntabilitas yang memadai.

Konsekuensinya antara lain munculnya tindakan-tindakan ekstra-yuridis, kaburnya norma hukum dan politik, serta melemahnya prinsip negara hukum demokratis.

Sebagai penutup, Nicky menyerukan pentingnya keterlibatan masyarakat sipil secara aktif dalam kehidupan bernegara.
Ia mendorong masyarakat untuk:

  • Mengawasi ekspansi kekuasaan politik oleh para penyelenggara negara,
  • Menjaga supremasi sipil,
  • Mencegah pemusatan kekuasaan melalui saluran hukum.

Tentang Praksis

Berkantor di Jakarta, PRAKSIS (Pusat Riset dan Advokasi Serikat Jesus) adalah lembaga riset dan advokasi berbadan hukum milik Serikat Jesus Provinsi Indonesia.

PRAKSIS bergerak di bidang penelitian tentang hak asasi manusia, demokrasi, keadilan sosial, dan rekonsiliasi sosial. Dalam dimensi advokasinya, PRAKSIS mendampingi dan melayani korban ketidakadilan serta mereka yang tersisih secara sosial, ekonomi, dan politik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here