Gawai Dayak, Ritual Adat Pati Gupung (2)

0
228 views
Ilustrasi: Kompleks makam. (Romo Nico Setiawan OMI)

RITUAL adat pati gupung dalam masyarakat suku Dayak Desa kiranya bisa menjadi contoh untuk menerangkannya.

Gupung adalah tempat makam leluhur. Tanah pamali. Tidak boleh dijadikan tempat untuk berladang atau berkebun.

Bagi siapa saja yang berladang berdekatan atau bersebelahan dengan gupung selalu diperingatkan, terutama ketika membakar ladang, supaya berhati-hati.

Jangan sampai api menjalar ke dalam gupung.

Dan bila gupung itu sampai termakan api, ritual adat pati wajib hukumnya untuk dilakukan.

Melalui ritual adat ini masyarakat mau memohon ampun karena telah merusak kediaman leluhur mereka. Sembari juga memohon agar hal-hal buruk jangan sampai menimpa keluarga yang empunya ladang. Juga warga kampung lainnya.

Terbakarnya hutan, terlebih lagi hutan tempat di mana para leluhur bersemayam, tentu saja telah mengganggu -jika tidak malah merusak- keharmonisan dengan para leluhur. Relasi harmonis yang sudah terganggu itu harus segera dipulihkan.

Pemulihan tersebut harus dilakukan agar ke depannya segala usaha dan jerih payah dalam berladang selalu direstui dan diberkati oleh para leluhur.

Manusia, makhluk berdimensi vertikal dan horizontal

Sebagai sebuah bentuk ungkapan syukur, Gawai Dayak selalu diadakan dengan penuh sukacita dalam semangat kebersamaan. Oleh karena itu, sebuah kampung yang akan mengadakannya akan mengundang keluarga dan kerabat kenalan untuk datang bertandang.

Hadirnya sanak keluarga dan kerabat kenalan tentulah akan semakin menambah semarak suasana pesta. Membuat suasana gawai adat semakin meriah.

Kemeriahan tentu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gawai adat Dayak. Akan tetapi, ia bukanlah menjadi tujuan utamanya.

Mengucap syukur kepada Tuhan dan menikmati hasil jerih payah berladang dalam semangat kebersamaan itulah yang menjadi tujuan fundamental dari Gawai Dayak.

Di dalam tujuan fundamental itu, sejatinya terkandung apa yang menjadi hakikat atau jati diri manusia, yakni sebagai makhluk religius dan makhluk sosial. Atau makhluk berdimensi vertikal dan horizontal.  

Humanisme transendental

Humanisme transendental dari Karl Rahner, teolog asal Jerman, atau kemanusiaan yang beriman dari mendiang Jakob Oetama, merupakan istilah lain untuk menggambarkan hakikat manusia tersebut.

Istilah-istilah tersebut sesungguhnya mau mengatakan hal yang sama, yakni bahwa manusia itu memiliki kodrat ilahi di dalam dirinya. Dengan memiliki kodrat ilahi artinya manusia memiliki sisi transenden di dalam dirinya.

Dengan memiliki kodrat ilahi, maka secara kodrati manusia itu selalu terbuka dan terarah kepada Yang Transenden. Berangkat dari pemahaman ini, Karl Rahner dalam upaya berteologinya menggunakan metode dan pendekatan transendental.

Melalui metode dan pendekatannya itu, Rahner mau menunjukkan bahwa berkat keterciptaannya menurut gambar dan rupa Allah, manusia memiliki dimensi transenden di dalam dirinya.

Dimensi transenden inilah yang menjadikan manusia selalu terbuka dan terarah kepada Tuhan.

Tom Jacobs dalam bukunya Paham Allah dalam Filsafat, Agama-Agama dan Teologi (2002) menerangkan bahwa dengan gagasan ini Rahner hendak menyatakan bahwa manusia selalu sudah terarahkan kepada yang lain di luar dirinya.

Dia terbuka untuk manusia yang lain, juga untuk segala benda di dunia.

Namun, yang lebih penting manusia terarah kepada dasar segala yang ada, yakni Nan Mutlak. Keterarahan pada Allah merupakan dasar segala pengetahuan dan tindakan konkrit.

Keterbukaan dan keterarahan manusia kepada Yang Transenden, dalam masyarakat Dayak, termaktub dalam falsafah hidup: Basengat Ka’ Jubata (bernapaskan Tuhan yang mahakuasa).

Prinsip ini secara jelas memperlihatkan dimensi transendental hidup manusia dan pengakuan akan Tuhan sebagai sumber kehidupan.

Pengakuan ini mau mengatakan bahwa napas hidup manusia ambil bagian pada napas hidup Allah sendiri.

Dalam masyarakat Dayak, ungkapan hidup ilahi itu dinyatakan dalam semengat atau semongat (roh/semengat) yang menghidupi tubuh manusia.

Untuk memahami lebih dalam falsafah hidup manusia Dayak bisa dibaca dalam tulisan Mgr. Valentinus Saeng CP yang berjudul “Trisila Hidup Orang Dayak: Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata”.

Paparan itu tersaji dalam buku Kearifan Lokal ~ Pancasila Butir-butir Filsafat Keindonesiaan (Ed: Armada Riyanto et al., Kanisius, 2015). (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here