Wajahnya sayu. Matanya tampak seperti orang tidak tidur beberapa malam. Rambutnya diikat sekenanya. Sebentar matanya terpejam. Sebentar lagi terbuka, tapi sambil menahan kantuk. Entah telah berapa kali ia menguap sejak aku mendapatinya ketika KRL (kereta rel listrik) berhenti di Manggarai, Jakarta Selatan. Sebentar-sebentar ia menelepon dan berbicara dengan suara yang sangat lirih. Kalah dengan desis pendingin udara. Ia duduk sendiri di sana, di gerbong pagi yang sangat lengang.
Aku tidak tahu ia datang dari mana. Ketika aku masuk di Manggarai, ia sudah ada di sana. Diam. Menutup mata. Menutup badan kerempengnya dengan jaket cokelat tua, tapi tidak menarik resletingnya. Tubuh itu meringkuk. Tanpa gairah. Lelah. Sekali dua kali gadis kerempeng itu menarik nafas dalam-dalam. Kelelahan itu memenjarakannya. Mata lelah itu kehilangan gairah paginya. Aku tidak pernah tahu derita seberat apa yang menimpa tubuh belia itu.
Ia memeluk tas tangan biru tuanya. Warna yang tidak ‘matching’ dengan jaketnya. Ia diam di sana, seperti seonggok pakaian kotor di keranjangnya. Ia tidak beranjak. Ia pun tidak bergejolak ketika penumpang berebut masuk di Stasiun Cawang dan mulai menempati sisi kanan dan kirinya.
Pemandangan yang kontras pagi itu: lelaki berumur berbaju rapi, berwajah segar, dengan rambut tersemir penuh semangat dan ABG sayu yang kehilangan hidupnya pada pagi yang cerah. Tapi justeru karena kontras, belia itu menjadi fokus tatapan, termasuk aku.
Ia membuka dompet dan melepas desahnya. Aku menangkapnya sebagai ungkapan rasa kecewa, putus asa atau keinginan untuk melepaskan beban yang dipikulnya. Desah itu menjadi tanda, setidaknya dalam tafsirku, pergulatan belia itu dengan hidupnya yang serius.
Aku tidak tahu apa yang telah terjadi dalam hidup si ABG itu. Aku hanya mencoba menghubungkan rangkaian tanda yang kompleks: desah, lusuh, hilang gairah, pagi nan cerah, mata terpejam… sebagai representasi dari kehidupan nan merana.
Tidak seorang pun yang berada di sebelah menyapa gadis belia itu. Aku, yang di depannya, pun tidak. Memang di kepalaku muncul pertanyaan: siapa dia? Mungkin pertanyaan yang sama hinggap pada perempuan berkerudung yang duduk di sebelahnya, yang tampak merasa kikuk oleh paha gadis belia yang dibiarkan terbuka.
“Siapa dia?” sebuah pertanyaan sederhana yang sudah menempatkan perempuan muda itu di kursi pengadilan. Pengadilan di suatu pagi atas perempuan nan merana itu membuatku kehilangan daya untuk berempati pada penderitaan, untuk menyapa mata nan sayu dengan penuh kelembutan.