Renungan Harian Rabu, 07 April 2021
Bacaan I: Kis. 3: 1-10
Injil: Luk. 24: 13-35
SETELAH merayakan ekaristi di penjara, kami makan siang bersama dengan warga binaan di situ. Saat makanM saya ngobrol dengan salah satu warga binaan.
ia masih muda, usianya 20-an. Penampilannya sopan, berpakaian rapi dan bicara juga sopan. Apa yang saya lihat dan rasakan tidak seperti apa yang telah dilakukannya.
ia dipenjara, karena kasus penjambretan dengan kekerasan. ia bercerita bahwa ini bukan pertama kali dipenjara, sudah berulang kali keluar masuk penjara dengan kasus yang sama.
Dengan amat hati-hati, saya bertanya apakah dia tidak kapok berkali-kali di penjara. Dengan enteng anak muda itu menjawab, bahwa tidak ada pilihan bagi dia selain hidup seperti ini.
Ia mengatakan bahwa dia merasa “nyaman” hidup seperti ini, karena dia diterima oleh teman-temannya.
Meski dia hidup dengan cara demikian, tetapi dia merasakan adanya solidaritas yang luar biasa dengan teman-temannya. Bahkan selama di penjara, ia selalu mendapatkan kiriman uang dari teman-teman yang ada di luar sana.
ia pernah berusaha untuk mengubah hidupnya dan pulang ke kampung halamannya. Tetapi di keluarganya dia ditolak, dan di antara orang-orang sekampungnya juga “tidak diterima”. Karena semua tahu bahwa dia adalah mantan narapidana yang baru keluar dari penjara.
Ia telah berjuang untuk bertahan di rumah dan kampungnya, tetapi tidak tahan dengan perlakuan orang-orang di rumahnya.
Bahkan sering kali ia menjadi kambing hitam untuk kesalahan-kesalahan yang ada di rumah dan kampungnya, meski dia tidak berbuat apa pun yang salah.
Pengalaman ditolak oleh keluarga dan orang-orang di kampungnya membuat dia memutuskan untuk kembali ke tengah-tengah teman-temannya.
Ia tahu dan sadar bahwa teman-temannya itu penjahat, tetapi justru mereka yang jahat itu bisa menerima dia.
Ia merasakan dimanusiakan oleh mereka.
Sebuah pengalaman yang menyedihkan dari seorang anak muda ini. Seolah tidak ada kesempatan dan ruang untuk memperbaiki hidupnya.
Ia membutuhkan ruang untuk diterima dan dicintai agar bisa berubah. Ia selalu kembali ke dunia gelapnya, karena dia merasa menemukan cinta di dunia semacam itu.
Sementara dunia yang lebih “terang” telah menolaknya.
Sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Injil Lukas, mengisahkan dua orang murid yang pergi ke Emaus. Mereka adalah murid yang sudah frustasi, kehilangan harapan dan akan kembali ke kehidupan yang lama.
Namun kemudian tidak jadi, karena menemukan kembali pengalaman cinta Tuhan.
Mereka mengalami kembali cinta Tuhan yang hilang saat mereka melihat Yesus memecahkan roti.
Pengalaman itu membuka kembali pengalaman cinta yang hampir punah itu, bahkan mereka menyadari betapa hati mereka berkobar-kobar saat mendengarkan Yesus.
Bisa jadi dua murid yang pergi ke Emaus itu akan kembali menjadi manusia lamanya lagi andai tidak menemukan cinta Tuhan.
“Bukankah hati kita berkobar-kobar, ketika Ia berbicara dengan kita di tengah jalan dan ketika Ia menerangkan Kitab Suci kepada kita?”
Bagaimana dengan aku?
Pengalaman khas apa yang kualami berkaitan dengan cinta Tuhan?