Gelas Styrofoam adalah Jatahmu

0
29 views
Ilustrasi.

NAMANYA Simon Sinek. Lengkapnya, Simon Oliver Sinek. Warga Negara Amerika keturunan Inggris.

Dikenal sebagai penulis dan pembicara inspiratif dalam ranah business leadership. Banyak buku ditulisnya, tapi dua bestseller yang saya sukai adalah Start with Why dan Leaders Eat Last.

Saya ingin mengutip video pendeknya yang viral: https://youtu.be/uHGLtO69ADo?si=7EjJ2RQ6-oTvusqa.

Ini kisah nyata tentang mantan Wakil Menteri Pertahanan (Wamenhan) Amerika yang berbicara di depan suatu seminar yang dihadiri oleh seribuan orang.

Dia berdiri di atas panggung, sambil membawa kopi dalam gelas styrofoam. Tiba-tiba, dia mengangkat gelas itu ke atas dan mulai bicara out of script.

“Setahun yang lalu, saya juga diminta bicara di forum seperti ini. Bedanya, saat itu saya masih menjabat sebagai wamenhan”.

Sang mantan wamenhan meneruskan dengan pesan yang mendalam.

Kala itu, panitia menyediakan penerbangan kelas bisnis dan menjemputnya di bandara dengan mobil mewah, mengantarnya ke hotel sampai di depan kamar.

Saat seminar tiba, panita kembali menjemput dan mengantarnya ke tempat acara.

Sampai di sana, dia dibawa ke sebuah lounge dengan suguhan kopi dalam sebuah gelas keramik yang cantik.

Saat ini, kisah gemebyar itu sudah sirna. Sang wamenham sudah tak menjabat lagi.

Dia naik taksi dari bandara ke hotel dan naik taksi juga ketika harus menuju ke tempat seminar. Tak ada panitia yang menjemput khusus. Semuanya sendiri.

Ketika dia pingin “ngopi”, salah satu panitia menunjuk mesin pembuat kopi di ujung ruangan dengan gelas styrofoam yang biasa disajikan penjual kopi di pinggir jalan. Dia harus mengaduk sendiri kopinya dan membawanya ke panggung untuk bahan cerita ini.

Pesan pentingnya adalah:

“Gelas keramik cantik yang tahun lalu disajikan untuk saya, sejatinya bukan untuk saya. Itu ditujukan untuk posisi yang (kala itu) sedang saya pegang. Saat ini, ketika tak menjabat lagi, saya hanya pantas mendapatkan kopi dalam gelas styrofoam. Itulah jatah untuk saya”.

Dunia yang sebenar-benarnya memang seperti itu. Tak ada sesuatu yang abadi.

Ketika seseorang sedang meraih ketenaran, keberuntungan, posisi, pangkat atau senioritas, masyarakat akan memperlakukan dengan hormat dan istimewa. Mereka membukakan pintu untuknya. Mereka menyajikan kopi atau teh nomer satu dengan gelas yang mahal dan indah.

Tolong dicatat, bahwa semua sanjungan itu, tidak satu pun ditujukan untuk dia, tetapi untuk “bintang” yang sedang bertengger di pundaknya.

Kisah senada jamak terjadi di berbagai tempat dan waktu.

Karib saya, yang baru setahun lengser dari jabatan VP di kantornya, bercerita tentang kasus serupa.

Mantan anak buahnya yang saat dia menjabat begitu loyal dan manis di depannya, bahkan mblenjani (ingkar janji) saat mereka berdua sudah sepakat untuk makan malam bersama. Tanpa pemberitahuan dan basa-basi apa pun. Sesuatu yang mustahil terjadi saat dia sedang menyandang “bintang” di pundaknya.

Sahabat lain curhat, bahwa nomer HP-nya diblok mantan anggota timnya, sesaat setelah tak menjabat lagi sebagai pimpinan di sebuah kantor BUMN. Dia tak tahu apa sebab musababnya.

Dalam skala dan waktu yang berbeda, kisah nyata yang dialami mantan wamenhan sangat mungkin terjadi pada semua orang, tak peduli tinggi-rendahnya posisi yang disandang.

Ketika peran dan pengaruh seseorang sudah mengecil atau bahkan hilang, maka penghormatan terhadap dirinya akan surut seiring dengan pudarnya kemilau “bintang” yang semula dipuja orang banyak.

Terimalah puja-puji saat menjabat dengan rasa syukur dan rendah hati, agar kelak, bila “bintang” itu copot dari pundaknya, kekagetan tak menghinggapinya. Sekali lagi, kemeriahan dan gegap-gempita hidup tak akan digenggam selamanya.

Agar lebih lengkap, tak salah bila merenungkan nasihat ini: “Aja dumeh kuwasa, tumindake daksura lan daksia marang sapada-pada.” (Jangan mentang-mentang kuasa, tindakannya sewenang-wenang terhadap sesama).

@pmsusbandono
20 Maret 2024

Baca juga: Jadi ingat film ini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here