Gawai Dayak, Ekspresi Diri Manusia Dayak sebagai Makhluk Religius dan Sosial (1)

0
338 views
Ilustrasi: Pesta adat seni dan budaya Gawai Raa Lamba’ Lalo Dayak Taman di wilayah Kabupaten Kapuas Hulu, Kalbar. (Samuel Bjp)

MASYARAKAT Dayak sudah layak dan sepantasnya mengucap syukur kepada Allah Bapa yang Mahakasih. Lantaran kini mereka sudah bisa kembali merayakan Gawai Dayak. Sudah bisa kembali lagi seperti sediakala.

Dua tahun berturut-turut (2020 dan 2021), karena merebaknya wabah Covid-19, masyarakat Dayak seakan kehilangan jatidirinya.

Pasalnya, selama dua tahun itu tradisi syukuran ini hanya dirayakan oleh orang sekampung saja. Tidak mengundang sanak-keluarga dan kerabat kenalan datang bertandang untuk turut bersukacita.

Sebuah penampakan yang sungguh memprihatinkan, sebab perayaan Gawai tanpa kehadiran mereka tak sejalan rasanya dengan semangat hidup manusia Dayak yang selalu merayakan dan mensyukuri kemurahan Tuhan dalam kebersamaan.

Kearifan lokal

Lewat tulisan ini, saya hendak mencoba menambah khazanah pemahaman kita tentang kearifan lokal suku Dayak ini.

Ada cukup banyak ulasan dan kajian terhadap tradisi syukuran ini mau menunjukkan betapa dalam dan kaya nilai maupun makna yang terkandung di dalamnya.

Nilai dan makna itu perlu terus dikaji dan didalami. Dengan harapan agar Gawai Dayak tidak hanya berhenti sebagai seremonial belaka. Lebih dari itu, harus sungguh dapat menjadi sumber semangat dan inspirasi dalam menata relasi yang harmonis dengan Tuhan, sesama dan alam.

Pada mulanya adalah ungkapan syukur kepada Tuhan

Gawai Dayak merupakan puncak dari seluruh proses peladangan dalam suku Dayak. Karena itu, sering juga disebut Pesta Tutup Tahun.

Acara ini diadakan pertama-tama bertujuan untuk mengucap syukur dan terimakasih kepada Yang Kuasa. Sering disebut sebagai Petara, Jubata, Duata, Penompa, Duataq, Duato, Tanangaan, Ranying Hatalla Langit – Pribadi yang selalu menyatakan pemeliharan-Nya atas hidup umat-Nya.

Para peladang mau bersyukur kepada Tuhan karena telah menganugerahkan alam sebagai tempat bagi mereka untuk berladang. Alam itu kemudian mereka olah dan dihasilkanlah padi beserta segala tanaman lainnya yang semuanya bermanfaat bagi kelangsungan hidup mereka.

Hasil-hasil ladang inilah yang hendak mereka syukuri dalam gawai adat.

Ucapan syukur juga dihaturkan kepada Yang Kuasa atas penyertaan dan perlindungan-Nya selama mereka bekerja di ladang.

Lewat rasa syukur ini, peladang ingin dengan tulus dan rendah hati mengakui kalau mereka tak akan mampu mengerjakan segala sesuatunya tanpa campur tangan dan perlindungan Tuhan.

Ingat, Gawai Dayak itu sakral

Melihat tujuannya yang demikian luhur itu, momen Gawai Dayak itu sakral adanya. Ia selalu diawali dengan mengadakan ritual adat tertentu.

Tujuannya ialah memohon perlindungan dari Jubata demi lancarnya acara gawai. Juga bertujuan sebagai pemberitahuan dan undangan kepada siapa saja untuk dapat hadir dalam perayaan gawai.

Ritual adat Ngampun

Dalam masyarakat adat Dayak Iban di Sungai Utik, yang diundang hadir bukan hanya mereka yang masih hidup, melainkan juga roh para leluhur dan orang Panggau (orang Khayangan).

Bila gawai sudah selesai, maka mereka akan diantar kembali pulang ke dunianya lewat ritual adat ngampun.

Karena Gawai Dayak sakral adanya, maka baik warga kampung yang mengadakannya maupun para tamu harus mengindahkan dan menghormatinya.

Sanksi adat akan dikenakan kepada siapa saja, yang selama gawai berlangsung, berbuat onar atau melakukan perbuatan asusila.

Pada poin ini pentinglah untuk selalu menyimpan dalam hati dan pikiran prinsip hidup orang Dayak: Betungkat ke adat basa, bepegai ke pengatur pekara. Yang artinya, menjunjung tinggi hukum adat, berpegang pada pengatur perkara (tetua adat).

Penodaan terhadap kesakralan Gawai Dayak tidak hanya akan menimbulkan rasa malu bagi kampung yang menyelenggarakannya. Tapi juga dapat menimbulkan ketidaktenangan di dalam hati penduduk kampung.

Rasa tidak tenang itu muncul, karena warga kampung takut. Juga khawatir jangan-jangan leluhur mereka akan marah; lalu menimpakan hal-hal buruk ke atas diri dan kampung mereka.

Barangkali terdengar tak masuk akal. Akan tetapi, sejak rasa syukur dalam Gawai Dayak bukan hanya dihunjukkan kepada Petara, melainkan juga kepada para leluhur.

Maka dapatlah kemudian dipahami, bila penodaan terhadap kesakralan Gawai Dayak bisa membuat para leluhur marah.

Dalam kalangan masyarakat Dayak Desa, dan saya rasa juga dalam masyarakat Dayak pada umumnya, kemarahan leluhur menjadi satu hal yang sangat menakutkan.

Oleh karena itulah, baik dalam hidup dan pergaulan sehari-hari, pun dalam berladang, masyarakat selalu berupaya hidup harmonis dengan leluhur. (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here