WALIKOTA Singkawang Tjhai Chui Mie SE, MH menandai dibukanya Gawai Dayak Naik Dango dengan memukul gong sebanyak tujuh kali. Peristiwa itu terjadi di rumah Adat Dayak Singkawang, Jl. Baru, Sanggau Kulor, Singkawang Barat, Kalimantan Barat.
Hari itu, Kamis, 26 Mei 2022,kurang lebih pukul 11.00 siang WIB.
Menurut jadwal acara pembukaan akan dilaksanakan pkl. 08.00, namun karena sejak subuh turun hujan acara terpaksa diundur sampai hujan reda.
Pada acara tersebut, walikota menekankan pentingnya menjaga dan merawat budaya dan adat Dayak.
Acara didahului dengan ‘Nyangahatn’; tradisi ritual doa dari subsuku Kanayatn sebagai penghormatan kepada tuhan, roh nenek moyang, manusia dan oleh Penyangahatn – pemimpin ritual doa.
Pada ritual nyangahatn ini dan di hadapan penyangahatn diletakkan peralatan ritual dan berbagai makanan khas gawai adat Dayak di dalam sebuah nyiru.
Gawai Adat Dayak
Gawai Adat Dayak adalah peristiwa budaya Dayak. Masyarakat petani Dayak yang tinggal di pedesaan memiliki kebiasaan mengungkapkan rasa syukur dengan mengadakan pesta syukur seusai panen padi.
Pesta syukur atas hasil panen itu berlangsung antara bulan April dan bulan Mei setiap tahunnya. Setiap keluarga di wilayah tertentu atau kampung, pada waktu yang telah ditentukan, mengadakan ritual gawai padi.
Pada pesta rakyat ini disajikan makanan khas seperti lemang, bangkak, poek dan tumpi (cucur), dan di wilayah tertentu disediakan minuman khas, yang disebut tuak. Makanan khas jenis lain yang mendahului masa gawai padi, sebenarnya telah disajikan oleh keluarga petani saat mengawali masa panen padi.
Masyarakat wilayah Salako, yang meliputi daerah sekitar Singkawang dan Sambas, awal masa panen padi itu disebut dengan nama ‘mipit’.
Masa mipit terjadi sekitar bulan Februari atau Maret. Pada awal masa panen itu keluarga petani membuat makanan khas yang diberi nama bontokng (baca: bontong).
Margarehta Maria Irihrepoati, berasal dari Salako, Singkawang, dan salah satu guru di SMP Bruder Singkawang, menceritakan tentang bontokng.
“Bontokng adalah makanan terbuat dari beras padi muda (baru) yang dibungkus dengan daun layang, tumbuhan perdu sejenis daun dari tanaman garut, dimasukkan dan disusun dalam bambu buluh kemudian dipanggang dalam api membara.
“Baunya wangi, rasanya enak”, tuturnya.
Emping
Di wilayah lain seperti di wilayah Sekadau dan sekitarnya, misalnya pada subsuku Dayak Ketungau, Dayak Benawas atau subsuku Dayak Mualang pada awal masa memetik padi, keluarga petani membuat makanan khas yang disebut ‘emping’.
Br. Gabriel Acang MTB, asli dari subsuku Dayak Benawas, yang sekarang berdomisili di Komunitas Bruder MTB Sekadau menceritakan bagaimana proses pembuatan ‘emping’ padi baru.
Diceritakan bahwa ‘emping’ dibuat dari beras padi pulut sebutan untuk padi ketan. Ada dua jenis. Emping yang dibuat dari padi ketan yang masih hijau (muda) dan emping yang dibuat dari padi ketan yang sudah tua.
Padi ketan yang masih muda tersebut dijemur telebih dahulu sebelum direbus. Selanjutnya ditumbuk dengan cara tertentu oleh dua atau tiga orang pada satu lumpang.
Sedangkan padi ketan yang sudah lebih tua dionseng pada kuali tanpa minyak kemudian ditumbuk dengan cara yang sama. Diperoleh beras ketan yang bersih.
Lebih lanjut Br. Gabriel Acang MTB menuturkan: “Beras itu kemudian dicampur air panas , parutan kelapa dan gula merah secukupnya, kemudian diaduk sampai merata dan siap saji.”
“Makan makanan khas padi baru ini disebutnya nyemaru,” sambungnya.
Ungkapan rasa syukur dan pelestarian budaya
Masing-masing subsuku Dayak mempunyai sebutan yang berbeda untuk Gawai Padi.
Gawai Adat Dayak yang dirayakan setiap tahun ini. Namun maknanya sama yaitu ungkapan rasa syukur kepada Jubata (Tuhan).
Dalam perkembangan zaman, pesta adat yang awalnya dilakukan oleh masyarakat petani di kampung itu dihelat juga di ibukota propinsi, kabupaten dan kota.
