BANYAK hal “gak mungkin” di pikiran kita. Kalimat “gak mungkin” sering banget terngiang di kepala terlebih saat aku memikirkan sesuatu yang belum pernah aku lakukan.
Pernah kepikir pingin banget sekolah kedokteran supaya bisa melanjutkan usaha orangtuaku yang bergelut di bidang kesehatan. Bapak ibunya perawat paling tidak anaknya lebih dari orangtuanya. Jadi dokterlah, gitu kan normalnya.
“Ah, mana mungkin?”, pikirku.
Otak pas-pasan dan tidak ada biaya.dan aku pun benar-benar membuang keinginan itu jauh-jauh.
Lalu pernah juga timbul keinginan jadi wartawan. Kerja di suratkabar atau majalah, menulis berita dan bepergian. Itu gue banget. Tapi lagi-lagi aku bilang: gak mungkinlah! Jadi wartawan itu harus jeli, cermat, pintar dan tahan banting. Aku mah apa atuh…gak mungkinlah! Lagipula gak ada keturunan keluarga kuli tinta.
Lain waktu aku juga pernah kepingin jadi tour leader. Pingin banget ngelamar di Biro Travel jadi tour leader-nya. Aku inget cita-cita ini muncul di tahun 2000-an alias 15 tahun silam. Lagi-lagi aku bilang gak mungkin pada diriku. Kata-kata itu ampuh banget bagiku. Buktinya aku langsung menjauh dan cita-cita itu pun kandas.
Ya, ampun kalau aku inget sudah banyak kali aku bilang pada diri sendiri: gak mungkin. Gara-gara satu kalimat itu aku benar-benar yakin aku gak mungkin jadi apa-apa. Bahkan banyak peluang dan kesempatan berharga sudah kubuang dan umurku kuboroskan karena keyakinan salah ini.
Aku lalu mencoba mencari tahu mengapa aku selalu berpikiran seperti itu. Aku dibesarkan di tengah keluarga dan di lingkungan masyarakat yang gak pernah terbuka terhadap imajinasi. Sistem pendidikan sekolahku pun lebih menekankan pendidikan hafalan. Padahal ternyata hafalan itu berbahaya, lho karena orang diminta membeo dan meyakini kebenarannya. Padahal apa yang ditulis belum tentu benar.
Dunia berputar dan ilmu pengetahuan berkembang. Ada banyak hal yang harus ditanggapi dengan memancangkan visi- misi yang jauh melebihi akal budi manusia. Sayangnya pikiranku gak sampai kesana. Aku sibuk mengatakan gak mungkin pada semua ide, keinginan dan cita-cita yang muncul dari dalam diriku. Dan jangan heran keyakinan ini tertanam dalam sekali di alam bawah sadarku.
Albert Bandura, tokoh psikologi asal Kanada yang lahir 4 Desember 1925 mengemukakan Social Cognitive Theory dalam buku Educational Psychology (2006). Teori ini menyebutkan bahwa perilaku seseorang dibentuk oleh lingkungannya dan lingkungan tersebut juga dipengaruhi oleh cara berpikir individu di dalamnya. Dengan kata lain perilaku mempengaruhi lingkungan dan lingkungan mempengaruhi perilaku. Ya, muter-muter berkembang di situ.
Sempat sih galau gak karuan manakala harus memutuskan sesuatu yang penting tapi bawah sadarku masih mengatakan tidak mungkin. Padahal waktu terus bergulir menunggu- apapun itu keputusanku. Waktu gak bisa dihentikan. Waktu terus berjalan dengan cepat.
Dewi Lestari dalam buku fiksi Filosofi Kopi (2006) menulis bahwa hidup itu cair dan terus bergerak. Hidup terus berubah. Mereka yang berkeras memilih diam akan mati. Jika aku diam maka akupun akan terlindas karena menyerah kepada keyakinan bawah sadarku.
Bagiku apa yang ditulis Dee (lahir di Bandung, 20 Januari 1976) menjadi cambuk untuk rela mengikuti gerakan hidup di depanku meski aku tau itu tak selalu nikmat. Tentu bukan asal berubah tanpa perhitungan. Kalkulasi manusia juga seharusnya dibarengi kepercayaan bahwa Tuhan selalu dapat memberi yang terbaik. Bahkan Dia juga tetap dapat menulis indah di garis (hidup) yang bengkok.
Ah, sudahlah…lupakan saja garis-garis bengkok hidupku di masa lalu, hasil dari keputusan-keputusanku yang salah. Aku masih punya lembaran-lembaran hari esok yang sama sekali masih bersih dan belum kutulis apa-apa. Aku pasti bisa membuatnya lebih baik lagi.
Seorang yang cacat, lemah, buta ,tuli, bisu tak berpendidikan, dianggap gila akan tetap menjadi seperti itu jika ia tidak memiliki keyakinan dapat mengatasi kesulitan hidupnya. Kisah hidup Hellen Keller (The Story of Hellen Keller, karya Anumerta Prayoga, 2011) menjadi penutup refleksiku ini. Juga sebuah surat yang ditulis Presiden Barack Obama kepada dua putrinya, A Letter to My Daughters, bukan sekedar surat biasa seorang ayah kepada anak-anaknya. Surat itu adalah sebuah inspirasi yang menunjuk bahwa orang-orang besar seperti Hellen Keller adalah orang-orang yang telah berhasil mengatasi rintangan terbesar hidupnya dan segala ketidakmungkinan dalam hidupnya.
Orang-orang besar ini, Hellen Keller dan Barack Obama menjadi tokoh luar biasa bagiku karena mereka tidak pernah mengatakan tidak mungkin kepada keterbatasannya.
Veronica Endang/Bintang Jatuh/22 Feb 2016