Renungan Harian
Minggu, 10 Oktober 2021
Hari Minggu Biasa XXVIII
- Bacaan I: Keb. 7: 7-11
- Bacaan II: Ibr. 4: 12-13
- Injil: Mrk. 10: 17-30
BEBERAPA tahun yang lalu, saya menerima tamu pasangan suami isteri yang baru lima tahun menjalani hidup perkawinan. Mereka datang untuk ngobrol tentang hidup perkawinan mereka.
“Romo, kami berdua sekarang ini merasa jenuh dan seperti putus asa dengan hidup perkawinan kami. Kami seperti dihadapkan dengan jalan buntu, dan tidak tahu bagaimana bisa menemukan jalan keluarnya. Beberapa hari ini kami berpikir bahwa mungkin pilihan kami untuk menikah ini salah, sehingga kami sepakat untuk berpisah.
Kami masih saling mencintai dan tidak ada masalah dengan orang lain atau pun masalah ekonomi. Kami amat sadar bahwa sumber permasalahan ada dalam diri kami masing-masing dan tidak ada titik temu.
Sejak awal pacaran kami berdua mempunyai mimpi keluarga yang baik, bahagia dan sejahtera. Kami ingin punya rumah yang ramah dengan anak-anak, kami ingin menjadi orangtua yang baik untuk anak-anak.
Kami berdua sepakat untuk berjuang mewujudkan mimpi kami. Bahkan kalau sampai sekarang kami menunda untuk mendapatkan momongan, karena itu bagian dari persiapan kami untuk mewujudkan mimpi kami.
Saat kami memutuskan untuk menikah, kami banyak belajar dari buku-buku tentang perkawinan; bagaimana menjadi suami yang baik, bagaimana menjadi isteri yang baik, bagaimana menjadi orangtua yang baik, pengaturan ekonomi rumah tangga.
Intinya memang kami sungguh-sungguh ingin membangun keluarga yang baik dan bahagia.
Namun dalam perjalanan hidup perkawinan, kami justru sering ribut, dan tidak jarang berkepanjangan. Saya maunya menjadi suami yang baik dengan cara seperti yang saya pahami.
Namun apa yang ditangkap isetri saya justru sebaliknya; saya menampilkan diri menjadi suami yang sok suci, sok mengatur dan membuat isteri saya menderita, demikian sebaliknya Romo.
Kami jadi sering cekcok dan bertengkar, sungguh-sungguh bertengkar karena kami merasa melakukan yang terbaik tetapi apa yang ditangkap kok sebaliknya. Kami tidak terima bahwa kami disalahkan dan yang terjadi kami saling menyalahkan.
Semakin hari semakin banyak pertengkaran sehingga kami berpikir bahwa keluarga yang kami mimpikan tidak akan terbangun. Dengan dasar itu untuk apa kami melanjutkan perkawinan ini, lebih baik kami berpisah,” bapak muda itu menjelaskan persoalan rumah tangganya.
Isterinya mengamini dan sering menambahkan kisah kerunyaman keluarga itu.
“Mas, mbak, kalian berdua adalah orang-orang hebat; kalian berdua adalah pasangan yang luar biasa. Kalian berdua sadar betul akan tujuan hidup perkawinan dan mau berjuang untuk mewujudkannya. Semua itu hebat dan luar biasa.
Menurut saya apa yang hilang adalah seperti yang dikatakan Paus Fransiskus adalah kesadaran bahwa kalian ini orang yang tidak sempurna. Mas adalah seorang pria yang tidak sempurna lahir dari keluarga yang tidak sempurna.
Sementara mbak adalah seorang perempuan yang tidak sempurna lahir dari keluarga yang tidak sempurna pula. Nah sekarang kalian mau membangun keluarga yang sempurna dengan menuntut kesempurnaan pasangan kalian; serta ingin segera terwujud keluarga yang sempurna.
Itu aneh dan menurut saya sinting. Maka sekarang sadari betul bahwa saya bukan orang sempurna yang menikah dengan orang yang tidak sempurna pula.
Maka usaha membangun keluarga yang sempurna harus diperjuangkan dari kesadaran ketidak sempurnaan ini.
Belajar untuk saling memahami kekurangan, belajar mengampuni kekurangan dan juga berani mengakui kekurangan.
Itu yang kalian usahakan dan perjuangkan sedangkan kesempurnaan sendiri biarlah Allah yang akan menganugerahkan,” kata saya menenangkan mereka.
Betapa banyak orang yang ingin menjadi sempurna dengan kekuatan sendiri dan seolah-olah dapat diraih dengan usaha sendiri dan dengan bayangan sendiri lupa bahwa kesempurnaan hanya terjadi dengan rahmat Allah.
Apa yang terjadi menjadi frustasi.
Bagaimana dengan aku? Adakah aku selalu mengandalkan kekuatan sendiri?