Pada kesempatan gawai syukur ini ditampilkan aktivitas–aktivitas masyarakat dalam bentuk produk seni; baik segala sesuatu yang dilakukan oleh masyarakat petani, seperti lomba menumbuk padi, lomba memasak makanan khas, lomba menyumpit, lomba permainan tradisional.
Atau kegiatan yang dilakukan oleh para penggiat seni; seperti lomba memahat, lomba melukis perisai, lomba membuat tato, kontes bujang/dara, pameran kerajinan khas Dayak, lomba lagu daerah.
Lomba-lomba yang masuk kategori berat, seperti lomba bujang dan dara Dayak, lomba memahat, melukis perisai, membuat tato di badan seseorang biasanya dilaksanakan dalam Gawai Adat di propinsi, pesertanya dari berbagai daerah di luar kota propinsi.
Gawai Adat Dayak Naik Dango
Dewan Adad Dayak (DAD) Kota Singkawang misalnya, menggelar upacara pesta adat ini pada tanggal 26-29 Mei 2022. Drs. Stepanus Panus selaku Ketua DAD Kota Singkawang menjelaskan bahwa pesta gawai ini merupakan pesta tradisi suku Dayak.
Seperti telah dilakukan para leluhur yang melakukan ritual adat sebagai ungkapan rasa syukur kepada Jubata (Tuhan) yang telah melimpahkan rahmat dan berkah-Nya melalui hasil panen dan memberikan kesehatan.
Pada kesempatan gawai ini para petani menyimpan padi di dalam lumbung padi. Masing-masing subsuku memiliki nama yang berbeda untuk lumbung padi.
Misalnya di subsuku Kanayatn menyebutnya ‘dango’, subsuku Kantuk dengan nama ‘langko’.
Pada kesempatan Gawai Adat Dayak di Kota Singkawang ini, Walikota Singkawang, Ketua DAD Kota Singkawang, dan beberapa pejabat pemerintahan kota Singkawang secara simbolis menyimpan padi di replica dango yang terletak di sebelah kiri bangunan Rumah Adat. Masing-masing pejabat tersebut menggendong takin dan secara bergiliran menaiki tangga lumbung padi dan memasukkan padi dalam lumbung padi.
‘Takin’ adalah sejenis keranjang dengan bentuk memanjang, dan makin melebar bagian atasnya. Di bagian sisi badan keranjang diikatkan tali dengan kedua ujung seutas tali.
Bagian lain disangkutkan pada kepala pembawa keranjang.
Tali ‘takin’ terbuat dari kulit kayu tertentu. Tentang rumah Adat Dayak, Ketua DAD Kota Singkawang mengatakan:
“Rumah Adat Dayak yang dibangun hampir di setiap kota mengingatkan akan makna dan semangat Rumah Betang atau Rumah Panjang, yaitu kekeluargaan, kerukunan, pelestarian budaya.
“Kita sebagai ahli waris harus merawatnya, sebagai upaya mempererat kesatuan dan persatuan, gotong royong dan kebersamaan,” demikian sambungnya.
Pada kesempatan lain, sebelum Gawai Adat Dayak di Singkawang ini dimulai, Ketua Panitia AKP Grego Bambang mengatakan bahwa tema Gawai Adat Dayak ini adalah: “Dengan Semangat Naik Dango Kota Singkawang, Kita lestarikan Adat dan Budaya Dayak dalam Memperkokoh Keutuhan NKRI”.
Dijelaskan pula bahwa selama tiga hari ditampilkan lomba tradisional, menyumpit, permainan gasing, mantes (ketapel), lomba balap bakiak, vokal anak remaja, lomba melukis untuk Taman Kanak-kanak, memasak ikan air tawar, dan stan pameran yang menampilkan tanaman bonsai dan kerajinan khas suku Dayak, seperti aksesori dari bahan manik-manik, dan pakaian khas adat Dayak.
Dukungan Gereja Lokal
Gawai Adat Dayak yang dilaksanakan setahun sekali dan dilaksanakan hampir di seluruh kota baik propinsi, kabupaten atau kota ini mendapat dukungan moral dari Gereja local.
Seperti terjadi pada tanggal 17 Mei 2022 di Ibukota Propinsi Kalimantan Barat, Pontianak, Gawai Adat Dayak yang dihelat oleh DAD Propinsi Kalimantan Barat dibuka dengan Perayaan Ekaristi oleh Uskup Keuskupan Agung Pontianak Mgr. Agustinus Agus.
Pada acara pembukaan Gawai Adat Dayak ke XXXVI itu, Mgr. Agustinus Agus mengatakan bahwa sebagai umat Katolik rasa syukur kepada Tuhan atas keberkahan dinyatakan dengan Perayaan Ekaristi.
Sedangkan syukur dengan sesama dinyatakan dengan kebersamaan.
Gawai Adat Naik Dango di Singkawang juga ditutup dengan Perayaan Ekaristi di Gereja St. Fransiskus Assisi Singkawang.