Minggu, 21 April 2024
Kis. 4:8-12; Mzm. 118:1,8-9,21-23,26,28cd,29;
1Yoh. 3:1-2;
Yoh. 10:11-18
TANGGUNGJAWAB merupakan sikap yang tumbuh dari jiwa, bagian dari diri seseorang. Mengutip Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tanggungjawab berarti keadaan wajib menanggung segala sesuatu, kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya.
Tanggungjawab itu bisa berarti dan terkait dengan hal-hal luas. Bisa pada diri sendiri, tentang pekerjaan, sekolah, pada keluarga, panggilan hidup dan masih banyak lagi lainnya.
Semakin dewasa, kita akan dituntut untuk bisa lebih tanggungjawab lagi. Pasalnya, seseorang yang bisa bertanggungjawab, ia identik bisa dipercaya. Sikap tanggungjawab itu tepat, jika diungkapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Rasa tanggung awab yang besar hanya dimiliki oleh orang yang mempunyai rasa memiliki atau sense of belonging bukan orang yang sekadar bekerja untuk mencari upah.
“Saya bersyukur punya seorang karyawan yang ‘mrantasi gawe‘ bisa bekerja dengan baik dan tuntas,” kata seorang sahabat.
Dia total dan tulus mengabdi, hal ini bisa dilihat dari usahanya untuk melakukan apa saja demi kebaikan perusahaan. Dia selalu berusaha melakukan pekerjanya dengan wajah gembira dan dengan muka yang ramah penuh senyum.
Dia tidak mudah menyerah pada saat muncul persoalan dan masalah, namun dengan penuh komitmen dia berusaha mengambil bagian untuk menyelesaikan masalah itu,” ujar sahabatku itu.
Dalam Injil hari ini kita dengar demikian, ”Ia lari karena ia seorang upahan dan tidak memperhatikan domba-domba itu.”
Gembala upahan itu tidak sepenuh hati bekerja, dia hanya mengejar upah namun dengan mudah melupakan tanggung jawabnya. Ketika bahaya datang dengan mudahnya dia lari tanpa peduli keselamatan dombanya. Berbading terbalik dengan gembala upahan, gembala sejati rela mati untuk dombanya.
Yesus memberikan standar bagaimana Gembala yang baik itu seharusnya bekerja atau menjalankan tugas-tugasnya. Kriteria pertama dan utama tentang Gembala yang baik adalah memberikan nyawanya bagi domba-domba.
Kriteria yang pertama dan utama ini diberikan oleh Yesus sendiri, Ia memberikan nyawanya bagi kita manusia yang berdosa. Yesus tidak meninggalkan kita, namun justru memberikan nyawanya bagi kita.
Konteks dari perikopa ini tentu saja kehidupan sekitar Yesus yang masyarakatnya banyak yang mempunyai kawanan domba. Penggembala belum tentu adalah mereka yang mempunyai domba-domba yang ia gembalakan.
Sering kali penggembala adalah seorang upahan yang dibayar untuk menjaga dan membawa domba-domba ke padang rumput. Karena hanya seorang upahan, maka rasa memiliki para gembala itu tidak ada, bahkan cenderung bekerja sekenanya, tidak memelihara dengan sepenuh hati.
Berhadapan dengan fenomena yang demikian, Yesus mengajar para murid dengan menggunakan perumpamaan gembala yang baik. Gembala yang baik jika dibandingkan dengan gembala yang tidak baik, dapat didefisinikan sebagai gembala yang menggembalakan domba-dombanya dengan hati dan pikiran dan tenaganya.
Seorang gembala upahan hanya menggembalakan dengan bayarannya, bahkan sedapat mungkin bekerja sedikit namun dengan bayaran yang lebih mahal.
Dalam analogi gembala yang baik, Yesus mengajak kita untuk tidak hanya sekedar menjadi gembala upahan. Lebih dari itu yang mendukung hidup dan keberlangsungkan kita adalah menjadi gembala yang mempunyai hati, bekerja dengan sepenuh hati.
Seperti Yesus yang sepenuh hati, bahkan sampai menebus kita dengan hidupnya sendiri, kita juga diajak Yesus untuk berani serius dan total dalam menjaga kawanan Gereja.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku bekerja dengan sikap hati seperti gembala yang baik atau gembala upahan?