PADA hari Sabtu tanggal 18 Februari 2017 pagi hari waktu WIB, Br. Yuwono SCJ sudah tiba dengan selamat di Roma, Ibukota Republik Italia. Penerbangan panjang menuju Kota Abadi itu dilakukan bruder anggota Tarekat Imam-Bruder Hati Kudus Yesus (SCJ) ini diawali dari Palembang di Sumsel, tempat bruder ‘orang dusun’ ini bertahun-tahun bertugas.
Ia terbang menuju Jakarta untuk kemudian istirahat sehari di rumah komunitas SCJ dan esok harinya memulai terbang jauh menuju Roma: tempat tugasnya yang baru kurun waktu lima tahun mendatang.
“Saya kedinginan dan belum bisa tidur,” katanya mengumpan berita dari kamar pribadinya di Generalat SCJ di Roma kepada Sesawi.Net pada Sabtu pagi hari.
Baca juga: Gara-gara Ikan Cupang, Jenli Imawan SCJ Jadi Pastor (4)
Waktu di Roma mungkin masih tengah malam ketika berita pendek di jalur pribadi ini masuk.
Winter di Roma tentu saja berbeda dengan hembusan angina dingin di ‘desa mungil’ di perbukitan Gunung Kidul, tepatnya Stasi Sengonkerep di Paroki Wedi – Kab. Klaten, Jateng.
Stasi Sengonkerep adalah dusun darimana Bruder Yuwono SCJ ini berasal. Secara administratif pemerintahan, Dusun Sengonkerep ini termasuk Kabupaten Gunung Kidul, DIY; namun secara administratif gerejani masuk wilayah teritori Paroki Wedi – Klaten.
Adik kandung Br. Yuwono SCJ yakni Romo Petrus Cipto Nugroho SCJ baru saja menerima tahbisan imamatnya di Paroki St. Pius X Gisting, Keuskupan Tanjungkarang, 25 Januari 2017 lalu.
Malam hari di Sengonkerep juga sering atis alias dingin sekali karena hembusan angin. Meski berasal dari ‘dusun kecil’ di puncak kawasan Gunung Kidul dengan hembusan angin kencang di malam hari, namun Br. Yuwono tak mampu menahan dinginnya musim winter di kamarnya di Roma.
“Bukankah di kamar ada heater, Bruder,” begitu kata saya menggoda bruder.
“Benar, tapi saya tidak tahu bagaimana menghidupkannya dan apalagi memakainya agar kamar saya menjadi hangat,” terang bruder polos.
Gegar budaya
Selain mengalami jet lag, Bruder Yuwono akan mengalami ‘gegar budaya’ (culture shock) ketika berhadapan dengan kultur dan tata nilai sosial yang sangat berbeda di Eropa dengan di Indonesia.
Tentang gegar budaya ini, beberapa dekade lalu pernah ada seorang Jesuit Belanda berkisah tentang hal-hal lucu yang merangsang gelak ketawa dan itu benar-benar terjadi.
Inilah pengalaman ‘gegar budaya’ yang menimpa Fr. Kema SJ yang di kemudian hari menyandang nama Mgr. Julianus Kema Sunarka SJ –Uskup Emeritus Keuskupan Purwokerto yang kini menikmati masa pensiunnya di Wisma Emmaus Girisonta, Kab. Semarang.
Saat masih muda belia, Fr. Kema SJ bersama RP Padmaseputra SJ dikirim studi ke Negeri Belanda. Saat di Negeri Belanda dan sekali waktu di tengah musim dingin yang beku, Fr. Kema nekad ‘uji nyali’. Konon, kata Sang Pastor Jesuit Belanda di Novisiat SJ tahun 1982-an, Fr. Kema berlari-lari di atas hamparan salju putih. Ia berlari-lari kencang tanpa ragu. Ketika sekali waktu melihat ada sedikit ‘kobangan’ air, maka dengan nekad pula ia terjun ‘nyemplung’ masuk ke dalam ‘lautan air’ nan luas di bawah hamparan salju tersebut.
Sudah pastilah, Fr. Kema langsung ‘hilang’ ditelan air di bawah hamparan salju putih. Entah bagaimana ceritanya, pokoknya Fr. Kema berhasil diselamatkan oleh rekan-rekan Jesuit lainnya.
Semoga saja ‘culture shock’ tidak akan menimpa Br. Yuwono SCJ. Selama lima tahun ke depan ini, Br. Yuwono SCJ akan bertugas sebagai tenaga rumah tangga di Rumah Induk SCJ di Casa Generaliza Sacerdoti del Sacro Cuore di Gesu dengan alamat di Via del Casale di S. Pio V, Roma, Italia.
Syukurlah di Roma itu pula, ada kawan satu kampong di Dusun Sengonkerep yakni Sr. Yosita CB yang kini tengah belajar psikologi rohani di Kota Abadi.